Kritik Iran atas Sikap Bias Badan Nuklir PBB
Republik Islam Iran menjalin kerja sama secara luas dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) setelah mencapai kesepakatan nuklir JCPOA dengan Kelompok 5+1 pada Juni 2015. Namun IAEA dalam laporan terbarunya mengadopsi pendekatan negatif terhadap Tehran.
Dengan dimulainya pertemuan reguler Dewan Gubernur IAEA sejak Senin kemarin, pemerintah Iran menuntut agar badan nuklir PBB ini meninjau ulang pendekatannya dengan Tehran.
Di hari pertama sidang, Dirjen IAEA Rafael Grossi membacakan agenda pertemuan dan menyampaikan laporannya tentang pengawasan IAEA terhadap kegiatan nuklir Iran berdasarkan resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB. Dia juga menyinggung tentang pelaksanaan Perjanjian Perlindungan (Safeguard Agreement) IAEA dengan Tehran dan Protokol Tambahan.
Grossi dalam laporannya mengklaim bahwa Tehran tidak memenuhi permintaan IAEA dan ini berdampak negatif pada kemampuan organisasi ini untuk memverifikasi dan memberikan jaminan yang kredibel tentang tidak adanya bahan dan kegiatan nuklir yang tidak diumumkan di Iran.
Dia meminta Tehran segera membangun kerja sama penuh dengan IAEA, termasuk memberikan akses yang tepat ke tempat-tempat yang diinginkan oleh IAEA.
Meskipun Iran melakukan kerja sama yang erat dengan IAEA dan bahkan melaksanakan Protokol Tambahan secara sukarela, namun IAEA pada 3 Maret lalu mengumumkan bahwa cadangan uranium yang diperkaya Iran sudah mencapai lima kali lipat dari batas yang ditetapkan JCPOA.
Menurut laporan IAEA, Iran telah melanggar pembatasan kunci dalam kesepakatan nuklir termasuk tingkat pengayaan uranium dan cadangan uranium yang diperkaya.
IAEA mengklaim bahwa Tehran tidak memberikan akses kunjungan kepada tim inspeksi mereka terhadap dua lokasi. Tuntutan ini secara prinsip telah keluar dari lingkup tanggung jawab lembaga pengawasan internasional tersebut.
Rafael Grossi – saat masih menjabat sebagai wakil dirjen IAEA – tidak memiliki pendekatan yang bersahabat dengan Iran. Sekarang ia juga mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh AS dan rezim Zionis. Israel dengan klaim-klaim palsu mendorong IAEA untuk meminta akses ke beberapa lokasi di Iran yang dicurigai pernah digunakan untuk kegiatan nuklir.
Padahal, ruang lingkup tanggung jawab IAEA secara jelas telah ditetapkan dalam Perjanjian Perlindungan. Dengan demikian, Iran tidak berkewajiban menjawab setiap kecurigaan mengenai kegiatan nuklir damainya terutama yang diajukan oleh musuhnya seperti rezim Zionis dan AS, atau memberikan akses kepada tim inspeksi ke setiap lokasi yang diinginkan. Hal ini sudah berulang kali diingatkan oleh para pejabat nuklir Iran.
Mengenai keluhan IAEA dalam beberapa masalah, Wakil Tetap Iran untuk Organisasi-organisasi Internasional di Wina, Kazem Gharib Abadi menjelaskan Tehran sedang mencegah terciptanya sebuah tradisi yang buruk dan berbahaya di IAEA.
Oleh karena itu, Iran dalam pertemuan Dewan Gubernur IAEA meminta badan nuklir PBB inii untuk tidak mengajukan permintaan yang keluar dari kerangka hukum dan tidak berdasar.
Republik Islam meminta IAEA tidak bersikap bias dan tidak hanya menyoroti penurunan komitmen JCPOA yang dilakukan oleh Tehran, tapi juga harus menuntut negara-negara Eropa untuk memenuhi kewajiban kesepakatan nuklir, terutama pelaksanaan kanal transaksi pertukaran perdagangan dengan Iran atau INSTEX.
Setelah AS keluar secara sepihak dari kesepakatan nuklir, Eropa berjanji akan menangkal sanksi AS terhadap Iran dengan meluncurkan INSTEX. Namun jalur transaksi ini secara praktis belum bekerja. (RM)