Kegagalan Beruntun AS untuk Memulihkan Sanksi terhadap Iran
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Javad Zarif mereaksi upaya baru Amerika Serikat untuk memulihkan sanksi internasioal terhadap Republik Islam.
Zarif mengatakan, para negarawan AS tidak memiliki pemahaman tentang hukum dan juga tidak tahu apa-apa tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Setelah permintaannya ditolak tiga kali oleh Dewan Keamanan PBB, AS sekarang mengancam akan memberi sanksi kepada siapa pun dan entitas apa pun yang berada di antara AS dan snapbacknya," cuit Zarif pada hari Jumat (28/8/2020).
Dia menambahkan, jelas bahwa mereka tidak mengerti hukum atau PBB. Mungkin mereka bisa memahami ini: "Anda menceraikan JCPOA pada 2018. Nama Anda di akta nikah tidak relevan".
"Snapback" merupakan ketentuan dalam resolusi PBB yang menetapkan bahwa jika ada "Negara peserta JCPOA" yang memberi tahu Dewan Keamanan tentang pelanggaran signifikan kesepakatan nuklir oleh Iran, sanksi yang dicabut pada Januari 2016 akan secara otomatis diberlakukan kembali dalam waktu 30 hari kecuali Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang berlawanan.
Sebelumnya, Menlu AS Mike Pompeo dalam tweetnya pada hari Kamis menulis, sanksi-sanksi PBB terhadap Iran akan dipulihkan pada 20 September 2020. Hal ini dilontarkan Pompeo ketika Dewan Keamanan PBB telah menolak draf resolusi anti-Iran yang diajukan oleh AS.
Berkat upaya maksimal Iran dan kekuatan politik serta diplomasi para pejabat negara ini untuk melobi anggota Dewan Keamanan PBB, akhirnya dewan ini menolak draf resolusi yang diajukan AS untuk memperpanjang sanksi senjata terhadap Iran. Embargo senjata terhadap Iran ini akan berakhir pada 18 Oktober 2020.
Selain itu, 13 anggota Dewan Keamanan PBB bersama dengan ketua dewan ini menegaskan bahwa karena AS bukan lagi peserta dalam perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama), maka Washington tidak memiliki posisi hukum untuk menggunakan Resolusi Nomor 2231 Dewan Keamanan PBB.
AS telah menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA pada Mei 2018 sehingga negara ini tidak memiliki hak dan posisi hukum untuk memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran. Mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB juga menolak permintaan AS untuk memulihkan sanksi terhadap Iran karena tidak memiliki dasar hukum.
Wakil Tetap Rusia untuk Organisasi-organisasi Internasional yang berbasis di Wina Mikhail Ulyanov pada hari Jumat (29/8/2020) menyinggung upaya AS di Dewan Keamanan PBB untuk memulihkan sanksi terhadap Iran.
"Pendekatan AS ini murni petualangan, dan usulan AS untuk menggunakan mekanisme snapback tentang Iran tidak memiliki prospek dan tidak akan memiliki konsekuensi hukum," ujarnya.
Setelah keluar dari kesepakatan JCPOA, AS tidak memiliki dua posisi, baik di bidang politik maupun hukum untuk menjalankan kebijakan paksaannya terhadap Iran melalu penggunaan Resolusi Nomor 2231 Dewan Keamanan. Jika AS memaksakan hal itu, maka Gedung Putih telah mengolok-olok Dewan Keamanan PBB.
Kegagalan demi kegagalan upaya maksimum AS untuk memulihkan sanksi terhadap Iran menandai puncak isolasi politik AS di panggung dunia. Senada dengan itu, Senator Demokrat Chris Murphy meyakini bahwa kegagalan AS untuk memulihkan sanksi terhadap Iran adalah kegagalan pahit AS di panggung internasional.
Secara hukum, AS yang telah keluar dari perjanjian nuklir JCPOA, tidak dapat menggunakan Resolusi Nomor 2231 Dewan Keamanan PBB untuk mendesak komunitas internasional agar menyetujui pengembalian sanksi PBB terhadap Iran.
Karena telah keluar dari JCPOA maka AS tidak lagi menjadi anggota perjanjian internasional ini, dan keanggotaannya di Dewan Keamanan tidak memberikan hak kepada Washington untuk menggunakan Resolusi Nomor 2231, sebab JCPOA dilampirkan dalam resolusi ini, dan AS yang telah keluar dari perjanjian itu, juga berarti telah melanggar Resolusi Nomor 2231 Dewan Keamanan PBB.
Dalam keadaan seperti itu, desakan sepihak dan ancaman AS untuk menggunakan Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB dan mengaktifkan mekanisme pengembalian sanksi PBB terhadap Iran merupakan desakan pada pendekatan unilateralisme yang merusak dan destruktif, yang akan memiliki implikasi global dan mempengaruhi status hukum dan masa depan Dewan Keamanan PBB. (RA)