RUU Rencana Aksi Strategis untuk Pembatalan Sanksi Iran
(last modified Tue, 01 Dec 2020 03:23:10 GMT )
Des 01, 2020 10:23 Asia/Jakarta

Republik Islam Iran selama ini memilih menahan diri demi mempertahankan perjanjian nuklir JCPOA meskipun negara-negara Eropa tidak berbuat maksimal dalam memenuhi kewajibannya.

JCPOA adalah sebuah perjanjian yang mengikat secara multilateral dan hasil maksimal tidak akan dicapai jika hanya satu pihak yang melaksanakan butir-butir perjanjian itu.

Dalam menyikapi fenomena itu, Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran meloloskan sebuah RUU strategis untuk membatalkan sanksi-sanksi.

Menurut keterangan Abolfazl Amouei, juru bicara Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen, Tehran – berdasarkan RUU Rencana Aksi Strategis untuk Pembatalan Sanksi – akan menarik diri dari implementasi sukarela Protokol Tambahan dalam dua bulan ke depan jika negara-negara Eropa tidak memenuji kewajibannya dalam JCPOA.

Amouei menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 1 RUU ini, 120 kilogram uranium dengan tingkat kemurnian 20 persen akan diproduksi dan disimpan di Iran setiap tahun. Pasal 2 memerintahkan Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) untuk memproduksi dan menyimpan 500 kg uranium per bulan yang diperkaya tingkat rendah.

“Pasal 3 memerintahkan AEOI untuk mengoperasikan mesin generasi baru sentrifugal IR-2m dan IR-6 serta wajib meresmikan pabrik produksi logam uranium di kota Isfahan,” ungkapnya.

Abolfazl Amouei.

Berdasarkan RUU Rencana Aksi Strategis untuk Pembatalan Sanksi, AEOI berkewajiban merancang reaktor air berat 40 megawatt lainnya dengan tujuan memproduksi radioisotop rumah sakit, bersamaan dengan optimalisasi reaktor air berat Arak.

RUU Rencana Aksi Strategis untuk Pembatalan Sanksi ini akan dibawa ke sidang paripurna parlemen Iran pada pekan ini untuk diputuskan.

Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran memilih menangguhkan pemenuhan kewajibannya dalam JCPOA secara bertahap setelah Amerika Serikat keluar dari perjanjian tersebut dan juga ketidakmampuan negara-negara Eropa untuk memenuhi komitmennya.

Keputusan ini menunjukkan bahwa Iran harus bisa menikmati hak-haknya secara penuh sebagaimana tertuang dalam JCPOA dan menolak berbasa-basi dengan pihak mana pun dalam masalah ini.

Duta Besar Iran untuk Rusia, Kazem Jalali dalam sebuah artikel yang diterbitkan baru-baru ini, mencatat bahwa perjanjian nuklir JCPOA dibangun atas tiga landasan utama yaitu ekonomi, teknis, dan politik.

“Keluarnya AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018, pemulihan kembali sanksi terhadap Iran dalam periode 90 hari dan 180 hari, serta penerapan sanksi-sanksi baru oleh Washington, menyebabkan implementasi perjanjian internasional ini semakin rumit,” kata Dubes Jalali.

Ilustrasi bendera negara-negara anggota JCPOA dan Uni Eropa sebelum Amerika meninggalkan perjanjian ini.

Pada dasarnya, Presiden Donald Trump ingin memaksa Iran menyerah dan menyetujui sebuah perjanjian baru yang sejalan dengan keinginan AS. Di sini, Gedung Putih telah membuat kesalahan perhitungan dan menganggap kebijakan tekanan maksimum plus kebijakan teror akan membuahkan hasil.

AS selama bertahun-tahun, mencoba untuk menghalangi Iran dari kemajuan dan menikmati teknologi nuklir damai, tetapi mereka tidak berhasil. Saat ini ilmu nuklir di Iran tidak bergantung pada individu, tetapi telah melembaga sebagai sebuah ilmu yang berkembang di Republik Islam.

Keputusan Iran menerima JCPOA untuk membangun kepercayaan dan interaksi dua arah berdasarkan komitmen timbal-balik selama periode waktu tertentu. Jadi, Iran akan berkomitmen pada kewajibannya dalam JCPOA asalkan pihak lawan bertindak secara transparan dan sesuai dengan kewajibannya pula. (RM)