Akhiri Terorisme Ekonomi terhadap Iran, Ujian Utama Washington
Pemerintah baru Amerika Serikat saat ini ternyata masih melanjutkan kebijakan gagal “Represi Maksimum” pemerintah Donald Trump dengan menjatuhkan sanksi sepihak, ilegal dan zalim.
Pemerintah baru AS tetap melanjutkan kebijakan terorisme ekonomi terhadap seluruh rakyat Iran.
Wakil tetap Republik Islam Iran di PBB, Majid Takht-Ravanchi Jumat (11/6/2021) di sidang Majelis Umum PBB yang digelar membahas laporan tahunan Dewan Keamanan, seraya mengkritik pemerintah Joe Biden karena melanjutkan kebijakan gagal represi maksimum, menilai dihentikannya terorisme ekonomi terhadap rakyat Iran sebagai ujian utama bagi Washington.
Wakil tetap Iran di PBB menambahkan, meski perundingan nuklir tetap berlangsung di Wina merupakan langkah awal mengevaluasi kebenaran tekad politik sejati AS untuk kembali ke JCPOA, namun ujian utama dan faktual ketika Amerika mengubah perilakunya setelah verifikasi adalah mengapus kebijakan gagal represi maksimum dan menghentikan terorisme ekonominya terhadap Iran.
Isyarat wakil tetap Iran di PBB terkait kebijakan destruktif AS dan urgensitas verifikasi perubahan perilaku AS penting dari dua sisi:
Pertama, dampak destruktif kebijakan ini bagi kemajuan, ekonomi, pembangunan dan keselamatan bangsa Iran.
Kedua, dampak kebijakan AS terhadap mekanisme hubungan dan hukum internasional serta kerusakan serius terhadap komunitas internasional.
Mencermati perilaku tak pantas Amerika, khususnya di era Presiden Donald Trump menunjukkan bahwa pemerintah Trump merupakan satu-satunya pemerintahan di sejarah AS dan juga sejarah kontemporer dunia yang muncul, yang memiliki sikap paling tidak bertanggung jawab dan mengabaikan norma-norma serta nilai masyarakat Amerika dan dunia.
Teror terhadap Syahid Qasem Soleimani, komandan pasukan Quds IRGC pada 3 Januari 2020 saat ia menjadi tamu resmi pemerintah Irak dan ketika ia baru tiba di Baghdad, merupakan contoh atas ancaman Amerika bagi keamanan dan stabilitas regional serta internasional. Presiden Amerika saat itu menyebarkan secara luas terorisme dan pengabaian norma-norma internasional secara terang-terangan. AS dengan godaan rezim Zionis sebagai pusat terorisme di kawasan itu, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan jahatnya, jika bisa, meski Washington tidak memiliki keberanian karena pastinya negara ini akan mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Terkait pelanggaran perjanjian multilateral, Amerika dengan keluar dari JCPOA berusaha menghancurkan masyarakat Iran dengan mempersempir pengaruh regional Iran serta represi maksimum ekonomi.
Alena Douhan, pelapor khusus PBB dan Obiora Okafur, pakar HAM di laporannya terkait langkah AS menulis, Amerika Serikat dengan perilakunya yang menginjak-injak norma, telah melanggar perjanjian internasional hak sipil dan politik.
Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB memilih bungkam menyaksikan aksi-aksi pelanggaran hukum dan norma tersebut.
Kini seperti pernyataan Wakil menlu Iran bidang politik, Sayid Abbas Araqchi di akun Twitternya, Trump pergi, tapi sanksi ilegal dan kejahatannya masih ada. Terorisme ekonomi di tengah pandemi Corona sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Tidak dibutuhkan “Air Mata Buaya AS”, ketika upaya Amerika memaksakan penderitaan dan musibah kepada 82 juta rakyat Iran terus berlanjut,” tambah Araqchi.
Perubahan sejati di kebijakan pelanggaran norma AS, tidak boleh sekedar ucapan dan klaim. Pemerintah Biden bukan saja tidak menghapus kebijakan gagal represi maksimum Trump, bahkan tidak mengumumkan komitmennya untuk melaksanakan janji dan kewajibannya di JCPOA dan Resolusi 2231 Dewan Keamanan. (MF)