Melampaui GDP dan HDI: Mengapa Futures Literacy Penting bagi Indonesia?
Oleh: Mehdi Muhammad Hakim, Peneliti Indonesian Futurist, Alumni Tehran International School (TIS), Tehran, Iran
Apakah Produk Domestik Bruto (GDP) benar-benar mampu menunjukkan seberapa “maju” sebuah negara? Atau hanya memperlihatkan seberapa lebar jurang antara yang kaya dan yang miskin?
Produk Domestik Bruto (GDP) adalah nilai seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu negara dalam periode tertentu. Indikator ini memberikan gambaran ekonomi sebuah negara dan sering digunakan untuk menilai besar dan laju pertumbuhan ekonomi. GDP biasanya dihitung dari tiga pendekatan—pengeluaran, produksi, dan pendapatan—lalu disesuaikan dengan inflasi dan jumlah penduduk untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat.
Namun meski sering dianggap indikator utama, GDP sama sekali tidak menunjukkan bagaimana kekayaan itu dibagi. Sebuah negara bisa terlihat “sukses” secara ekonomi tetapi menyembunyikan ketimpangan yang sangat dalam. Pertanyaannya: apakah GDP masih layak menjadi tolok ukur kemajuan? Jika tidak, indikator apa yang harus kita gunakan—terutama bagi generasi muda yang akan hidup di masa depan yang sedang dibentuk hari ini?
Keterbatasan GDP: Pertumbuhan Tanpa Keadilan
Masalah utama GDP adalah fokusnya pada kekayaan, bukan manusia. GDP tidak menjelaskan siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi. Sebuah negara bisa memiliki angka GDP tinggi, tetapi sebagian besar warganya tetap miskin, rentan, atau tersingkir dari akses ekonomi.
Ketika uang menjadi satu-satunya ukuran, jurang sosial makin menganga. Sebuah negara dapat berada dalam “peringkat teratas dunia”, sementara warganya merasa semakin tidak puas dan tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan ekonomi terkonsentrasi pada segelintir elite yang pada akhirnya bisa memengaruhi kebijakan publik, melemahkan demokrasi, dan merusak kepercayaan masyarakat.
Pajak, Pemerataan, dan Ekonomi yang Lebih Seimbang
Ekonomi yang sehat bukan hanya soal GDP tinggi, tetapi keseimbangan dan ketimpangan yang rendah. Salah satu instrumen penting untuk mencapainya adalah sistem perpajakan yang adil. Di banyak negara industri, pajak progresif—di mana kelompok kaya membayar porsi lebih besar—menjadi mekanisme penting redistribusi pendapatan.
Jika dirancang dengan baik, pajak dapat “mengoreksi” ketimpangan yang disembunyikan oleh angka GDP dengan memastikan keuntungan pertumbuhan ekonomi dinikmati secara lebih merata. Hasilnya bisa dipakai untuk membiayai layanan publik, perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Ketika manfaat pembangunan dirasakan luas, kepercayaan sosial meningkat, dan kualitas pembangunan secara keseluruhan membaik.
Amartya Sen: Dari Pendapatan ke Kapabilitas
Ekonom dan filsuf peraih Nobel, Amartya Sen, adalah salah satu pengkritik paling tajam terhadap penggunaan GDP sebagai indikator utama kemajuan. Menurut Sen, GDP tidak mampu menangkap dimensi-dimensi penting kesejahteraan manusia seperti ketimpangan, eksklusi sosial, dan kebebasan politik. Fokus yang sempit pada output ekonomi membuat kita lupa bahwa tujuan pembangunan yang sebenarnya adalah memperluas kebebasan manusia untuk hidup sesuai potensinya.
Sen menegaskan bahwa GDP mengabaikan distribusi. Sebuah negara bisa “kaya”, tetapi warganya kekurangan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, atau kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dari kritik inilah lahir indikator alternatif seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI), yang menggabungkan harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan.
HDI adalah kemajuan besar, tetapi tetap memiliki keterbatasan. Ia menggambarkan kondisi hari ini, tetapi tidak cukup menjelaskan apakah sebuah masyarakat siap menghadapi ketidakpastian dan risiko di masa depan. HDI menjelaskan masa kini, tetapi tidak menjamin kesiapan masa depan.
Dari Literasi ke Futures Literacy
Dalam kerangka Sen, pendidikan adalah dimensi penting pembangunan manusia. Tetapi di dunia yang bergerak cepat—ditandai oleh teknologi baru, krisis iklim, ketegangan geopolitik, dan disrupsi sosial—literasi dasar saja tidak cukup. Kita membutuhkan futures literacy.
Sejak 2012, UNESCO memperkenalkan futures literacy sebagai kapabilitas esensial manusia. Futures literacy adalah kemampuan membayangkan, mengeksplorasi, dan menggunakan berbagai kemungkinan masa depan untuk mengambil keputusan yang lebih baik di masa kini. Tujuannya bukan meramal masa depan, melainkan memahami bahwa banyak masa depan yang mungkin terjadi, dan pilihan kita hari ini ikut menentukan mana yang muncul.
Jika literasi membuat kita mampu membaca dunia, futures literacy membuat kita mampu membentuk dunia. Jika futures literacy masuk dalam sistem pendidikan, siswa bukan hanya belajar menjawab soal, tetapi memahami konsekuensi jangka panjang, skenario alternatif, risiko, dan peluang yang belum terlihat. Untuk negara seperti Indonesia, dengan generasi muda, kreatif, dan penuh potensi, kapabilitas ini sangat strategis.
Anak Muda, Imajinasi, dan Arah Pembangunan
Anak muda bukan sekadar penerima manfaat pembangunan; mereka adalah penggeraknya. Mereka membawa perspektif segar, imajinasi besar, dan keberanian melampaui batas konvensional. Mereka pula yang akan hidup paling lama dengan hasil baik atau buruk dari keputusan hari ini.
Cara anak muda membayangkan masa depan Indonesia akan menentukan cara mereka berkontribusi. Jika mereka membayangkan Indonesia masa depan yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan, mereka akan menjadi pengusaha, sukarelawan, peneliti, pemimpin komunitas, dan warga yang kritis. Jika mereka membayangkan masa depan yang gelap, korup, atau tidak adil, mereka bisa menarik diri, apatis, atau pindah ke negara lain.
Futures literacy membantu mereka mengubah imajinasi menjadi aksi. Ia mengajarkan pertanyaan-pertanyaan kunci:
- Masa depan apa saja yang mungkin bagi Indonesia?
- Masa depan mana yang diinginkan—dan untuk siapa?
- Keputusan apa yang harus kita ambil sekarang untuk menghindari masa depan yang buruk dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih baik?
Indonesia Emas 2045: Mimpi atau Ilusi?
Meskipun saat ini Indonesia menghadapi banyak masalah, termasuk bencana Banjir di Sumatra, tapi kita tetap harus tetap optimis. Sebagai generasi muda Indonesia yang tinggal di luar negeri, saya masih tetap optimis dengan visi “Indonesia Emas 2045”— menjadikan Indonesia sebagai ekonomi keempat terbesar dunia pada satu abad kemerdekaan. Visi ini mencerminkan kepercayaan diri dan peluang besar bangsa.
Tetapi jika visi ini hanya menekankan pertumbuhan GDP tanpa mengatasi ketimpangan, kualitas pendidikan, dan futures literacy, maka visi tersebut berisiko menjadi menara gading. Indonesia mungkin memiliki GDP yang sangat besar, tetapi manfaatnya bisa dinikmati hanya oleh sekelompok kecil elite, sementara mayoritas menghadapi ketidakpastian ekonomi, kerentanan sosial, atau krisis lingkungan.
Sen dan banyak ekonom telah lama memperingatkan bahwa ketimpangan akan membayangi negara-negara dengan pertumbuhan cepat. Untuk Indonesia, peringatan ini penting—apalagi menjelang 2045 di tengah krisis iklim, disrupsi teknologi, dan ketegangan global.
Mengapa Futures Literacy Harus Menjadi Prioritas Nasional
Indonesia tidak akan mencapai kemajuan yang bermakna dan inklusif jika hanya mengandalkan GDP dan HDI. GDP memberi tahu seberapa besar ekonomi kita. HDI memberi gambaran penting tentang kualitas pembangunan manusia. Namun keduanya tidak cukup menjelaskan kesiapan masyarakat—khususnya generasi muda—menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Karena itu, futures literacy harus menjadi prioritas pendidikan nasional. Ia dapat dimasukkan ke dalam kurikulum, program kepemudaan, dan pelatihan kebijakan publik, sehingga anak muda Indonesia mampu membayangkan berbagai kemungkinan masa depan, mengkritisi asumsi, dan merancang jalan pembangunan yang lebih adil dan tangguh.
Jika Indonesia ingin “Indonesia Emas 2045” bukan sekadar slogan, tetapi masa depan yang benar-benar inklusif, berkelanjutan, dan demokratis—maka membangun futures literacy sejak hari ini adalah langkah yang tidak bisa ditunda.
*Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Mehdi Muhammad Hakim berbahasa Inggris berjudul,"Beyond GDP and HDI: Why Futures Literacy is Important for Indonesia?"