Technopreneurship University, Inovasi dan Kesadaran
Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin
Kini, universitas di seluruh dunia sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia dituntut menjadi motor inovasi, pusat technopreneurship, dan pemasok solusi praktis bagi krisis ekonomi, lapangan kerja, serta disrupsi teknologi. Tapi di sisi lain, ia dihadapkan pada pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah inovasi yang diproduksi benar-benar membawa peradaban ke arah yang lebih adil dan berkelanjutan, atau justru mempercepat krisis kemanusiaan dan ekologis yang sedang kita hadapi.
Pada titik tertentu, kita perlu jujur mengakui bahwa technopreneurial university bukanlah musuh peradaban. Ia lahir dari kebutuhan nyata zaman: dunia yang bergerak cepat, tekanan globalisasi, krisis lapangan kerja, serta tuntutan agar ilmu pengetahuan tidak berhenti sebagai arsip di rak perpustakaan. Dalam batas tertentu, universitas yang mampu melahirkan inovator, pencipta teknologi, dan wirausaha berbasis ilmu justru dapat menjadi lokomotif perubahan sosial.
Namun persoalan muncul ketika model technopreneurial university diperlakukan sebagai satu-satunya horizon pendidikan tinggi. Ketika universitas direduksi menjadi inkubator bisnis, pabrik startup, dan mesin pencetak paten, maka makna pendidikan tinggi mengalami penyempitan serius. Universitas tidak lagi dipahami sebagai ruang pembentukan manusia dan kesadaran, melainkan sebagai unit produksi yang dinilai terutama dari kinerja ekonomi jangka pendek.
Di sinilah technopreneurial university berbelok dari solusi menjadi persoalan. Ketika universitas hanya memproduksi technopreneur tanpa kesadaran kritis, ia sejatinya sedang mengulang proyek lama pendidikan instrumental dalam wajah baru. Jika pada masa lalu pendidikan dirancang untuk mencetak buruh patuh bagi industri, hari ini ia mencetak wirausaha patuh bagi pasar. Relasi kuasa tidak benar-benar berubah; ia hanya berganti bentuk dan bahasa.
Mahasiswa tidak lagi sekadar disiapkan menjadi roda dalam mesin kapital, tetapi menjadi mesin itu sendiri dengan bekerja siang malam atas nama inovasi, passion, efisiensi, dan daya saing global. Mereka didorong untuk terus produktif dan adaptif, sering kali tanpa ruang untuk bertanya secara mendasar: untuk siapa teknologi ini diciptakan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan. Pertanyaan etis semacam ini kerap dianggap menghambat inovasi, padahal justru menjadi penentu arah peradaban.
Tantangan pendidikan hari ini bukan memilih antara technopreneurship atau pembebasan intelektual, melainkan menyintesis keduanya. Universitas masa depan tidak boleh berhenti sebagai kampus mesin, tetapi harus bergerak menjadi kampus kesadaran. Kampus yang tetap melahirkan inovator teknologi, namun inovator yang berpikir, menggugat, dan bertanggung jawab atas dampak sosial dan ekologis dari inovasinya.
Pendidikan yang membebaskan menolak melihat manusia sebagai objek produksi. Mahasiswa bukan wadah kosong yang diisi keterampilan teknis, melainkan subjek sadar yang mampu membaca realitas, memahami struktur ketidakadilan, dan mengambil posisi etis. Ketika daya kritis ini dipertemukan dengan technopreneurial university, technopreneur tidak lagi sekadar pencipta produk, melainkan penentu arah dan makna teknologi itu sendiri.
Pada titik inilah kesadaran ekologi transenden menjadi simpul yang sering diabaikan. Krisis terbesar zaman kita bukan semata krisis ekonomi atau teknologi, melainkan krisis cara pandang. Alam direduksi menjadi sumber daya, ekosistem menjadi objek eksploitasi, dan teknologi dipuja sebagai penyelamat tanpa refleksi. Dalam logika ini, keberhasilan inovasi diukur dari kecepatan dan keuntungan, bukan dari keberlanjutan kehidupan.
Technopreneurial university yang tidak disinari kesadaran ekologi akan melahirkan inovasi yang mungkin canggih secara teknis, tetapi rapuh secara moral dan destruktif secara ekologis. Bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia, dari banjir bandang, pencemaran perairan, rusaknya daerah aliran sungai sering kali merupakan akumulasi dari inovasi dan kebijakan yang berjalan tanpa kesadaran ekologis. Tragedi air bah kayu gelondongan di Sumatera menjadi pengingat bahwa teknologi tanpa etika hanya mempercepat kehancuran.
Kesadaran ekologi transenden menawarkan cara pandang yang lebih dalam. Ia tidak berhenti pada konservasi teknis atau green branding, tetapi berangkat dari kesadaran ontologis bahwa manusia adalah bagian dari jejaring kehidupan, bukan penguasa tunggalnya. Alam bukan sekadar bahan baku inovasi, melainkan amanah yang menyertai keberadaan manusia. Dalam kerangka ini, teknologi tidak ditolak, tetapi ditundukkan pada etika keberlanjutan dan keadilan lintas generasi.
Sintesis antara technopreneurial university, pendidikan yang membebaskan, dan kesadaran ekologi transenden menuntut perubahan paradigma yang mendasar.
Pertama, perubahan cara memandang keberhasilan. Keberhasilan universitas tidak cukup diukur dari jumlah startup, paten, atau nilai investasi, tetapi dari sejauh mana inovasi yang lahir memperbaiki relasi manusia dengan sesama dan dengan alam.
Kedua, perubahan kurikulum. Technopreneurship tidak boleh diajarkan semata sebagai teknik bisnis, tetapi sebagai praktik etis yang mengintegrasikan filsafat, ekologi, dan keadilan sosial. Mahasiswa teknik perlu belajar etika dan filsafat, mahasiswa bisnis perlu memahami ekologi, dan mahasiswa sains perlu merenungkan dampak sosial dari temuannya.
Ketiga, perubahan kultur kampus. Kampus tidak boleh semata menjadi ruang kompetisi dan akselerasi, tetapi juga ruang kontemplasi dan dialog. Inovasi sejati tidak hanya lahir dari kecepatan, melainkan dari kedalaman berpikir. Universitas yang membebaskan memberi ruang bagi kegagalan, keraguan, dan pertanyaan eksistensial, sesuatu yang sering dianggap tidak produktif dalam logika pasar, padahal justru menjadi sumber kebijaksanaan.
Dalam konteks Indonesia, sintesis ini menjadi semakin mendesak. Kita hidup di negeri yang kaya secara ekologis, tetapi rapuh dalam tata kelola; kaya sumber daya alam, tetapi miskin kesadaran ekologis. Jika technopreneurial university diadopsi tanpa refleksi kritis, ia berisiko mempercepat ekstraksi dan kerusakan atas nama inovasi. Sebaliknya, jika dipadukan dengan pendidikan yang membebaskan dan kesadaran ekologi transenden, universitas justru dapat melahirkan technopreneur yang berpihak pada pemulihan ekosistem, ekonomi rakyat, dan keadilan sosial.
Pada akhirnya, universitas bukan sekadar institusi penghasil tenaga kerja atau pengusaha, melainkan ruang pembentukan manusia. Technopreneurial university hanya akan menjadi berkat bagi peradaban jika ia tunduk pada visi yang lebih besar: memanusiakan manusia dan merawat kehidupan. Tanpa itu, ia hanyalah proyek lama dengan kemasan baru, efisien tetapi hampa, produktif tetapi kehilangan arah.
Tentu saja, masa depan membutuhkan keberanian memberi jiwa pada teknologi. Dan jiwa itu hanya lahir dari pendidikan yang membebaskan secara intelektual, disinari kesadaran ekologis, serta berakar pada tanggung jawab transenden terhadap kehidupan. Di sanalah kampus berhenti menjadi mesin, dan kembali menjadi rumah bagi kesadaran.