Setahun Pasca Keputusan Trump soal Quds
(last modified Tue, 04 Dec 2018 11:59:23 GMT )
Des 04, 2018 18:59 Asia/Jakarta
  • Trump dan Keputusan Kontroversial soal Quds
    Trump dan Keputusan Kontroversial soal Quds

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pada 6 Desember 2017 merilis keputusan tak bertanggung jawab dan ilegal dengan mengakui secara resmi Quds sebagai ibukota baru Israel. Tak hanya itu, Trump juga menyatakan akan memindahkan kedubes AS dari Tel Aviv ke Quds. Keputusan kontroversial ini direalisaikan Trump pada bulan Mei 2018.

Kini menjelang tanggal 6 Desember 2018, muncul pertanyaan apa dampak dari keputusan tak bertanggung jawab Trump bagi sistem politik dan keamanan kawasan Timur Tengah serta isu bersejarah Palestina-Israel?

 

Penguatan polarisasi di Timur Tengah

 

Keputusan 6 Desember 2017 Trump terkait pengakuan secara resmi Quds sebagai ibukota Israel merupakan bagian dari kebijakan makro pemerintah AS saat ini dalam bentuk "Transaksi Abad".

 

Dampak paling nyata dan terpeting dari keputusan enam Desember adalah penguatan kekerasan di Timur Tengah selama satu tahun lalu. Kekerasan ini kian kuat dalam dua bentuk, penguatan polarisasi di Timur Tengah dan kian dalamnya konflik Palestina-Israel.

Trump-Quds

 

Kawasan Timur Tengah khuussnya di abad 21 menyaksikan konfrontasi dua poros pro perdamaian dan muqawama. Masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri. Di antara karakteristik poros pro perdamaian dengan Israel adalah sisi konservatif, sejalan dengan Barat dan melakukan aksi negatif yang membahayakan keamanan kawasan.

 

Aksi negatif ini dalam bentuk dukungan terhadap terorisme dan kelompok teroris serta kerja sama intelijen dan keamanan dengan fenomena buruk ini. Tak hanya itu, poros ini juga bersedia mengobarkan instabilitas internal di sejumlah negara kawasan. Sejatinya poros pro perdamaian dengan Israel mengikuti ajaran dan ideologi Wahabi.

 

Sementara itu, karakteristik poros muqawama adalah sisi revolusioner, anti intervensi Barat di urusan kawasan Timur Tengah dan melakukan langkah positif bagi keamanan kawasan. Poros ini bertentangan dengan karakteristik kubu pro perdamaian dengan Israel.

 

Poros muqawama menilai teladan keamanan saat ini di Timur Tengah adalah teladan yang dipaksakan dan diimpor dari Barat. Teladan ini menjadi alasan utama kekacauan dan kekerasan Timur Tengah serta menjadi jaminan bagi kepentingan Israel.

 

Selain menentang teladan ini, poros muqawama juga menuntut teladan ini digantikan dengan teladan berbasis rakyat dan internal di mana teladan ini bukan saja tidak membesar-besarkan kemampuan militer Israel, tapi juga tidak pernah takut terlibat konfrontasi dengan rezim ilegal dan penjajah al-Quds. Poros muqawama bukan saja tidak terlibat dalam pembentukan kelompok teroris di kawasan, bahkan poros ini selama beberapa tahun terakhir menunjukkan tekad seriusnya dalam melawan fenomena buruk ini.

 

Keputusan Trump pada 6 Desember 2017 mendorong penguatan polarisasi politik dan keamanan di Timur Tengah, karena pemain pro perdamaian karena ketergantungan keamanan dengan AS terpaksa secara tersirat mendukung keputusan tersebut. Sementara para pemain poros muqawama jelas-jelas menentang keputusan ini.

 

Jika di masa lalu sejumlah negara Arab memiliki hubungan rahasia dengan rezim Zionis Israel, kini hubungan tersebut tidak lagi rahasia dan dilakukan secara terang-terangan. Karena hal tersebut merupakan kelanjutan dari keputusan 6 Desember Trump dan poros penting di transaksi abad.

 

Kondisi ini kian meningkatkan konfrontasi pemain utama di kawasan Timur Tengah yakni Iran, Arab Saudi dan Turki. Arab Saudi dan sejumlah negara seperti Uni Emirat Arab mengubah Timur Tengah menjadi pasar utama senjata Barat dan melemahkan keamanan kawasan dengan perilakunya serta membuat kawasan strategis ini menjadi wilayah kacau dan paling tidak aman. Hal ini membuat kepentingan AS dan Israel terjamin.

 

Dr. Colin Cavell, dosen politik di Universitas Bluefield di barat Virginia meyakini bahwa kepentingan AS di Timur Tengah terjamin dengan kondisi kacau dan tak aman kawasan ini.

 

Eskalasi Konflik Palestina-Israel

 

Keputusan 6 Desember Trump juga membuat konflik Palestina-Israel semakin meningkat. Keputusan Donald Trump sepenuhnya demi kepentingan dan tujuan Israel. Rakyat Palestina sejak 30 Maret 2018, bertepatan dengan peringatan hari Bumi menggelar aksi demo Hak Kepulangan.

 

Pusat Riset Zionis dan Palestina "Quds" dalam laporannya yang dirilis 1 Desember 2018 dan menjelang peringatan pertama keputusan Trump menulis, "Sejak Trump mengakui secara resmi Baitul Maqdis sebagai ibukota Israel, sampai saat ini militer Zionis telah membantai 345 warga Palestina termasuk 71 anak-anak dan enam pasien di berbagai wilayah Palestina." Selaras dengan laporan ini, sejak awal demo Hak Kepulangan pada 30 Maret hingga kini tercatat 211 warga Palestina gugur syahid.

 

Data ini menunjukkan bahwa pasca keputusan 6 Desember Trump, kekerasan di konflik Palestina-Israel semakin meningkat tajam.

Trump-Quds

 

Kian Kentalnya Rasisme Israel

 

Dampak lain dari keputusan Trump terkait Quds adalah membuat rasisme Israel semakin menguat. Pasca keputusan tersebut, Israel meningkatkan proyek pembangunan distrik ilegalnya. Melalui kebijakan pembangunan distrik Zionis, Israel selain ingin memperluas wilayahnya, juga mengubah identitas sejarah wilayah yang mereka duduki  dan mengejak pendekatan Judaisasi.

 

Kebijakan ini diiringi dengan penetapan undang-undang baru yang diratifikasi setelah Desember 2017. Salah satu hal terpenting di undang-undang ini adalah draf rasis "Negara Yahudi" yang diratifikasi Knesset pada 19 Juli  dan berubah menjadi sebuah undang-undang.

 

Berdasarkan undang-undang Negara Yahudi yang diratifikasi dengan 62 suara mendukung dan 55 menolak serta dua abstain, wilayah Palestina akan menjadi tanah air bersejarah bagi bangsa Yahudi dan umat Yahudi memiliki hak monopoli dalam pengambilan keputusan.

 

Undang-undang ini menyatakan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menurunkan posisi bahasa Arab ke level "kondisi khusus". Artinya hanya dalam kasus tertentu saja bahasa Arab diperbolehkan untuk digunakan di instansi Zionis. Undang-undang ini selain menyatakan kota Quds sebagai ibukota Israel juga mendukung perluasan distrik Zionis dan pembangunan distrik baru di wilayah pendudukan.

 

Pengamat menyatakan bahwa pengesahan undang-undang ini tak ubahnya sebagai implementasi apartheid di bumi pendudukan dan tujuannya adalah menghancurkan identitas Palestina.

 

Penentangan Global atas Keputusan Trump dan Kejahatan Israel

 

Salah satu dampak penting lainnya dari keputusan Trump soal Quds adalah friksi antara masyarakat internasional dan Amerika terkait isu Israel semakin mengemuka. Di sisi lain, arus internasional anti Israel semakin keras.

Trump-Quds

 

Keputusan Trump bahkan mendapat penentangan luas di antara kekuatan Barat. Hanya dua hari dari keputusan Trump yakni 8 Desember 2017, Dewan Keamanan menggelar sidang dan 14 anggota Dewan ini menentang keputusan presiden AS mengakui secara resmi Baitul Maqdis sebagai ibukota Israel. Matthew Rycroft, Wakil tetap Inggris di PBB di sidang tersebut menilai keputusan Trump sepihak dan merusak peluang perdamaian.

 

Di tingkat rakyat berbagai negara dunia juga digelar demonstrasi besar-besaran menentang keputusan Trump serta menilainya sebagai keputusan rasis. Puncak dari penentangan keputusan Trump terjadi di Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB pada 21 Desember 2017 meratifikasi resilusi Quds dengan 128 suara setuju, 9 menentang dan 35 abstain.

 

Seluruh reaksi ini yang ada terkait keputusan 6 Desember 2017 Trump berkenaan dengan Quds menunjukkan bahwa meski AS memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke al-Quds, namun muqawama Palestina terhadap Israel dan penentangan masyarakat dunia atas kebijakan dan langkah Tel Aviv semakin meningkat.

 

 

Tags