Dinamika Asia Tenggara, 5 Januari 2020
Dinamika Asia Tenggara sepekan terakhir menyoroti sejumlah isu di antaranya masalah pernyataan tegas kemenlu RI mengenai pulau Natuna yang diklaim Cina.
Selain itu, serangan teror yang dilakukan AS terhadap Syahid Qasem Solaemani memicu reaksi dari kawasan Asia tenggara, termasuk kemlu Indonesia yang menyerukan semua pihak menahan diri, kecaman dari MUI dan tokoh Malaysia. Isu lainnya mengenai rekasi kedutaan Cina di Kuala Lumpur menanggapi protes tentang Uighur.
Menlu RI: Natuna Milik Indonesia !
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno L Marsudi menegaskan bahwa pulau Natuna milik Indonesia, dan klaim Cina mengenai 9 dash line (sembilan titik imaginer) di perairan Natuna, Kepulauan Riau tidak bisa diterima.
Menurut Retno, batas wilayah itu merupakan klaim sepihak tanpa dasar hukum.
"Indonesia tidak pernah akan mengakui 9 dash line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujar Retno dilansir CNNIndonesia Jumat (3/1).
Retno menuturkan Natuna merupakan salah satu bagian dari UNCLOS (United Nations Convetion on the Law of the Sea) 1982. Oleh karena itu, dia meminta China wajib menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
Lebih lanjut, Retno menyampaikan rapat koordinasi di Kemenkopolhukam untuk memperkuat posisi indonesia dalam menyikapi situasi di perairan natuna. Dia menyebut Indonesia menekankan kembali bahwa telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Cina di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Sebelumnya, Cina berkeras memiliki kedaulatan di wilayah perairan sekitar Natuna, Kepulauan Riau. Beijing menganggap perairan itu termasuk ke dalam perairan Laut Cina Selatan, yang sebagian besar diklaim sebagai wilayah kedaulatannya dengan dalil nilai historis.
Presiden Cina Xi Jinping juga menganggap klaimnya atas perairan kaya sumber dalam itu adalah sah di mata hukum internasional, termasuk dalam Konvensi PBB terkait Hukum Kelautan (UNCLOS 1982).
"Saya ingin menekankan bahwa posisi dan proposisi Cina ini mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah Indonesia terima atau tidak, penolakan tidak akan mengubah fakta objektif bahwa Cina memiliki hak dan kepentingan atas perairan terkait," papar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, dalam jumpa pers rutin di Beijing pada Kamis (2/1).
Geng juga membantah keputusan pengadilan arbitrase internasional yang menganggap klaim Beijing atas Laut Cina Selatan ilegal. Menurutnya, keputusan mahkamah itu justru yang ilegal dan tidak berlaku.
Indonesia Serukan Semua Pihak Tahan Diri
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyampaikan keprihatinannya terhadap eskalasi situasi yang terjadi di Irak setelah terjadi aksi teror terhadap Komandan Pasukan Quds IRGC, Letjen Qasem Solaemani dan beberapa lainnya pada Jumat (3/1/2020).
"Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dari tindakan yang dapat memperburuk situasi," demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, Sabtu (4/1/2020).
Sementara itu, gelombang kecaman terhadap aksi teror tersebut datang dari berbagai kalangan di Indonesia, termasuk MUI.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengutuk keras serangan militer AS yang menewaskan Komandan Pasukan Quds Korp Garda Revolusi Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani bersama wakil komandan Al-Hashd al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis dan sejumlah orang lainnya.
MUI Kecam Serangan AS terhadap Qasem Solaemani
Sekjen MUI, Anwar Abbas mengatakan, MUI mengutuk dengan keras pembunuhan terhadap Jenderal Iran, Qasem Soleimani yang tewas bersama pemimpin milisi Hashd al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis, di Bandara Internasional Baghdad Irak yang diserang dengan rudal dari drone AS.
Menurut Anwar, serangan AS terhadap Soleimani akan memicu ketegangan dan ancaman baru, karena Iran tidak akan tinggal diam dan akan melancarkan pembalasan yang menimbulkan petaka besar.
"Pembunuhan yang dilakukan secara terencana oleh pemerintah AS ini tentu jelas akan memantik ketegangan dan ancaman baru karena jelas pemerintah Iran sebagai negara yang berdaulat tidak akan tinggal diam dan akan melakukan pembalasan terhadap apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah AS tersebut dengan caranya sendiri," ujar Anwar, dilansir situs Detik Sabtu (4/1/2020).
Bendahara Umum PP Muhamadiyah ini menyerukan supaya Amerika tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan tidak beradab dalam menyelesaikan masalah, karena bisa menimbulkan masalah baru yang lebih rumit.
Langkah kekerasan yang dilakukan AS, tutur Anwar, selain tidak mudah untuk menyelesaikannya, juga berpotensi menyeret dan merusak kehidupan rakyat dan masyarakat di negara lain karena naiknya harga minyak dunia dan terganggunya perdagangan internasional.
Tokoh Islam Malaysia: AS Barbar karena Teror Jenderal Soleimani
Presiden Dewan Konsultatif Organisasi Islam Malaysia, MAPIM menilai pembunuhan terhadap Komandan Pasukan Qods, Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC, Jenderal Qasem Soleimani, telah menunjukkan kepada dunia bahwa Amerika Serikat adalah negara penjahat dari jenis yang terburuk.
New Straits Times (3/1/2020) melaporkan, Mohd Azmi Abdul Hamid mengatakan, barbarisme telah membuat Amerika menganggap dirinya memiliki hak untuk membunuh. Kebijakan biadab di atas hukum ini ditanamkan dalam kebijakan keamanan Amerika, sehingga menjadikannya negara yang mendaulat diri sendiri untuk mengeksekusi siapa pun yang dikehendaki.
Ia menambahkan, Amerika telah lama melakukan pembunuhan di luar proses hukum dengan impunitas, dan dunia tidak dapat melakukan apapun.
Abdul Hamid menjelaskan, menargetkan seseorang dan melakukan pembunuhan dengan cara seperti itu adalah kejahatan yang tidak bisa dibiarkan. Kami sangat mengutuk tindakan Amerika, dan tidak ada alasan yang dapat diterima.
Ia menegaskan, dunia tidak boleh diam. Ini adalah situasi genting yang dapat berubah menjadi konfrontasi militer penuh. Amerika telah memicu potensi perang regional besar-besaran, dan ia harus bertanggung jawab penuh atas konsekuensi-konsekuensinya.
Kedutaan Cina di KL Tanggapi Protes Soal Uighur
Kedutaan Besar Cina di Kuala lumpur menanggapi maraknya protes warga Malaysia terhadap minoritas etnis Muslim Uighur dengan mengajak warga negara ini mengunjungi Provinsi Xinjiang.
"Saya dengan tulus menyambut semua teman-teman Malaysia, terutama teman-teman Muslim, untuk mengunjungi Xinjiang dan melihat provinsi yang indah, damai dan makmur ini dengan mata sendiri. Saya kecewa dan marah dengan laporan yang terdistorsi dan tuduhan tak masuk akal yang membanjiri media sosial," kata juru bicara kedutaan besar Cina, Tang Tang seperti dilansir dari The Star, Sabtu (28/12).
Menurutnya, masalah terkait di Xinjiang adalah urusan internal Cina.
"Ini bukan masalah hak asasi manusia, etnis atau agama, tetapi masalah anti-terorisme, anti-separatisme dan deradikalisasi. Pemerintah Cina melindungi kebebasan beragama bagi semua warga negara menurut hukum, termasuk minoritas Uighur," kata Tang.
Sebelumnya pada Jumat (27/12), dua LSM Malaysia berunjuk rasa dan menyerahkan sebuah memorandum kepada kedutaan besar Cina mengenai isu Muslim Uighur.
Sebelumnya, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad menyatakan tidak akan mengeluarkan para pengungsi Uighur dari negaranya, meskipun demikian tak akan mencampuri urusan dalam negeri Cina soal Uighur.
Mahathir Mohamad menambahkan, Malaysia akan menerima Muslim Uighur atau mengirim mereka ke negara ketiga. Pada saat yang sama ia menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Malaysia tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.(PH)