Engkau Yang Tidur Ataukah Tuhan?
-
Imam Sajjad as
Dinukil dari Imam Baqir as, “Ayahku Ali bin Husein as sekali dalam safar haji berhadapan dengan seorang penyamun. Lelaki penyamun maju ke depan dan berkata kepada ayahku, “Turunlah dari tungganganmu!”
Ayahku berkata, “Untuk apa aku harus turun?”
Lelaki penyamun berkata, “Akan kubunuh engkau dan aku bawa harta milikmu.”
Imam Sajjad berkata, “Aku akan membagi harta milikku denganmu.”
Lelaki itu berkata, “Tidak. Aku minta semua harta milikmu.”
Imam Sajjad berkata, “Harta milikku untukmu. Namun biarkan aku mengambil sekedar bisa menyampaikan aku ke tempat tujuanku.”
Lelaki itu berkata, “Tidak. Aku tidak mau menerima.”
Imam Sajjad berkata, “Hai lelaki! Di manakah Tuhanmu?”
Lelaki itu berkata, “Tidur.”
Pada saat itu Imam Sajjad memberikan satu isyarat. Dua harimau muncul. Yang satu mencengkeram kepala lelaki ini dan yang satunya lagi mencekeram kakinya dan menariknya. Imam Sajjad berkata, “Engkau berkhayal bahwa Tuhanmu tidur? Sekarang lihatlah akibat dirimu sendiri dan rasakanlah azab-Nya.”
Aku Akan Menyelesaikan Masalahmu
Seorang lelaki datang menemui Imam Sajjad as dan menceritakan tentang masalahnya. Imam Sajjad berkata, “Hai Lelaki! Apa alasan kesedihanmu?”
Lelaki itu mengeluh dan berkata, “Pemimpinku! Aku melewati malamku sampai pagi dalam kondisi aku memiliki hutang empat ratus dinar pada orang lain dan aku tidak bisa membayarnya. Bila aku mati, maka tidak ada seorangpun yang akan membayar hutangku.”
Mendengar keluhan ini, Imam Sajjad sedih dan menangis. Orang-orang yang ada di sekitar Imam Sajjad takjub dan menanyakan sebab kesedihan Imam Sajjad. Imam Sajjad menjawab, “Apakah tidak ada tangisan untuk segala musibah dan kesulitan?”
Orang-orang yang hadir menjawab, “Tentu saja, sebagaimana yang Anda sampaikan.”
Imam Sajjad as berkata, “Musibah yang paling besar adalah ketika seorang muslim menyaksikan saudara mukminnya sedang mengalami kebutuhan dan kemiskinan, sementara dia tidak mampu menyeselesaikan kebutuhannya.”
Masyarakat sedikit demi sedikit menyebar dan lelaki miskin itu mendekati Imam Sajjad as dan berkata, “Salah seorang dari mereka yang hadir ketika sedang pergi berkata, “Aku heran dengan keluarga ini yang menilai dirinya sebagai utusan Tuhan dan mengklaim bahwa langit dan bumi menaati mereka dan Tuhan tidak akan menolah keinginannya, tapi untuk memenuhi kebutuhan sahabatnya merasa lemah.” Wahai Putra Rasulullah! Ucapan lelaki tersebut bagi saya lebih menyedihkan daripada kemiskinan.”
Imam Sajjad as berkata, “Jangan pedulikan kata-kata itu. Sekarang Allah mengizinkan masalahmu terselesaikan. Ambillah dua buah roti ini; yang satu untuk sarapanku dan yang satunya lagi untuk makan malamku dan pergilah. Allah akan mengubah kehidupanmu dengan dua buah roti ini.”
Lelaki miskin itu mengambil roti tersebut dari tangan Imam Sajjad dan mengucapkan terima kasih kemudian pergi. Di pertengahan jalan menuju ke rumahnya, dia melihat lelaki penjual ikan. Lelaki penjual ikan itu berkata, “Hai lelaki, kesinilah! Ambillah salah satu dari ikanku dan sebagai gantinya, berikan salah satu rotimu padaku!”
Lelaki itu menerima dan memberikan rotinya, kemudian mengambil ikan kecil. Sedikit ke depan, dia melihat lelaki penjual garam. Lelaki penjual garam itu berkata, “Ambillah sedikit garam dariku dan berikan rotimu padaku!”
Lelaki miskin ini menerima dan memberikan rotinya pada penjual garam dan menuju ke rumahnya.
Istri lelaki miskin dan anak-anaknya gembira melihat ikan. Sang istri membelah perut ikan dan seketika itu menjerit karena gembira. Dua mutiara besar dan indah ada di dalam perut ikan. Semuanya bersyukur pada Allah. Sekarang, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Sajjad bahwa kehidupan mereka akan berubah.
Keesokan hari itu, lelaki ini pergi ke pasar dan menjual mutiaranya dengan harga mahal. Ia membayar semua hutangnya dengan uang hasil penjualan mutiara dan kehidupannya menjadi mapan.
Qisaslah Dia!
Seorang lelaki benar-benar marah. Dia menghadap kepada Imam Sajjad dan berkata, “Hai Ali bin Hasan! lelaki ini tidak punya kasih sayang. Dia telah membunuh ayahku dan dia sendiri telah mengakuinya. Saya meminta kepada Anda untuk menqisasnya supaya dia mendapatkan balasan perbuatan buruknya.”
Imam Sajjad as menghadap kepada tersangka dan berkata, “Hai lelaki? Bagaimana menurutmu? Apakah engkau mengakui kesalahanmu?”
Sang tersangka menundukkan kepalanya karena malu dan berkata, “Iya. Saya tidak paham, bagaimana ayahnya aku bunuh.”
Imam Sajjad as berkata kepada anak korban pembunuhan, “Aku akan mengqisas sang pembunuh. Namun bila engkau memaafkan kesalahannya dan mengurungkan qisasnya, maka lebih baik bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala.”
Anak korban tidak mau memaafkan. Oleh karena itu Imam Sajjad as berkata, “Hai lelaki! Bila engkau merasa bahwa lelaki ini punya hak di pundakmu, maka sebaiknya engkau maafkan dia karena hak tersebut.”
Lelaki itu berkata, “Seingatku dia tidak punya hak di pundakku. Namun dia telah mengenalkan aku pada tauhid, kenabian dan kepemimpinan para Imam Maksum as.”
Dengan takjub Imam Sajjad as berkata, “Apakah hak ini bukan sesuatu? Apakah yang lebih tinggi dari seseorang yang mengenalkan saudara muslimnya pada tauhid, kenabian dan kepemimpinan para Imam Maksum as? Maafkanlah kesalahannya karena hak lelaki ini pada pundakmu dan cukuplah hanya dengan mengambil diyah ayahmu sehingga kalian berdua mendapatkan rahmat dari Allah.”
Pada saat itu anak korban pembunuhan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku memaafkannya dan tidak mengklaim apa-apa.”
Imam Sajjad as gembira dan berkata, “Allah akan membangkitkanmu di surga di sisi ayahmu.”
Kemudian dia pergi ke rumahnya dan mengerjakan salat syukur. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Sajjad as