Betapa Telitinya!
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i45537-betapa_telitinya!
Shafwan bin Mihran Kufi merupakan salah satu  sahabat Imam Shadiq dan Imam Musa bin Jakfar as. Dia adalah lelaki yang bertakwa dan menjalani kehidupannya dengan menyewakan onta-ontanya. Dia memiliki onta yang banyak.
(last modified 2025-10-18T08:47:54+00:00 )
Okt 07, 2017 18:38 Asia/Jakarta
  • Imam Musa bin Jakfar as
    Imam Musa bin Jakfar as

Shafwan bin Mihran Kufi merupakan salah satu  sahabat Imam Shadiq dan Imam Musa bin Jakfar as. Dia adalah lelaki yang bertakwa dan menjalani kehidupannya dengan menyewakan onta-ontanya. Dia memiliki onta yang banyak.

Shafwan berkata, “Suatu hari aku menemui Musa bin Jakfar as. Beliau berkata, “Shafwan, semua pekerjaanmu bagus kecuali satu.”

Aku berkata, “Saya menjadi tebusan Anda! Yang mana?”

Beliau berkata, “Onta-onta yang engkau sewakan kepada lelaki ini [Harun Rasyid].”

Aku berkata, “Saya menyewakan ini bukan karena tamak dan memperbanyak harta kekayaan, atau untuk memburu dan berfoya-foya. Saya sewakan karena untuk pergi haji. Saya sendiri juga tidak mengerjakan urusan-urusannya, tapi para budak saya yang menyertainya.”

Imam Musa bin Jakfar berkata, “Apakah dia dan keluarganya yang menanggung uang sewaannya?”

Aku berkata, “Iya. Dia berhutang dan harus dibayar sebelum kembali.”

Imam Musa bin Jakfar bekata, “Apakah engkau suka Harun dan keluarganya tetap hidup, selama dia belum membayar uang sewaan?”

Aku berkata, “Tentu saja.”

Imam Musa berkata, “Barang siapa yang suka akan keabadiannya adalah bagian darinya. Barang siapa yang menjadi bagian darinya, maka tempatnya ada di Jahannam.”

Shafwan berkata, “Setelah aku mendapatkan wejangan dari Musa bin Jakfar, aku menjual semua ontaku. Kabar ini sampai ke Harun. Aku dipanggil. Ketika aku datang kepadanya, dia berkata, “Aku mendengar, engkau menjual onta-ontamu.”

Aku berkata, “Iya. Aku sudah tua dan lemah dan tidak punya lagi tenaga. Aku sendiri tidak bisa lagi mengurusi masalah ini. Para budakku juga tidak bisa melakukannya sebagaimana seharusnya dan mereka tidak bisa melakukannya dengan baik.”

Harun berkata, “Tidak...tidak...engkau melakukannya atas isyarat Musa bin Jakfar.”

Aku berkata, “Apa urusanku dengan Musa bin Jakfar?!”

Harun berkata, “Engkau bohong. Bila bukan karena hakmu sebagai sabahat, maka sudah aku bunuh engkau!”

Filosofi Tujuh Takbir

Hisyam bin Hakam berkata, “Aku bertanya kepada Imam Musa bin Jakfar as, “Mengapa awal salat, sunnah hukumnya mengucapkan takbir tujuh kali dan mengapa di dalam ruku kita membaca subhana rabbiyal azhimi wa bi hamdihi dan dalam sujud subhana rabbiyal a’la wa bi hamdihi?”

Imam berkata, “Allah menciptakan tujuh langit dan bumi tujuh tingkat dan tujuh tabir. Ketika Rasulullah di mi’raj mencapai titik asli, salah satu tabirnya terbuka untuknya, maka Rasulullah Saw mengucapkan takbir. Setelah itu, tabir kedua terbuka, dan Rasulullah mengucapkan takbir. Tabir ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh terbuka satu persatu dan setiap tabir terbuka, Rasulullah Saw mengucapkan takbir. Setelah terbukanya tabir ketujuh, beliau melihat keagungan Allah dan badannya gemetaran, maka beliau menunduk [ruku’] dan meletakkan kedua tangannya di lutut sambil membaca subhana rabbiyal azhimi wa bi hamdihi...maha suci Tuhanku yang maha agung dan segala puji bagi-Nya.

Ketika bangkit dari kondisi ruku’ dan berdiri, beliau melihat keagungan Allah  yang lebih tinggi dari keagungan yang pertama, maka beliau bersujud dan mengucapkan subhana rabbiyal a’la wa bi hamdihi...maha suci Allah Tuhan yang tinggi dan segala puji bagi-Nya.

Begitu beliau membaca kalimat ini tujuh kali, maka gemetaran hilang dari tubuhnya.  

Bagimana Kematian Orang Mukmin Dan Kafir

Imam Musa bin Jakfar as datang menunggui salah satu sahabatnya yang sedang menghadapi sakaratul maut. Kondisi beliau sedemikian rupa sehingga tidak menjawab pertanyaan siapapun.

Orang-orang yang hadir di situ berkata kepada beliau, “Wahai putra Rasulullah! Kami ingin Anda menjelaskan tentang hakikat kematian dan mohon jelaskan bagaimana kondisi orang yang sedang sakit ini!”

Imam Musa berkata, “Kematian bagi seorang mukmin adalah perantara pembersihan. Kematian akan membersihkan orang-orang mukmin dari dosa-dosanya. Bagi mereka kematian adalah kesakitan yang terakhir dan kaffarah bagi dosa-dosanya yang terakhir. Sementara orang-orang kafir saat mati, dia akan berpisah dari kebaikannya dan dia akan merasakan kelezatannya yang terakhir di dunia.”

Adapun orang sakit yang sedang sekarat ini sudah bersih dari segala dosanya sebagaimana telah melepaskan bajunya yang kotor dan memakai bajunya yang bersih. Sejak sekarang dia memiliki kelayakan untuk bangkit bersama kami Ahlul Bait di rumah keabadian akhirat. (Emi Nur Hayati)

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Musa Kazdim as