Perhatian dan Kasih Sayang
-
Imam Musa bin Jakfar as
Bakkar adalah seorang penduduk Qom dan pekerjaannya sebagai seorang pedagang. Dia hidup di zamannya Imam Musa Kazhim as. Pada zaman itu dia pergi haji sebanyak empat puluh kali.
Di akhir hajinya, uang dan bekalnya habis. Dia pergi ke Madinah. Setelah menziarahi makam Rasulullah Saw, dia pergi menuju kumpulan para buruh untuk mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebetulan dia mendapatkan pekerjaan dan bekerja beberapa hari di sebuah rumah besar bersama para buruh, dan mendapatkan upahnya.
Suatu hari dia pergi menemui Imam Kazhim as. Setelah menanyakan kabar, Imam as memberikan kantong uang berisi lima belas dinar kepadanya bersama sebuah surat dan berkata, “Ketika engkau pergi ke Kufah, berikan surat ini kepada Ali bin Hamzah!”
Dia pergi menuju Kufah. Ketika sampi di Kufah, dia mendengar kabar bahwa tokonya di Qom kecurian. Dia pergi menemui Ali bin Hamzah sambil bersedih memikirkan masalah ini dan memberikan surat Imam Kazhim kepadanya. Ali bin Hamzah memberikan uang sebanyak empat puluh dinar kepada Bakkar dan berkata, “Maulaku Imam Kazhim as memerintahkan aku dalam surat ini untuk memberikan uang empat puluh dinar kepadamu.”
Ketika Bakkar sampai di Qom, dia pergi ke tokonya dan menghitung barang-barang yang dicuri oleh pencuri dan ternyata barang yang hilang seharga empat puluh dinar.
Membaca Surat Shaffat Di Sisi Orang Yang Menghadapi Sakaratul Maut
Salah satu putra Imam Kazhim as sedang menghadapi sakaratul maut. Imam as memerintahkan putra yang lainnya yang bernama Qasim, seraya berkata, “Bangkit dan duduklah di sisi kepala saudaramu dan bacakan surat Shaffat untuknya!”
Qasim berkata, “Aku bangkit dan duduk di sisi kepala saudaraku dan aku bacakan surat Shaffat. Ketika sampai pada ayat ke sebelas, “Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” Saudaraku menghembuskan nafasnya yang terakhir dan meninggal dunia.”
Aku menutupkan kain di atas tubuhnya dan mengangkat jenazahnya dan kami bergerak menuju kuburan. Di jalan kami bertemu Ya’kub bin Jakfar [salah seorang famili]. Dia berkata kepada kami, “Kami berjanji dengan almarhum untuk membacakan surat Yasin saat di menghadapi sakaratul maut, tapi kalian memerintahkan untuk dibacakan surat Shaffat.”
Imam Kazhim as berkata, “Anakku tidak akan membacakan surat Shaffat untuk seorang hamba yang menghadapi detik-detik terakhir kematiannya dan dalam kesedihan, kecuali Allah Yang Maha Besar akan mempercepat dan memudahkan sakaratul mautnya.”
Slogan Revolusi
Dzunnun Misri mengatakan, “Ada sebuah syair ditulis pada sebuah dinding. Ketika aku membacanya, aku memahami bahwa penulisnya adalah keluarga Ali as dan mengeluhkan kezaliman bani Abbasiyah.”
Allamah Majlisi mengaitkan bait-bait syair ini kepada Imam Musa bin Jakfar as. Terjemahan syair itu demikian:
Aku adalah anaknya Mina dan Masy’ar
Anaknya Ka’bah dan Zamzam
Kakekku adalah Ahmad Mursal [utusan Tuhan]
Ayahku adalah Ali yaitu orang yang wilayahnya jelas bagi semua orang
Ibuku adalah Fathimah Zahra putri Rasulullah Saw yang lebih tinggi kedudukannya dari Maryam Udzra
Dua anak Rasulullah Saw; Hasan dan Husein as adalah duniaku
Nutfah mereka yang suci, masing-masing dari mereka adalah bintang langit dan imamah
Serangan kezaliman Bani Abbas membuatku hidup terkekang di dunia yang luas ini
Kali ini aku menulis, wahai para pembaca syair; “Ingat! Barang siapa yang orang lain tidak merasa aman darinya, maka dia bukan tergolong orang muslim.”
Sujud Syukur Untuk Mengingat Nikmat
Hisyam bin Ahmar mengatakan, “Saya bersama Imam Kazhim as di sekitar Madinah. Kami menunggangi kuda. Tiba-tiba Imam Kazhim as turun dari kendaraannya dan bersujud lama. Kemudian bangun dan kembali menunggangi kudanya.
Saya berkata, “Saya menjadi tebusan Anda. Anda telah bersujud lama.”
Imam Kazhim as berkata, “Saat pergi aku mengingat nikmat yang diberikan oleh Allah kepadaku. Aku senang mensyukuri Tuhanku dengan bersujud kepada-Nya karena nikmat tersebut.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Musa Kazdim as