Dampak Penyerahan Tanah Irak kepada Saudi
(last modified Mon, 02 Nov 2020 05:44:01 GMT )
Nov 02, 2020 12:44 Asia/Jakarta

Keputusan pemerintah Irak menyerahkan sebidang tanah kepada Arab Saudi sebagai bentuk investasi, memicu reaksi keras, dan peringatan dari dalam Irak sendiri.

Hubungan Irak dan Saudi dihidupkan kembali pada 2015 setelah sempat mati selama 25 tahun. Saudi pada 2015 membuka kembali kedutaan besarnya di Baghdad.

Dalam lima tahun terakhir, hubungan dua negara tidak terlalu berjalan dengan baik. Saudi menunjuk Thamer Al Sabhan sebagai duta besarnya di Baghdad, namun Irak segera meminta pemulangan Al Sabhan ke Riyadh, pasalnya sesuai bukti yang ditemukan, ia terlibat dalam aksi kerusuhan, dan demonstrasi anti-pemerintah Irak.

Saudi kemudian menunjuk Abdulaziz Al Shammari, mantan atase militer Saudi di Jerman, pada 15 Oktober 2016 sebagai kuasa usaha, dan setahun kemudian sebagai dubes di Baghdad.

Al Saud dalam beberapa tahun terakhir dengan maksud untuk memperluas hubungan dengan Irak melakukan banyak upaya. Dalam hal ini pertemuan diplomatik dua negara mengalami peningkatan.

Namun demikian pandangan rakyat Irak terhadap Saudi tidak pernah positif, dan beberapa tokoh, kelompok dan rakyat Irak percaya bahwa Saudi merupakan pendukung terorisme Daesh di Irak, dan sekarang tidak sedang berusaha memenuhi kepentingan Baghdad.

Pemerintah Perdana Menteri Mustafa Al Kadhimi yang menaruh perhatian besar terhadap semangat Arab dalam kebijakan luar negerinya, berusaha memperkuat hubungan dengan Riyadh, dan karena Irak berhadapan dengan krisis ekonomi, ia berusaha memanfaatkan kemampuan ekonomi Saudi.

Irak baru-baru ini menyerahkan sejumlah wilayah di barat dan selatan negara itu kepada Saudi sebagai investasi. Rencananya Riyadh akan menggunakan tanah ini di dua bidang pertanian, dan peternakan. Tanah ini terletak di Provinsi Karbala, Muthana, Najaf, Al Anbar, dan Basrah.

Langkah pemerintah Irak ini memicu protes keras dari dalam negeri. Aliansi negara hukum pimpinan Nouri Al Maliki, Qais Al Khazali, Sekjen Asaib Ahl Al Haq, Ali Al Assadi, Ketua Dewan Politik Perlawanan Islam Al Nujaba, dan sejumlah anggota parlemen serta politikus Irak, termasuk yang memprotes langkah ini.

Inti dari protes mereka adalah bahwa Saudi dengan dalih investasi sedang berusaha mencampuri urusan dalam negeri Irak. Para pemrotes mengatakan, Saudi sebelumnya juga berusaha menghimpun para ketua suku di wilayah barat Irak, namun gagal, dan sekarang ia menggunakan cara lain yaitu investasi.

Beberapa tokoh menyebutkan Saudi tidak punya rekam jejak yang baik di Irak, dan ia terlibat dalam kerusuhan, juga mendukung pemerintahan yang lemah di Irak.

Masalah lain yang diprotes adalah cara menanam produk pertanian yang dilakukan Saudi di wilayah Irak, karena dinilai sangat merugikan secara ekonomi, dan merusak sumber air tanah Irak, dan bukannya menguntungkan sebaliknya merugikan Irak dalam jangka panjang.

Sehubungan dengan hal ini, sejumlah anggota parlemen Irak percaya Saudi dengan dalih investasi berusaha menduduki wilayah Irak.

Investasi Saudi di Irak pertama dinilai sebagai pintu masuk beberapa perusahaan swasta rezim Zionis Israel ke Irak, dan pada kenyataannya perusahaan-perusahaan Saudi adalah perusahaan Israel.

Kedua Saudi dengan investasi ini berusaha mencapai target regionalnya, dan tidak pernah memikirkan kepentingan Irak, tapi persaingan dengan Iran di Irak. (HS)