Pengadilan Terdakwa Utama dalam Perencanaan Serangan 9/11 di Amerika Serikat
Beberapa hari sebelum peringatan dua puluh tahun serangan teroris 11 September 2001, persidangan Khalid Sheikh Mohammed, terdakwa dalang di balik serangan itu, dan empat orang lainnya akan dimulai di Amerika Serikat pada hari Selasa.
Khalid Sheikh Mohammed dan terdakwa lainnya, yang ditahan di Teluk Guantanamo selama 15 tahun, muncul di pengadilan untuk pertama kalinya sejak awal 2019. Proses tindak lanjut kasus para terdakwa telah ditangguhkan selama 17 bulan terakhir karena pandemi virus Corona.
Para terdakwa dalam persidangan sebelumnya telah menyangkal sebagian besar bukti yang diberikan oleh pemerintah AS, dengan mengatakan bahwa bukti tersebut diperoleh dengan menyiksa terdakwa di pusat penahanan CIA.
Para pengacara kasus ini mengatakan bahwa lima dari terdakwa semuanya lemah secara fisik dan menderita akibat penyiksaan berat CIA antara tahun 2002 dan 2006.
Meski mengaku sebagai pembawa bendera hak asasi manusia, pemerintah AS telah melakukan banyak tindakan pelanggaran hak asasi manusia secara terang-terangan dalam rangka memerangi terorisme. Salah satunya yang terpenting adalah penyiksaan brutal, termasuk penenggelaman buatan atau Waterboarding terhadap tersangka teroris.
Amerika Serikat membentuk sistem setelah peristiwa 9/11 untuk menangkap dan menginterogasi potensi calon anggota al-Qaeda di seluruh dunia sebagai bagian dari rencana kontraterorisme. Dalam hal ini, orang-orang yang dicurigai bekerja sama dengan al-Qaeda diculik dan dipenjarakan di tempat-tempat rahasia di luar Amerika Serikat tanpa perintah pengadilan dan diinterogasi secara brutal.
Pengadilan dalang serangan 9/11 dan kaki tangannya dimulai berdekatan dengan peringatan dua puluh tahun serangan ini. Peristiwa 11 September 2001 menandai titik balik dalam kebijakan luar negeri AS.
Beberapa hari sebelum peringatan dua puluh tahun serangan teroris 11 September 2001, persidangan Khalid Sheikh Mohammed, terdakwa dalang di balik serangan itu, dan empat orang lainnya akan dimulai di Amerika Serikat pada hari Selasa (14/09/2021).
Dalam apa yang disebut perang dunia melawan terorisme ini, lebih dari satu juta orang tewas di Irak, Afghanistan, Suriah, Libya, dan Yaman.
Pada saat yang sama, serangan 9/11 dan dugaan eskalasi ancaman teroris terhadap Amerika Serikat menjadi dalih bagi pemerintahan AS berikutnya untuk mengintensifkan tekanan dan memberlakukan berbagai pembatasan terhadap umat Islam.
Mantan Presiden AS Donald Trump telah melakukan banyak tindakan dalam hal ini, menargetkan Muslim dengan dalih memerangi terorisme.
Perintah eksekutif Trump yang melarang masuknya warga enam negara Islam ke Amerika Serikat dan Trump yang menyebut Muslim sebagai teroris patut diperhatikan dalam hal ini. Selama kampanyenya, Trump secara eksplisit menekankan peran pemerintahan Obama dalam pembentukan kelompok teroris ISIS.
Ivan Ipolitov, pakar politik percaya bahwa tujuan AS dalam beberapa tahun terakhir selalu menggunakan terorisme dan ekstremisme sebagai alat.
Isu penting yang benar-benar diabaikan oleh Washington pasca 9/11 adalah tindakan Arab Saudi dalam memberi asupan ideologis, serta pembiayaan dan logistik kepada para pelaku peristiwa 9/11.
Riyadh telah memainkan peran utama dalam menyebarkan ideologi ekstremis Wahabisme. Laporan Kongres AS tentang peristiwa 9/11, yang diterbitkan pada Juli 2016, secara eksplisit menyatakan bahwa 15 dari 19 pilot yang terlibat dalam serangan 9/11 adalah warga negara Saudi.
Hal ini menyebabkan pengesahan UU JASTA di Kongres AS, yang memungkinkan keluarga dan kerabat korban 9/11 untuk menuntut pemerintah dan otoritas Saudi karena membantu para pelaku 9/11. Namun pemerintahan Obama dan Pemerintahan Trump, dengan dalih dampak negatif undang-undang tersebut pada hubungan bilateral Riyadh-Washington, praktis memblokir implementasinya.
Sekarang Presiden AS Joe Biden telah mengeluarkan perintah eksekutif untuk meninjau dokumen-dokumen terkait kejadian ini untuk dikeluarkan dari situasi kerahasiaan karena tekanan dari keluarga korban 9/11.