Pemerintah Biden Setuju Menjual Senjata ke Arab Saudi
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah setuju untuk menjual rudal udara-ke-udara senilai $650 juta dan peralatan terkait ke Arab Saudi.
Washington telah mengklaim bahwa penjualan rudal ke Arab Saudi akan membantu mempertahankan serangan pesawat tak berawak lintas batas yang membahayakan personel militer Saudi dan AS.
Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS juga memberi tahu Kongres dalam sebuah surat pada hari Kamis (04/11/2021) bahwa penjualan peralatan itu akan "memperkuat kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS".
Surat itu menggambarkan Arab Saudi sebagai "negara sahabat" yang merupakan "kekuatan penting bagi perubahan ekonomi dan politik di Timur Tengah".
Penjualan senjata baru AS ke Arab Saudi bertentangan dengan janji Presiden AS Joe Biden untuk mengakhiri perang di Yaman dan mencegah pengiriman senjata ofensif ke Saudi.
Penggunaan senjata Amerika untuk menargetkan sasaran sipil di Yaman oleh jet-jet tempur Arab Saudi telah menimbulkan banyak kritik dan kekhawatiran bagi para pembela hak asasi manusia.
Dalam upaya untuk membenarkan kesepakatan senjata, pemerintah Biden mengklaim bahwa mereka hanya berusaha membantu Arab Saudi mengisi kembali persediaan rudalnya, seraya menekankan bahwa rudal tersebut tidak akan digunakan untuk menyerang target di darat.
Terlepas dari klaim awal pemerintahan Biden tentang pertimbangan ulang hubungan Washington-Riyadh dan sikap keras lebih lanjut terhadap rezim Saudi, kepentingan geopolitik jangka panjang AS di kawasan Asia Barat telah membuat Washington secara bertahap mengubah sikapnya terhadap Riyadh.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah setuju untuk menjual rudal udara-ke-udara senilai $650 juta dan peralatan terkait ke Arab Saudi.
Setelah Presiden Joe Biden menjabat pada Januari 2021 dan beberapa pengambilan sikapnya serta para pejabat seniornya, seperti Menteri Luar Negeri Anthony Blinken, tentang revisi hubungan Washington-Riyadh, perubahan mendasar diharapkan bakal terjadi.
Namun sekarang menjadi jelas bahwa terlepas dari janji-janji ini, kebijakan AS secara keseluruhan terhadap Arab Saudi, sebagai salah satu sekutu utamanya di Teluk Persia dan Asia Barat, terus berkisar pada dukungan yang komprehensif dan membelanya.
Oleh karena itu, bantuan dan kerja sama militer kedua negara terus dilakukan.
"Sekalipun pemerintahan Biden telah mengadopsi kebijakan yang berbeda terhadap Arab Saudi dari pemerintahan Trump dan mencoba untuk meninjau hubungannya dengan negara-negara Teluk Persia, tetapi berbagai latihan militer antara Washington dan Riyadh tidak pernah berhenti," kata Taha al-Ani, seorang pakar politik Arab.
Meskipun pemerintah Biden untuk sementara menangguhkan pengiriman senjata ke Arab Saudi karena perang koalisi Saudi yang sedang berlangsung di Yaman, apa yang disebut pembatasan hanya berlaku untuk senjata ofensif.
Untuk alasan ini, dan dengan dalih berlanjutnya serangan Yaman ke Arab Saudi, pemerintah Biden terus memperkuat rezim Saudi sebanyak mungkin.
Amerika Serikat mengambil sikap mundur secara diam-diam dari sikap kerasnya terhadap Arab Saudi ketika Biden mengumumkan penangguhan penjualan senjata ke Arab Saudi. Menurutnya, “Amerika Serikat tidak pernah menempatkan prinsipnya di balik pintu untuk hanya membeli minyak dan menjual senjata.”
Namun, janji ini tampaknya terbatas pada penangguhan penjualan senjata ofensif udara-ke-darat.
Saudi sekarang ingin membeli senjata canggih dari Amerika Serikat yang pada kenyataannya bertujuan untuk membangun kembali hubungan antara Riyadh dan Washington. Dalihnya sederhana, mereka mengkhawatirkan serangan rudal dan pesawat tak berawak oleh Perlawanan Yaman serta mempertahankan minyak dan fasilitas strategis mereka.
Tanggapan positif pemerintahan Biden terhadap permintaan Riyadh menunjukkan bahwa Washington mengabaikan terjadinya salah satu bencana kemanusiaan terbesar di negara Yaman yang dilanda perang. Negara yang telah menjadi target serangan brutal oleh koalisi Saudi selama lebih dari enam tahun.
Dengan langkah ini, Amerika Serikat telah menjadikan ekonominya dan sekutunya sebagai prioritas dalam kebijakannya di Asia Barat.