AS Percepat Penjualan Senjata ke Saudi dan UEA, Mengapa?
(last modified Mon, 05 Sep 2022 11:24:09 GMT )
Sep 05, 2022 18:24 Asia/Jakarta
  • Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense).
    Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense).

Surat kabar Amerika, The Wall Street Journal menyebutkan dalam sebuah laporan bahwa di tengah krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) dan persaingan perdagangan dengan Cina, Presiden Joe Biden memutuskan untuk mempercepat transaksi penjualan senjata dan pencabutan larangan ekspor senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).

Keputusan untuk mencabut larangan ekspor senjata ke Arab Saudi dan UEA diambil ketika banyak laporan telah diterbitkan mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman.

Selain janji penjualan senjata ke negara-negara Eropa dan Taiwan, pemerintah Biden juga membatalkan embargo penjualan senjata "ofensif" ke Arab Saudi dan UEA. Sebelumnya, Pentagon mengumumkan bahwa Kementerian Luar Negeri AS telah setuju atas penjualan senjata ke Arab Saudi dan UEA.

Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan pada awal Juli 2022 bahwa mereka telah menyetujui penjualan sistem rudal Patriot dan peralatan terkait ke Arab Saudi senilai $3,05 miliar dan sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) ke Uni Emirat Arab senilai $2,25 miliar.

Persetujuan penjualan senjata AS ke Arab Saudi dan UEA diumumkan setelah Biden baru-baru ini mengunjungi Riyadh untuk pertama kalinya sebagai presiden AS.

Tampaknya situasi ekonomi AS yang tidak menguntungkan, yang sekarang dihadapkan dengan inflasi tinggi dan resesi yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah menyebabkan kekhawatiran para pejabat Washington dan mendorong Gedung Putih untuk meningkatkan penjualan senjata kepada sekutu dan mitranya di seluruh dunia.

Tindakan ini bertentangan dengan janji Biden sebelumnya. Selama kampanye pemilu presiden 2020, Biden menggambarkan Arab Saudi sebagai negara tercela dan tertolak. Dia berjanji untuk membuat Riyadh bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, tetapi hingga sekarang Biden belum mengambil langkah efektif apa pun dalam hal ini.

Setelah Biden menjabat sebagai Presiden AS pada Januari 2021 dan sejumlah kebijakannya dan juga para pejabat senior pemerintahannya seperti Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken terkait revisi hubungan Washington dan Riyadh, diharapkan akan ada perubahan mendasar di bidang ini, dan perubahan itu selalu dinantikan.

Tetapi sekarang jelas bahwa terlepas dari janji-janjinya ini, termasuk penangguhan sementara penjualan senjata ke Riyadh, kebijakan umum AS terhadap Arab Saudi, sebagai salah satu sekutu utamanya di Teluk Persia dan Asia Barat, masih didasarkan pada dukungan dan pertahanan yang komprehensif, oleh karena itu, proses bantuan dan kerjasama militer kedua negara terus berlanjut.

Taha al-Ani, seorang pakar politik Arab, mengatakan, meskipun pemerintah Biden telah mengadopsi kebijakan yang berbeda terhadap Arab Saudi dibandingkan dengan pemerintahan Donald Trump, namun latihan militer antara Washington dan Riyadh tidak berhenti.

Pada Februari 2021, Biden mengumumkan bahwa AS akan berhenti mendukung operasi ofensif Arab Saudi di Yaman dan menghentikan pasokan senjata terkait. Meskipun Washington untuk sementara berhenti mengirim senjata ke Arab Saudi karena berlanjutnya perang kejam militer koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman, tapi apa yang disebut pembatasan dan penghentian pasolan senjata ini adalah hanya berlaku untuk senjata "ofensif".

Oleh karena itu, pada Oktober 2021, pemerintahan Biden menyetujui penjualan rudal udara-ke-udara senilai $650 juta dan peralatan terkait ke Arab Saudi. Mundur secara pelan dan diam-diam AS dari posisi keras terhadap Arab Saudi terjadi ketika Biden mengumumkan penangguhan penjualan senjata ke Arab Saudi. Dia mengatakan, AS tidak akan pernah meninggalkan prinsipnya untuk hanya membeli minyak dan menjual senjata.

Tampaknya terlepas dari klaim awal pemerintahan Biden tentang revisi hubungan antara Washington dan Riyadh dan tindakan yang lebih ketat dan keras terhadap Arab Saudi, namun kepentingan jangka panjang dan geopolitik AS di kawasan Asia Barat telah memaksa Washington untuk secara bertahap mengubah posisinya.

Selain itu, pendekatan Biden terhadap Arab Saudi telah melunak setelah serangan Rusia ke Ukraina, dan dia bahkan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman selama perjalanannya baru-baru ini ke Arab Saudi.

Alasan untuk ini adalah bahwa AS dan mitranya, Barat, berusaha untuk meningkatkan pasokan minyak dari Arab Saudi di pasar dunia, sehingga mereka dapat menutupi kekosongan sumber daya minyak setelah sanksi terhadap Rusia.

Namun, menurut banyak analis, kunjungan Biden ke Arab Saudi tidak mencapai hasil yang diinginkan Washington, termasuk di bidang peningkatan pasokan minyak Arab Saudi di pasar minyak. Lawatan tersebut juga menuai banyak kritik bahkan di kalangan politisi AS, dan banyak yang menyebut perjalanan Biden ke Arab Saudi sebagai kunjungan yang tidak membawa hasil dan pencapaian. (RA)