Sep 18, 2022 18:32 Asia/Jakarta
  • The M142 High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS).
    The M142 High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS).

Perkembangan dan berita di Amerika Serikat selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting di antaranya pengiriman alutsista baru negara ini ke Ukraina.

Menteri Pertahanan Ukraina mengumumkan bahwa AS mengirim alat utama sistem pertahanan (alutsista) baru, termasuk sistem rudal artileri Himars ke negaranya.

Rusia memulai operasi militer di Ukraina pada 24 Februari sebagai reaksi atas tindakan provokatif NATO di perbatasan negara itu.

Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat bukan hanya tidak melakukan apa pun untuk mengurangi ketegangan dan menghentikan konflik di Ukraina. Bahkan meningkatkan ketegangan dengan mengirimkan alutsista dan senjata ke Ukraina untuk menekan Rusia, yang semakin mengobarkan kerusuhan di negara ini.

Setelah pertemuan di pangkalan udara AS di Rammstein, Ukraina, Menteri Pertahanan Ukraina, Alexei Reznikov hari Minggu (11/9/2022) mengatakan, "Delegasi Ukraina menyelesaikan perjalanan yang sangat bermanfaat dari kunjungan kelompok kontak pertahanan kelima Ukraina, dan paket bantuan tambahan senilai 675 juta dolar telah diterima dalam pertemuan ini, termasuk sistem rudal Himars,".

Sistem rudal Himars adalah bagian dari paket bantuan senilai 675 juta dolar yang telah dialokasikan Amerika Serikat untuk Ukraina, dan diumumkan Kamis lalu oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat.

Sistem rudal Himars dapat menembakkan beberapa peluru kendali dengan jangkauan hingga 50 mil.

Pengobaran Perang AS di Dunia, Warisan Peristiwa 11 September

Amerika Serikat kembali memperingati 20 tahun peristiwa 11 September ketika negara ini masih menghadapi konsekuensi dari peristiwa yang menentukan ini. Sebuah peristiwa yang bisa disebut sebagai faktor fundamental bagi dimulainya era baru dalam hubungan internasional.

Peristiwa 11 September 2001 menyebabkan terbentuknya trend dan peristiwa di kancah internasional dan regional, khususnya di Asia Barat, yang masih meninggalkan pengaruhnya meskipun peristiwa ini sudah lama berlalu. Peristiwa ini dapat dianggap sebagai titik balik dalam kebijakan luar negeri Amerika.

Setelah serangan 11 September, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat, mengambil pendekatan agresif dengan menyerang Afghanistan dan Irak dengan dalih perang global melawan terorisme. Dalam apa yang disebut perang global melawan terorisme ini, lebih dari satu juta orang tewas di Irak, Afghanistan, Suriah, Libya, dan Yaman.

Pendudukan Irak dan konsekuensinya pada akhirnya mengarah pada pembentukan kelompok teroris seperti Daesh (ISIS), yang menciptakan banyak kejahatan di Irak dan Suriah.

Namun, Amerika Serikat tidak mendapatkan hasil apa pun dari operasi militer ini dan meninggalkan Afghanistan pada tahun 2021 dengan kegagalan total, meskipun masih mempertahankan kehadiran militernya di Irak dan Suriah.

Selain ribuan tentara Amerika terbunuh dan terluka, perang ini juga membebani anggaran negara yang menurut Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, berjumlah 7 triliun dolar.

Pada saat yang sama, pemenang utama aksi militer AS setelah 11 September adalah perusahaan senjata negara itu.

Menurut penelitian Watson Institute of Public and International Affairs Brown University, setengah dari total anggaran Departemen Pertahanan AS (Pentagon) antara 2001 dan 2020, yang mencapai 14 triliun dolar, masuk ke berbagai kontraktor dan perusahaan senjata negara ini. Dari jumlah ini, 4,4 triliun dolar telah dialokasikan untuk kompleks industri militer AS.

Sejarawan dan analis internasional Charles Strozier mengatakan, "Serangan 11 September menciptakan krisis eksistensial yang mendalam di Amerika Serikat, setelah itu Washington bereaksi seperti "binatang yang terluka" dan meluncurkan perang rawa melawan terorisme sebagai negara adidaya dunia."

Isu lain yang patut mendapat perhatian dalam konteks ini adalah peran peristiwa 11 September dalam meningkatkan Islamofobia dan kekerasan terhadap umat Islam di Amerika. Survei menunjukkan bahwa dalam dua puluh satu tahun terakhir dan setelah insiden 11 September, Islamofobia meningkat di Amerika.

Banyak Muslim Amerika merasa bahwa mereka menjadi sasaran diskriminasi, kekerasan, rasa tidak hormat, dan kebencian karena kejahatan yang tidak mereka lakukan atau dukung.

Peringatan 20 tahun peristiwa 11 September diperingati kembali ketika Amerika Serikat masih menghadapi konsekuensi dari peristiwa yang menentukan ini. Sebuah peristiwa yang bisa disebut sebagai faktor fundamental bagi dimulainya era baru dalam hubungan internasional.

Islamofobia dan serangan kebencian terhadap umat Islam meningkat terutama selama pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump, yang jelas-jelas memiliki posisi sayap kanan yang ekstrem. Dengan dalih memerangi terorisme, Trump memfokuskan serangan dan tindakannya pada Muslim.

Secara khusus, dikeluarkannya executive order Trump yang melarang masuknya warga 6 negara Islam ke Amerika Serikat dan menyebut Muslim sebagai teroris menunjukkan pendekatan sepihaknya di bidang ini.

Harus dikatakan bahwa pemerintah Amerika sendiri telah menjadi salah satu faktor meningkatnya skeptisisme dan kekerasan terhadap Muslim Amerika, terutama di era Trump.

Mildred Elizabeth Sanders, profesor Cornell University, mengatakan, Perubahan terbesar yang terjadi di masyarakat Amerika setelah serangan 11 September adalah ketakutan Muslim dan meningkatnya skeptisisme terhadap Arab Saudi.

Isu penting yang diangkat dalam konteks debat 11 September adalah upaya presiden Amerika dari George W. Bush hingga Trump untuk menutupi peran Arab Saudi dalam mendukung agen serangan 11 September dengan dalih negatif dampak penerapan undang-undang ini terhadap hubungan bilateral antara Riyadh dan Washington.

Alasannya adalah kepentingan ekonomi dan strategis Amerika dan peran penting rezim Saudi di kawasan Asia Barat.

Meskipun Joe Biden awalnya mengambil sikap tegas terhadap rezim Saudi dan mengklaim untuk mendefinisikan kembali hubungan dengan Riyadh, tetapi pada akhirnya, sesuai dengan kepentingan dan pertimbangan strategis Amerika terhadap Riyadh, negara ini menjalin hubungan luas yang sama dengan Saudi dan penjualan senjata telah kembali ke Riyadh.

Terlepas dari klaim Amerika tentang perang melawan terorisme di tingkat global, tetapi dalam kasus-kasus seperti dukungan Saudi untuk para pelaku insiden 11 September, yang dianggap sebagai salah satu insiden teroris terpenting di abad ke-21, Washington telah menutup matanya untuk melihat fakta yang tak terbantahkan ini.

John Bolton Klaim Bahaya Perang Nuklir AS-Rusia Semakin Nyata

Mantan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat mengklaim, bahaya perang nuklir AS dan Rusia semakin nyata saat ini.

John Bolton, Selasa (13/9/2022) dalam sebuah acara radio mengatakan, bahaya potensial penggunaan senjata nuklir bukanlah untuk mengubah kondisi arena pertempuran, tapi untuk memperkuat posisi Presiden Rusia Vladimir Putin di rumahnya.

Saat ditanya apakah Putin akan menggunakan senjata nuklir, Bolton mengiyakan dan menuturkan, "Saat ini setelah keberhasilan Ukraina di wilayah utara, kita berada pada titik ini, akan tetapi dibandingkan dengan sebelumnya, kita jauh lebih dekat dengan perang nuklir."

Ia menambahkan, "Putin tidak akan menggunakan senjata nuklir kecuali pasukan Ukraina berhasil meraih kemenangan yang dianggap cukup untuk menembus perbatasan Rusia."

Baru-baru ini pasukan Ukraina mengaku melancarkan serangan balik luas ke pasukan Rusia, dan mengklaim berhasil memukul mundur pasukan Rusia dari utara negara itu.

Polling: Warga AS Percaya 10 Tahun Lagi Negaranya akan Diinvasi

Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh YouGov terhadap warga Amerika Serikat, setengah dari responden mencemaskan keruntuhan total ekonomi negara, invasi militer dan perang saudara.

Dikutip Newsweek, Selasa (13/9/2022), hasil jajak pendapat itu menunjukan hampir sepertiga orang AS meyakini bahwa negaranya akan diinvasi kekuatan asing pada dasawarsa berikutnya. Hal ini dianggap sebagai bentuk pesimisme warga AS terhadap masa depan negaranya.

Menurut jajak pendapat yang hasilnya dirilis pada 7 September 2022, dan dilakukan antara 1-4 September serta melibatkan 1.000 warga AS itu, 31 persen responden percaya satu dekade ke depan negaranya akan diinvasi kekuatan asing.

Sementara 12 persen responden meyakini kemungkinan besar sebuah negara akan melancarkan serangan terhadap AS.

Selain itu, setengah responden percaya AS akan kehilangan status negara superpower, dan 20 persen responden percaya kemungkinan besar AS akan kehilangan kekuatan supernya.

Di sisi lain, 27 persen responden percaya akan terjadi keruntuhan ekonomi total di AS, dan 20 persen responden lain merasa hal ini sangat mungkin terjadi.

Hasil jajak pendapat ini juga menunjukan satu dari empat warga AS meyakini akan terjadi perang saudara antara kubu Demokrat dan Republik di negara ini.

13% Inflasi AS, Hasil Hasutan Perang Pemerintah Biden

Sejak Joe Biden memasuki Gedung Putih, tingkat inflasi di Amerika Serikat telah mencapai dua digit, dan dengan kenaikannya menjadi 13%, situasi ekonomi keluarga di negara ini semakin memburuk.

Menurut perhitungan Peter C. Earl, ekonom di Institut Penelitian Ekonomi Amerika, inflasi AS telah meningkat lebih dari 13% sejak pelantikan Biden pada Januari 2021.

Sementara itu, inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang tidak stabil, meningkat hampir 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Upah meningkat hanya 8%, yang secara efektif mengurangi pendapatan kelas menengah Amerika, dan kelompok ini berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, gas dan sewa rumah.

Dalam pidatonya, Biden telah mencoba untuk mengecilkan inflasi dan menunjuk ke penurunan harga bensin, serta mengklaim bahwa ini adalah tanda bahwa inflasi mulai normal.

Biden mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Data hari ini menunjukkan kemajuan lebih lanjut dalam pengurangan inflasi ekonomi AS. Secara umum, harga-harga di dalam negeri sudah stabil dalam dua bulan terakhir. Ini adalah kabar baik bagi keluarga Amerika, dan masih banyak yang harus dilakukan."

Sekalipun demikian, biaya kebutuhan pokok jauh lebih tinggi daripada ketika Biden berkuasa dan menjanjikan untuk memulihkan kemakmuran kelas menengah.

Menurut ekonom AS Tomas J. Phillipson, kebijakan Biden telah berkontribusi pada "ancaman tiga sisi" dan memukul anggaran rumah tangga.

Menurutnya, Biden telah secara dramatis meningkatkan permintaan dengan kebijakan fiskal. Peningkatan permintaan mendorong kenaikan harga. Dia semakin membatasi pasokan, terutama dalam energi, dan juga di sektor lain. Selain itu, Federal Reserve telah memonetisasi masalah ini dengan mencetak uang.

Terlepas dari kenyataan bahwa para ekonom Amerika mencoba mengaitkan inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat dengan masalah domestik, termasuk kebijakan keuangan dan ekonomi pemerintah Biden, tetapi faktanya adalah bahwa inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat dalam 40 tahun terakhir, terutama inflasi kenaikan tajam dalam harga energi sebagian besar merupakan hasil dari kebijakan dan tindakan pemerintahan Biden dalam konteks perang Ukraina.

Sebenarnya, Joe Biden telah membuat proyeksi tentang ini dan telah memperkenalkan Rusia sebagai penyebab utama situasi inflasi yang tidak terkontrol di Amerika Serikat.

Sejak Joe Biden memasuki Gedung Putih, tingkat inflasi di Amerika Serikat telah mencapai dua digit, dan dengan kenaikannya menjadi 13%, situasi ekonomi keluarga di negara ini semakin memburuk.

Pada awal Juni 2022, Presiden Amerika Serikat, dalam sebuah pernyataan mengenai kenaikan harga yang tiba-tiba di negaranya, mengklaim bahwa memerangi inflasi adalah prioritas pemerintahnya, tetapi "kenaikan harga adalah hasil dari tindakan pemerintah Presiden Rusia, Vladimir Putin".

Patut dicatat bahwa kebanyakan orang Amerika menganggap presiden negara mereka bertanggung jawab atas peningkatan inflasi. Menurut jajak pendapat, hanya 11% orang Amerika yang setuju dengan Biden bahwa Putin adalah penyebab kenaikan harga di Amerika Serikat.

Tindakan pemerintah Biden dalam embargo energi Rusia, yang dianggap sebagai salah satu pengekspor minyak ke Amerika Serikat, dan efek umum pada pasar minyak internasional telah menyebabkan kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam harga produk-produk energi seperti bensin dan diesel di Amerika Serikat, dan sebagai hasilnya, peningkatan tingkat inflasi di negara ini.

Dengan sanksi energi Rusia dan mendorong negara-negara Eropa untuk mengadopsi kebijakan serupa, Washington memulai serangkaian tindakan, yang hasilnya adalah penurunan tajam dalam ekspor minyak dan gas Rusia ke Eropa dan kenaikan tajam harga gas.

Selain itu, embargo minyak Rusia tidak membuahkan hasil selain kenaikan harga minyak di pasar internasional, dan akibatnya menyebabkan kenaikan tajam harga bensin di Amerika Serikat, bahkan hingga 6 dolar per galon.

Pemerintahan Biden telah berulang kali menyatakan bahwa inilah harga yang harus dibayar rakyat Amerika untuk apa yang disebut kebebasan.

Pada saat yang sama, pemerintah Biden telah mengirim miliaran dolar bantuan militer dan senjata ke Ukraina yang telah mencapai sekitar 15 miliar dolar sejauh ini.

Bradley Devlin, analis Amerika dalam sebuah artikel di situs American Conservatory meneliti penyebab bantuan senjata pemerintah AS ke Ukraina untuk memerangi Rusia dan menulis, Tujuan presiden AS adalah untuk membantu kompleks militer dan industri AS di tengah inflasi dan masalah domestik Amerika Serikat.

AS Jatuhkan Sanksi Baru terhadap Iran

AS melanjutkan tindakan permusuhan terhadap Republik Islam Iran dengan menambahkan nama-nama individu dan institusi baru ke dalam daftar sanksi dengan dalih melakukan tindakan serangan siber yang berbahaya.

Amerika Serikat memiliki rekam jejak kelam sebagai negara yang paling banyak menjatuhkan sanksi terhadap negara lain.

Sanksi-sanksi yang dikenakan dengan berbagai dalih politik terhadap berbagai negara termasuk Iran, Rusia, Venezuela, Cina, Kuba dan beberapa negara lain di dunia, telah menyebabkan negara-negara ini kesulitan mengakses pasar global, bahkan untuk penyediaan pasokan medis, peralatan dan obat-obatan.

Departemen Keuangan AS hari Rabu (14/9/2022) menempatkan nama 10 individu dan dua institusi dalam daftar sanksi dengan dalih peran mereka dalam aktivitas siber yang berbahaya.

Sebanyak 10 orang yang masuk dalam daftar sanksi tersebut semuanya warga negara Iran.

Afkar System Yazd Company dan Fater Intelligent Technology Savior Company termasuk dua perusahaan Iran yang masuk dalam daftar sanksi AS.

Sanksi baru AS diberlakukan dalam situasi ketika pemerintah Presiden Joe Biden mengklaim  bermaksud memberikan alasan yang diperlukan untuk mengembalikan negaranya ke perjanjian nuklir JCPOA melalui negosiasi.

Selama beberapa bulan terakhir, pejabat pemerintah Joe Biden telah berulang kali secara terbuka mengakui kegagalan kebijakan tekanan maksimum, dan mengklaim berniat mengembalikan Amerika ke JCPOA. Namun sejauh ini, mereka menolak untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk kembali ke perjanjian ini.

Sebagai negara yang bertanggung jawab, Republik Islam Iran telah berkali-kali menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah pihak yang melanggar perjanjian, maka Washington harus kembali ke perjanjian JCPOA dengan menghapus sanksi, dan implementasinya harus diverifikasi Tehran.

AS Ingin Bekerja Sama dengan Pemerintah Taliban

Perwakilan khusus AS untuk Afghanistan mengumumkan dukungannya untuk berinteraksi dengan pemerintah Taliban.

Pernyataan Thomas West, Wakil Khusus AS untuk urusan Afghanistan tentang minatnya untuk berinteraksi dengan pemerintah Taliban, sementara Washington telah memainkan peran terbesar terkait peningkatan masalah Afghanistan selama setahun ini.

Sejak Taliban berkuasa setahun lalu di Afghanistan, Washington telah memblokir sekitar sepuluh miliar dolar AS aset negara ini dan tidak mengakui pemerintah ini.

Menurut laporan Afghan Voice Agency (AVA), Thomas West, Wakil Khusus AS untuk urusan Afghanistan mengatakan kepada wartawan pada hari Rabu (14/09/2022), Kami mendukung interaksi dengan Taliban dan kami percaya bahwa hubungan dengan pemerintah Taliban diperlukan untuk menyelesaikan masalah dari rakyat negara ini.

Perwakilan khusus AS untuk Afghanistan mengklaim, AS tidak dapat memiliki sikap khusus mengenai pengecualian perjalanan anggota pemerintah Taliban. Karena ini adalah masalah keamanan yang besar. Baru-baru ini, anggota Dewan Keamanan PBB tidak mencapai kesepakatan tentang pembebasan perjalanan 13 pejabat Taliban dan tidak memperpanjang pengecualian perjalanan mereka.

West juga mengklaim tentang transfer 3,5 miliar dolar dari aset beku Afghanistan ke dana perwalian moneter di Swiss. Menurutnya, Kami percaya bahwa uang ini untuk membantu rakyat Afghanistan dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan teroris.

Image Caption

Ketua DPR AS Kunjungi Armenia, Pengamanan Diperketat

Pengamanan di Yerevan, ibu kota Armenia diperketat seiring kunjungan ketua Dewan Perwakilan Amerika ke negara ini.

Sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri AS Karen Donfried bertemu dengan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan untuk membahas isu-isu regional termasuk situasi di Kaukasus Selatan, konflik Karabakh, kegiatan Komisi keamanan perbatasan antara Armenia dan Republik Azerbaijan.

Karen Donfried dalam pertemuan ini mengklaim pemerintah Amerika sedang berusaha untuk memperluas dan meningkatkan kerja sama dengan Armenia di berbagai bidang.

Kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Armenia disambut kehadiran pasukan polisi yang menjaga keamanan secara ketat di Yerevan dan jalan daerah utara negara ini.

Kunjungan Pelosi ke Armenia terjadi di tengah konflik baru antara negara ini dan Republik Azerbaijan.

Tentara Armenia dan Republik Azerbaijan bentrok di wilayah Karabakh yang disengketakan pada 27 September 2020. Perang ini berakhir setelah 44 hari dengan mediasi Rusia dan dengan penandatanganan perjanjian untuk mengembalikan banyak bagian wilayah Karabakh, termasuk kota Shusha ke Republik Azerbaijan.

Tags