Apakah Republik Kelima Prancis telah Mencapai Garis Finis?
-
Presiden Prancis Emmanuel Macron
Pars Today - Partai-partai sayap kiri Prancis telah mengajukan mosi tidak percaya di parlemen negara itu yang menyerukan pemakzulan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Jean-Luc Mélenchon, pemimpin Indomitable Left (LFI) mengatakan bahwa oposisi telah mengajukan mosi tidak percaya di parlemen yang menyerukan pemakzulan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Mosi pemakzulan terhadap Macron di Majelis Nasional Prancis merupakan tanda melemahnya kekuasaan presiden, dan dampaknya melampaui batas-batas Paris. Prancis saat ini berada di tengah krisis politik, ekonomi, dan sosial, dan pertanyaan utamanya adalah apakah Republik Kelima telah mencapai akhir?
Untuk pertama kalinya di Republik Kelima, empat perdana menteri berkuasa dalam kurun waktu dua puluh bulan. Jika pemerintahan François Bayrou runtuh, yang sangat mungkin terjadi, Macron masih harus mencari wajah baru untuk perdana menteri di tengah krisis politik. Untuk menghindari jebakan pemakzulan, Macron harus memilih tokoh dari kubu kiri-tengah.
Namun, tampaknya mustahil seorang perdana menteri berhaluan kiri-tengah akan memimpin Prancis keluar dari krisis politik, ekonomi, dan sosial yang mendalam. Prancis sedang bergulat dengan defisit anggaran dan utang yang menggunung. Siapa pun yang menjadi perdana menteri harus menerapkan kebijakan reformasi ekonomi untuk mengurangi pengeluaran. Kebijakan ini telah menjatuhkan tiga perdana menteri dalam satu setengah tahun terakhir, dan yang keempat berada di ambang kejatuhan.
Jean-Luc Mélenchon, pemimpin partai kiri "Insurrectionist", arsitek pemakzulan Macron, telah berkata terus terang, "Macron harus pergi." Di Lille, ia bertaruh pada jatuhnya pemerintahan François Bayrou dan menganggap pemakzulan presiden sebagai kemenangan bagi rakyat.
Sementara itu, gerakan sayap kanan ekstrem yang dipimpin oleh Marine Le Pen dan Jordan Bardella juga telah bergabung dengan kubu kiri.
Perekonomian adalah mesin utama krisis mendalam Prancis dalam berbagai dimensi. Dengan utang sebesar 113% dari PDB dan defisit anggaran sebesar 5,8%, Prancis telah menjadi salah satu negara dengan ekonomi paling rapuh di Uni Eropa.
Perdana Menteri Bayrou telah mencoba memulihkan kepercayaan pasar dengan anggaran penghematan sebesar 44 miliar euro, tetapi upaya tersebut gagal dan memicu gelombang protes sosial baru. Jalan-jalan siap untuk pemberontakan lainnya; serikat buruh mengancam akan "memblokir segalanya" pada 10 September.
Koalisi partai kiri dan kanan telah mengumumkan bahwa mereka akan memberikan suara menentang anggaran penghematan Bayrou. Bayrou berada di ambang kehancuran dan jika ia mundur, ia akan menjadi perdana menteri keempat yang digulingkan dalam dua puluh bulan. Rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya ini telah melumpuhkan Republik Kelima.
Macron memiliki pilihan terbatas, membubarkan parlemen dan berisiko memperkuat kubu sayap kanan ekstrem dengan pemilu baru, atau menunjuk perdana menteri sementara dan menunda krisis. Kedua pilihan tersebut merupakan "piala beracun" baginya.
Konsekuensi krisis Prancis tidak terbatas pada Paris. Eropa kini menghadapi jurang pemisah baru. Sementara Paris terjerumus dalam ketidakstabilan, Berlin berada dalam posisi istimewa di bawah kepemimpinan baru Friedrich Merz.
Sejak menjabat sebagai kanselir pada Juni 2025, Merz telah menekankan perlunya disiplin fiskal dan kembalinya Eropa ke tatanan Atlantik. Ia ingin mengonsolidasikan kepemimpinan ekonomi dan politik Uni Eropa, dan kelemahan Paris adalah peluang terbaiknya.
Para analis di Institut Montaigne di Paris dan Yayasan Konrad Adenauer di Berlin sepakat bahwa krisis Prancis akan meningkatkan pengaruh Jerman.
Jika pemerintahan Bayrou jatuh dan Macron semakin melemah, suara Eropa di Brussel akan terdengar bukan dari Paris, melainkan dari Berlin. Berbeda dengan Schulz, Merz sangat ingin bekerja sama lebih erat dengan Washington, yang dapat mengganggu keseimbangan tradisional Prancis-Jerman.
Dimensi sosial dari krisis ini juga tidak dapat diabaikan. Kepercayaan publik terhadap elite politik di Prancis telah runtuh. Jajak pendapat menunjukkan bahwa kelompok sayap kanan ekstrem akan menang jika pemilu digelar lebih awal.
"Saat ini, Prancis frustrasi, marah, dan penuh kebencian terhadap elite politik. Pergantian rezim tampaknya tak terelakkan, tetapi tidak ada yang tahu siapa yang akan melakukannya dan bagaimana carany," kata Dominique Moisi, seorang analis veteran Prancis.
Situasi ini mengingatkan pada Mei 1968, tetapi dengan satu perbedaan penting: de Gaulle mampu memulihkan otoritasnya, tetapi Macron terlalu lemah untuk melakukannya. Banyak orang, bahkan di kubunya, berbisik-bisik tentang pengunduran dirinya. Namun, menurut Mathieu Gallard dari Ipsos, "Pengunduran diri Macron juga tidak akan menyelesaikan krisis. Struktur politiknya lumpuh."
Pasar keuangan juga khawatir. Perbandingan dengan krisis utang Yunani tahun 2009 semakin sering dilakukan. Jika Prancis gagal mengendalikan pengeluarannya, seluruh euro akan tertekan. Itulah kenyataannya.
Merz telah memperingatkan di Berlin, menyerukan pembatasan fiskal yang lebih ketat. Dengan kata lain, krisis Paris telah menjadi instrumen kekuasaan Berlin.
Pada akhirnya, pemakzulan Macron bukan sekadar pergulatan politik internal, melainkan simbol perpecahan historis. Republik Kelima akan segera berakhir, ketidakpuasan sosial mencapai puncaknya, dan keseimbangan kekuatan di Eropa telah bergeser ke arah Jerman di bawah Merz. Jika Prancis tidak dapat menemukan jalan keluar dari siklus ketidakstabilan ini, Eropa akan menghadapi persatuan di mana suara dominan berasal dari Berlin dan Paris hanyalah penonton belaka.(sl)