Hari Santri di Era AI: Foresight dan Tantangan sebagai Penjaga dan Perancang Nilai
Apakah Hari Santri masih relevan di era kecerdasan buatan, ketika tulisan dapat dibuat mesin, video diproduksi dalam hitungan detik, dan data melimpah melebihi kemampuan umum manusia memahaminya?
Oleh: Purkon Hidayat
Bagi sebagian orang, perayaan seperti itu terasa seremonial, bahkan sentimentil. Namun, barangkali justru di tengah gempuran teknologi dan kebisingan informasi inilah santri kembali dibutuhkan, bukan sekadar penjaga masa lalu, melainkan arsitek moral masa depan.
Kini, kita hidup di zaman yang memuja kecerdasan, tapi kehilangan kebijaksanaan. Kita dikelilingi oleh kata-kata, tapi miskin makna. AI atau yang dialihbahasan secara akurat oleh Dimitri Mahayana sebagai "Akal Imitasi" begitu lancar menulis esai, memberi nasihat, bahkan berpura-pura bijak. Namun tanpa kesadaran, semua itu hanya gema tanpa jiwa.
Filsuf Amerika Harry G. Frankfurt menyebut fenomena ini sebagai "The Age of bullshit", era ketika kata-kata kehilangan tanggung jawab moral terhadap kebenaran. Yang penting bukan lagi benar atau salah, tetapi terdengar meyakinkan. Pada saat yang sama, kita saat ini menghadapi tantangan hilangnya otoritas kepakaran. Tom Nichols menyebutnya sebagai "The Death of Expertise", era ketika orang menolak belajar lebih dalam, tapi yakin sudah tahu segalanya, zaman ketika emosi lebih berharga dari pengetahuan, dan pendapat pribadi lebih dipercaya daripada hasil riset.
Dalam kombinasi keduanya, kita hidup di dunia yang semakin bising tapi dangkal: dunia di mana setiap orang bicara, tapi sedikit yang berpikir. AI dan big data mengubah segalanya, dari cara kita bekerja hingga cara kita beriman. Namun teknologi hanya memberi kemampuan melihat lebih banyak, bukan memahami lebih dalam. Kita tahu apa yang terjadi, tapi tidak tahu apa maknanya. Kita bisa memprediksi perilaku pasar, tapi gagal membaca arah manusia.
Fenomena ini jauh-jauh hari pernah diingatkan oleh Viktor Frankl, “Manusia tidak sekadar ingin efisiensi, tetapi mencari makna. Tanpa makna, kemajuan hanyalah jalan cepat menuju kehampaan.” Itulah paradoks zaman ini: semakin pintar sistemnya, semakin tumpul arah moralnya. Di tengah krisis ini, pesantren bukan sisa masa lalu, tapi sistem pendidikan yang masih menyatukan ilmu, nilai, dan kebijaksanaan.
Santri belajar berpikir pelan di tengah dunia yang tergesa-gesa. Mereka diajarkan bahwa kebenaran tidak hanya soal logika, tetapi juga soal niat, adab, dan tanggung jawab. Di tengah bullshit society, pesantren adalah laboratorium kejujuran. Di tengah death of expertise, pesantren masih memelihara otoritas guru dan ilmu. Ia menolak menjadikan kata sebagai hiasan, tetapi menjadikannya jalan untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Namun santri tidak bisa berhenti di fungsi penjaga. Hari Santri harus melahirkan gerakan nilai, bukan sekadar seremoni tahunan.
Santri mesti keluar dari bilik pesantren dan hadir di ruang publik untuk menyebarkan nalar sehat, adab digital, dan kebijaksanaan moral di tengah masyarakat yang kehilangan arah etik. Di era ketika opini menggantikan fakta, santri perlu menjadi “ahli makna” yang menuntun publik kembali berpikir jernih. Dalam masyarakat yang kehilangan kepakaran, santri diharapkan bisa menjadi juru bicara kebijaksanaan, bukan karena gelarnya, tetapi karena kejujurannya. Tentu saja menjaga nilai saja tidak cukup. Di era perubahan eksponensial, nilai perlu dirawat sekaligus dirancang ulang.
Di sinilah urgensi foresight bagi santri. Kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman, memahami arah perubahan, dan menyiapkan strategi nilai agar tetap relevan di masa depan. Foresight bukan ramalan, tetapi kesadaran: bahwa masa depan tidak menunggu, melainkan dibentuk. Nilai tidak cukup diwariskan, tetapi harus diterjemahkan ulang dalam konteks baru.
Santri masa depan tidak cukup menguasai kitab, ia juga harus menguasai mapping, timing, dan deepening untuk memetakan perubahan, membaca waktu, dan memperdalam makna. Dari tafaqquh fiddin menuju tafaqquh fil mustaqbal— dari memahami agama menuju memahami masa depan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, foresight bukan kemewahan intelektual, melainkan bentuk baru dari ijtihad zaman modern. Jihad santri hari ini bukan perang fisik, tetapi perjuangan melawan nihilisme digital. Melawan informasi yang tanpa kebenaran, dan inovasi yang tanpa arah moral. Di sinilah foresight menjadi senjata spiritual: membantu santri mengenali masa depan, bukan untuk takut padanya, melainkan untuk menuntun arah evolusi teknologi dengan cahaya nilai. Santri tidak hanya menjaga apa yang benar, tetapi menyiapkan apa yang akan menjadi benar di masa depan. Mereka bukan hanya pengikut arus perubahan, tetapi arsitek kesadaran baru—yang menyatukan iman, ilmu, dan imajinasi sosial.
Hari Santri bukan nostalgia sejarah. Ia adalah ajakan untuk berpikir jauh ke depan: bagaimana nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan bisa bertahan dan menuntun di tengah badai kecerdasan buatan. Hari Santri seharusnya menjadi momentum untuk memperluas horizon berpikir umat—dari kesalehan personal menuju kesalehan foresight: kesadaran kolektif bahwa iman perlu diterjemahkan dalam desain masa depan, dan moralitas perlu dikodifikasikan dalam algoritma.Sebab, teknologi tanpa etika hanyalah kekuasaan tanpa arah, dan kemajuan tanpa foresight hanyalah percepatan menuju jurang.
Di tengah dunia yang dikuasai mesin omong kosong dan kematian keahlian, santri membawa dua misi: menjaga makna, dan merancang arah. Mereka adalah penyeimbang antara kecerdasan buatan dan kecerdasan hati. Jika akal imitasi (AI) belajar berpikir cepat, santri belajar berpikir benar. Jika algoritma menciptakan masa depan, santri harus berupaya memastikan masa depan itu tetap bermakna. Hari Santri bukan sekadar pengingat perjuangan masa lalu, tetapi deklarasi moral untuk masa depan: bahwa di dunia yang semakin cepat, cerdas, tapi hampa, nilai dan kebijaksanaan harus tetap memimpin. Semoga.