Apa Implikasi Pengusiran Pangeran Andrew terhadap Monarki Inggris?
-
Pangeran Andrew
Pars Today - Pada Jumat (31/10/2025) dini hari, Istana Buckingham mengeluarkan pernyataan resmi yang mengumumkan bahwa Pangeran Andrew telah dicabut semua gelar kerajaan, tugas resmi, dan hak istimewa seremonialnya.
Keputusan ini disebut "tak terelakkan" oleh Raja Charles III untuk menyelamatkan monarki dari gelombang ketidakpercayaan. Namun, akankah pengorbanan seorang pangeran mengakhiri krisis legitimasi mahkota Inggris, atau justru awal dari pertanyaan yang lebih mendalam tentang kelangsungan hidup monarki garis keturunan di abad ke-21?
Berita pengunduran diri Pangeran Andrew menjadi berita utama di berbagai media Inggris pada Jumat dini hari. Jaringan televisi, dari BBC hingga Sky News, menghentikan program reguler mereka. Tanda breaking news muncul di bagian bawah layar dan judul-judul utama bertema seperti "Akhir sebuah era", "Pangeran yang bukan lagi seorang pangeran", dan "Momen yang menentukan bagi mahkota Inggris" muncul di layar.
Adegan-adegan dari luar Istana Buckingham pun ditayangkan. Kerumunan massa bereaksi terhadap keputusan itu dengan sedikit kebingungan, sementara sebagian lainnya dengan rasa keadilan historis.
Keputusan Raja Charles III untuk memulai proses formal pencabutan gelar kerajaan Andrew bukan hanya akhir dari skandal moral, tetapi juga awal dari babak baru dalam masa depan monarki di Inggris. Sebuah institusi yang tak luput dari ambivalensi moral, tekanan publik, tantangan finansial, dan erosi legitimasi dalam beberapa tahun terakhir.
Pernyataan Istana Buckingham formal tapi getir, "Andrew Mountbatten-Windsor tidak akan lagi mempertahankan gelar kerajaan, tugas resmi, atau hak istimewa seremonial apa pun."
Inggris menyaksikan sebuah keputusan yang membawa keluarga kerajaan ke titik bersejarah di mana mereka harus memilih antara darah bangsawan dan kelangsungan hidup monarki untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Koran The Times menulis bahwa langkah tersebut merupakan "pilihan yang diperlukan" dan bukan karena keadilan moral. Raja Charles mengambil langkah tersebut untuk mencegah monarki terjerumus ke dalam gelombang ketidakpercayaan.
The Guardian, dalam editorialnya menggambarkan keputusan tersebut sebagai "operasi untuk mencegah kematian pasien". Para analis di LBC Radio sepakat, monarki harus melindungi dirinya sendiri, meskipun itu berarti mengorbankan salah satu orang terdekatnya.
Yang tampaknya mempercepat keputusan monarki bukan hanya tuduhan yang terus berlanjut, tetapi juga bocornya surel baru yang mengungkap hubungan Andrew dengan Jeffrey Epstein menyusul tuduhan sebelumnya.
Opini publik marah, dan jajak pendapat baru menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap Wangsa Windsor berada di titik terendah dalam beberapa dekade. Yang menjadikan peristiwa ini lebih dari sekadar masalah pribadi adalah karena bertepatan dengan pertanyaan sosial paling mendalam tentang filosofi monarki di abad ke-21. Mampukah sebuah institusi yang didasarkan pada kelahiran dan keturunan bertahan dalam masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi liberal?
Di media sosial, tagar seperti #NotMyPrince dan #ModernMonarchy di-retweet ribuan kali. Namun kali ini, bukan untuk memuji "modernisasi monarki," melainkan untuk mengejek "penyelamatan monarki dari dirinya sendiri." Lembaga think tank Inggris juga ikut serta dalam perdebatan ini.
Para analis di Chatham House menekankan bahwa keputusan itu merupakan "reaksi defensif terhadap erosi modal sosial monarki". Institute for Government menulis bahwa monarki terlibat dalam pembersihan simbolis alih-alih reformasi struktural, dan para peneliti di King's College London menggambarkannya sebagai "momen pengakuan akan batas-batas hereditasisme".
Jajak pendapat terbaru merupakan tanda yang jelas dari krisis legitimasi monarki. Dukungan untuk institusi itu telah turun dari sekitar 75 persen menjadi sekitar 59 persen dalam sepuluh tahun. Di antara kaum muda di bawah 30 tahun, angkanya sekitar 36 persen. Masyarakat yang dulu memandang mahkota sebagai simbol stabilitas kini semakin menekankan sifat elektif dari kekuasaan.
Tepuk tangan meriah dari penonton di acara BBC Question Time ketika berita tersebut diumumkan bukan sekadar reaksi emosional, melainkan bukti nyata momen ketika kritik terhadap monarki telah bergeser dari kalangan politik dan akademis ke pemirsa televisi publik arus utama. Skandal Andrew merupakan pemicu bagi daftar panjang skandal dan skandal moral dalam keluarga kerajaan Inggris.
Perselingkuhan Charles dengan Camilla selama pernikahannya dengan Diana, hubungan keluarga kerajaan dengan diktator dan politisi yang dibenci, serta peran historis monarki dalam perdagangan budak merupakan beberapa skandal dalam keluarga kerajaan Inggris. "Anda tidak dapat menghapus sejarah dengan pengorbanan," tulis kolumnis di The Independent.
Setelah berita pengunduran diri Pangeran Andrew, sebuah karikatur beredar di media, mahkota membebani leher monarki, alih-alih kepalanya. Charles III dan William kini menghadapi ujian yang bukan hanya bersifat politis tetapi juga eksistensial. Pengunduran diri Andrew tidak diragukan lagi merupakan langkah simbolis yang penting, tetapi pertanyaan mendasarnya tetap, dapatkah simbolisme mengatasi kesenjangan ekonomi, ketidakadilan yang diwariskan turun-temurun, dan krisis kepercayaan publik?
Jelas bahwa pengunduran diri Andrew menandai awal dari periode yang mempertanyakan kelangsungan hidup monarki. Saat ini, Inggris menghadapi pertanyaan yang telah tertunda selama bertahun-tahun. Dapatkah sistem politik di mana kekayaan dan kekuasaan diwariskan melalui kelahiran masih mengklaim legitimasi dalam masyarakat modern? Andrew hanyalah salah satu gejalanya, krisisnya lebih dalam.
Pertanyaannya sekarang bukanlah apa yang terjadi pada Andrew, melainkan apa yang akan terjadi pada monarki. Monarki Inggris mungkin akan keluar dari krisis ini, tetapi ia tak lagi sama. Setiap langkah untuk melestarikannya juga merupakan langkah untuk mengubahnya. Cepat atau lambat, proses ini akan menghadapkan struktur politik Inggris dengan pertanyaan mendasar, apakah mahkota masih menjadi penopang, atau justru menjadi beban bagi rakyat?(sl)