Tensi Politik di Zimbabwe
Setelah berlalu beberapa hari dari kudeta damai militer Zimbabwe, krisis politik di negara ini mulai menyebar dan masa depan Zimbabwe semakin tak menentu.
Krisis politik di Zimbabwe meletus ketika kubu oposisi dan anti Robert Mugabe, presiden Zimbabwe memprotes kebijakan sang presiden khususnya di bidang kebebasan politik, perang anti korupsi dan kebijakan ekonomi.
Usia tua Mugabe dan isu penggantinya juga termasuk kekhawatiran lain yang selama beberapa pekan terakhir menambah parah tensi politik di negara ini. Kubu oposisi khawatir atas tindakan non demokratis Mugabe untuk menentukan penggantinya. Apalagi persaingan serius antara Grace Mugabe dan Emmerson Mnangagwa yang terjadi sejak lama masih terus berlanjut.
Dalam hal ini, banyak prediksi yang menunjukkan Gagwa akan naik dan bersinar di pentas politik Zimbabwe menggantikan Mugabe memimin negara ini, namun presiden pekan lalu dalam sebuah langkah yang tak terduga justru memecat, Mnangagwa, sang wakil presiden dengan dalih ia tidak percaya akan kinerja Gagwa dan wakil presiden tidak komitmen dengan tugasnya.
Langkah Mugabe tersebut membuat isu Grace menggantikan Gagwa semakin serius dan banyak menilai pencopotan wakil presiden demi memberi peluang lebih besar bagi berkuasanya Grace Mugabe. Menyusul transformasi ini, militer Zimbabwe melakukan intervensi dan setelah menempatkan kendaraan lapis baja di jalan-jalan Harare, mereka mulai mengambil alih radio dan stasiun televisi negara ini serta menempatkan Mugabe sebagai tahanan rumah.
Kini meski militer menyatakan bahwa langkah mereka dimaksudkan untuk membersikan anasir korup di sekitar presiden, namun setelah beberapa hari berlansung dari kudeta damai, sepertinya krisis politik di Zimbabwe memasuki fase baru.
Saat ini lobi di dalam negeri dan kawasan mulai digelar dan berbagai skenario terus digulirkan termasuk banyak yang berpendapat jika Gagwa, wakil presiden yang dilengserkan akan mengambil alih kekuasaan di negara ini. Jika hal ini terjadi maka krisis politik di Zimbabwe akan terus berlanjut, karena mayoritas meyakini jika ia tangan kanan Mugabe dan sosok yang serupa dengan presiden dari sisi karakteristik dan cara mengendalikan pemerintahan.
Kubu oposisi menuding Mnangagwe terlibat dalam aksi-aksi kekerasan khususnya selama era pemilu di negara ini serta perampokan harta kekayaan negara. Oleh karena itu, diprediksikan bahwa jika ia berkuasa, maka tidak akan mendapat dukungan rakyat dan hanya berkuasa dengan dukungan militer.
Wilf Mbanga, pengamat politik terkait hal ini menulis, jika Mnangagwe berkuasa maka tidak ada harapan akan terjadinya perubahan yang konstruktif di Zimbabwe.
Selain militer, lebih dari 100 kelompok dari organisasi masyarakat dan pemimpin kubu oposisi di statemen bersamanya meminta Robert Mugabe mundur secara damai. Namun hingga kini Mugabe menolak untuk mundur. Dengan demikian sejumlah pengamat memprediksikan Mugabe, setelah berbagai lobi, akan tetap berkuasa hingga pemilu mendatang.
Sepertinya apa yang diharapkan rakyat Zimbabwe adalah tersedianya kondisi bagi penyelenggaraan pemilu yang bebas dan demokratis di negara mereka. Warga berharap dengan lengsernya Mugabe dan pembentukan pemerintahan transisi, akan terbuka peluang penyelenggaraan pemilu dalam suasan yang tanang, bebas serta partisipasi kandidat dari berbagai partai. (MF)