Bisnis Senjata Amerika di Dunia Arab
-
Negara-negara Arab di Teluk Persia sangat aktif membeli senjata dari AS dan Barat.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, menyetujui penjualan senjata baru senilai 467 juta dolar ke Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA).
Pemerintah Qatar telah menandatangani kontrak 197 juta dolar dengan perusahaan Amerika, Raytheon Co, dan UEA juga mengumumkan kesepakatan senilai 270 juta dolar dengan perusahaan senjata AS lainnya.
Hubungan AS dengan negara-negara Arab di Teluk Persia tidak hanya dibangun pada level aliansi strategis, tapi juga mengejar kepentingan bisnis yang sangat besar dan ia menjadi faktor utama dalam hubungan AS dengan negara-negara Arab. Dengan kata lain, norma tidak berperan dalam hubungan Washington dengan Arab di Teluk Persia.
Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Arab Saudi bahkan sebelum era kepresidenan Donald Trump, tercatat sebagai importir terbesar senjata AS di Timur Tengah dan, dan menjadi pembeli terbesar senjata AS di dunia setelah India. Antara tahun 1950-2006, Saudi membeli senjata dan peralatan militer hampir 80 miliar dolar dari AS, atau hampir seperlima dari nilai ekspor AS ke negara-negara lain dunia.
Laporan lain menyebutkan, Arab Saudi adalah negara pengimpor terbesar kedua senjata di dunia selama periode 2012-2016, di mana naik 212 persen daripada periode 2007-2011.
UEA dan Qatar juga berada di posisi kedua dan ketiga di Timur Tengah setelah Arab Saudi, dari segi pembelian senjata dari AS.
Tren ini tercatat meningkat tajam di era Trump, karena presiden AS saat ini pada dasarnya tidak memiliki keyakinan akan norma-norma seperti, hak asasi manusia dan hak-hak sipil, dan hanya mementingkan kepentingan bisnis dalam membangun hubungan dengan negara lain.
Trump di salah satu komentarnya bahkan menyebut Arab Saudi sebagai sapi perah Amerika. Dalam prakteknya, ia menandatangani kesepakatan senilai 400 miliar dolar dengan Saudi pada Mei 2017. Sebanyak 110 miliar dolar dari kontrak itu terkait dengan senjata.
Poin penting adalah bahwa AS menyambut kekacauan, kekerasan, perang, dan ketegangan di Timur Tengah, karena dalam situasi seperti ini, Washington bisa mendorong negara-negara Arab untuk memborong senjata dan menambah pendapatan AS.
Misalnya, laporan SIPRI mencatat bahwa pada 2015 saja, Arab Saudi membeli senjata 9,3 miliar dolar karena serangan ke Yaman dan mempersenjatai para teroris di wilayah Irak dan Suriah. Angka ini naik 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kontrak senilai 400 miliar dolar antara Washington dan Riyadh ditandatangani pada saat ketegangan antara Arab Saudi dan Iran meningkat, dan secara bersamaan, AS juga mengintensifkan kampanye Iranphobia.
Pemerintah AS bahkan memanfaatkan konflik internal di dunia Arab untuk menjual senjata. Kontrak senjata 12 miliar dolar dengan Qatar ditandatangani segera setelah negara itu terlibat ketegangan dengan Arab Saudi Cs, dan kesepakatan lain dengan Qatar senilai 1,1 miliar dolar juga disetujui pada November 2017.
Parahnya, senjata yang dibeli oleh negara-negara tersebut dari AS dan kekuatan Barat lainnya, justru dipakai untuk melawan negara-negara Arab sendiri, termasuk perang di Yaman dan dukungan untuk teroris di Suriah dan Irak. (RM/PH)