Friksi di Pertemuan Menlu G20 Argentina
Pertemuan menteri negara-negara anggota G20 dimulai hari Senin (21/5) di Buenos Aires, ibu kota Argentina untuk membahas agenda utama masalah ekonomi global, terorisme dan perubahan iklim. Selain itu, pertemuan ini juga membahas sejumlah isu lain seperti masalah Suriah, Iran dan Palestina.
Pertemuan tersebut berlangsung di saat sesama anggota G20, terutama AS sebagai kekuatan besar ekonomi dunia berselisih dengan negara lainnya.
Blunder Presiden AS, Donald Trump dalam menyikapi masalah perubahan iklim, dan unilateralisme AS dalam pemberantasan terorisme menyulut protes luas.
Di sisi lain, Washington juga ingin menunjukkan pengaruhnya terhadap negara lain dalam berbagai masalah internasional termasuk pemilu presiden Venezuela dan kesepakatan nuklir Iran, JCPOA.
Hingga kini, terjadi kesenjangan pandangan antara sebagian besar negara anggota G20 dengan AS dan sekutunya seperti Inggris dan Arab Saudi, mengenai konsep terorisme, bentuk teroris dan mekanisme penumpasan terorisme.
Pasalnya, sejumlah pemimpin negara G-20 seperti kanselir Jerman secara tegas memisahkan antara Islam dan terorisme, tapi Trump meyakini adanya kesesuaian antara keduanya.
Tapi di sisi lain, Trump mengambil standar ganda dengan menutup mata atas sepak terjang terorisme Arab Saudi. Sebagaimana disinggung pengamat politik Rusia, Ivan Ipolitov, tujuan AS menggunakan isu terorisme dan ekstremisme terutama dalam beberapa tahun terakhir demi mewujudkan kepentingan luar negerinya.
Isu perubahan iklim juga menjadi masalah serius yang diperselisihkan antara AS dan negara anggota G20 lainnya. Di masa Obama, AS menandatangani kesepakatan iklim Paris, tapi setelah Trump berkuasa negara ini keluar dari perjanjian internasional itu. Trump mengklaim kesepakatan tersebut menghalangi pemulihan ekonomi AS, terutama di bidang energi dan industri.
Sikap Trump tersebut menyulut ketidakpuasan dari para pemimpin negara industri dan negara ekonomi baru dunia. Bahkan Kanselir Jerman, Angela Merkel dalam KTT G7 di Italia menggalang dukungan seluruh negara anggota untuk melawan AS dalam masalah perubahan iklim.
Keluarnya AS dari kesepakatan iklim Paris menyulut kekhawatiran negera-negara lain mengenai peningkatan pemanasan global, karena negara terbesar penghasil gas rumah kaca tidak bersedia untuk menjalankan komitmennya menekan penyebaran karbon dioksida yang diproduksi industri di negaranya. Dampak global dari sikap Trump ini tidak hanya merugikan negaranya sendiri, tapi mengancam seluruh dunia.
Keputusan Trump menarik AS keluar dari JCPOA juga memicu penentangan keras dari negara-negara penandatangan kesepakatan nuklir internasional itu, terutama Inggris, Perancis dan Jerman yang selama ini menjadi mitra dekat Washington.
Analis politik, Laurence berkeyakinan bahwa presiden AS dalam menjalankan kebijakan barunya menghadapi Iran hanya seorang diri. Tampaknya, nasib yang sama akan menimpa G20, sebab meski AS seorang diri, tapi didukung pengikut setianya seperti Arab Saudi walaupun negara anggota lain menentang Washington.(PH)