Mengapa Starmer Mengklaim Kepulauan Falkland Milik Inggris?
-
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer
Pars Today - Terlepas dari perkembangan terbaru, Perdana Menteri Inggris menegaskan kembali klaim lama London bahwa Kepulauan Malvinas adalah milik Inggris.
Menurut laporan Pars Today, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dengan tegas dan tanpa syarat menyatakan pada akhir Oktober 2024 bahwa kedaulatan Inggris atas Kepulauan Malvinas (yang disebut Inggris sebagai Kepulauan Falkland) "tidak pernah dapat dinegosiasikan" dan bahwa kepulauan tersebut "akan tetap menjadi milik Inggris".
Pernyataan tegas ini, yang ia sebut "pribadi", disampaikan dalam Sesi Tanya Jawab Perdana Menteri di Dewan Rakyat Inggris dan sebagai tanggapan atas pertanyaan dari Sir Ed Davey, pemimpin Partai Demokrat Liberal.
Pertanyaan awal Sir Ed Davey yang memicu tanggapan ini adalah tentang dampak negatif keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) terhadap industri perikanan di Malvinas, bukan kedaulatan itu sendiri. Davey telah memperingatkan bahwa para nelayan di kepulauan tersebut menderita akibat Brexit.
Latar Belakang dan Alasan Pernyataan
Sikap Starmer yang blak-blakan dan tegas ini menyusul kritik yang muncul setelah keputusan pemerintahnya untuk "menyerahkan" Kepulauan Chagos kepada Mauritius. Keputusan ini menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertanyaan tentang pendekatan pemerintah Partai Buruh terhadap wilayah seberang laut Inggris lainnya, khususnya Malvinas dan Gibraltar.
Menekankan Keterkaitan Pribadi dan Sejarah
Starmer mengajukan alasan pribadi dan emosional di Parlemen untuk menegaskan komitmen teguhnya, keterlibatan pamannya dalam Perang Falklands. Meskipun pada dasarnya, klaim Kepulauan Malvinas sebagai milik Inggris merupakan posisi tetap pemerintah London dan tidak ada hubungannya dengan perasaan pribadinya.
Tanggapan terhadap Kritik Domestik
Pernyataan Starmer juga merupakan tanggapan terhadap kritik domestik yang semakin intensif setelah reaksi Argentina terhadap kasus Chagos. Kritik-kritik ini diperjelas tepat sehari sebelum sidang parlemen, ketika Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, David Lamy, dan menyampaikan pernyataan tentang perjanjian Chagos di Dewan Rakyat.
Reaksi Argentina
Langkah ini langsung mendorong Argentina untuk secara resmi memperbarui permintaannya terkait "kedaulatan penuh" atas Kepulauan Malvinas, yang menggambarkan persamaan antara kedua pulau tersebut.
Mengutip keputusan tersebut, Menteri Luar Negeri Argentina, Diana Mondino mengatakan negaranya akan "mendapatkan kembali kedaulatan penuh atas Kepulauan Malvinas dengan tindakan jelas dan konkret, bukan retorika kosong".
Lawan-lawan politik Argentina juga memanfaatkan keputusan Inggris untuk mengembalikan Kepulauan Chagos kepada Mauritius, dan mendesak Buenos Aires untuk menggunakan apa yang dianggapnya sebagai preseden yang jelas untuk memajukan klaimnya atas Kepulauan Malvinas.
Inggris mengumumkan perjanjian resminya untuk menyerahkan kepulauan terpencil di Samudra Hindia tersebut pada hari Rabu, 21 Mei 2025.
Langkah tersebut disambut positif oleh Guillermo Carmona, mantan menteri Argentina untuk urusan Malvinas, Antartika, dan Atlantik Selatan. Ia menekankan bahwa perkembangan ini membuktikan bahwa tekanan diplomatik yang berkelanjutan dapat memaksa Inggris untuk menyerahkan kendali atas wilayah seberang lautnya.
Menyinggung sikap Presiden Argentina Javier Milei, Carmona mengatakan, “Ini seharusnya menjadi kabar baik bagi Argentina terkait Kepulauan Malvinas, terlepas dari pendekatan Milei terhadap masalah ini. Pemerintahnya justru melakukan kebalikan dari apa yang dilakukan Mauritius, menerima argumen pihak lain dalam sengketa kedaulatan Kepulauan Malvinas, menghentikan aktivitasnya di forum multilateral, dan membuat perjanjian dengan Inggris yang jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan nasional kami.”
Carmona kemudian menuduh Milei melemahkan posisi Argentina dengan terlalu dekat bersekutu dengan kekuatan asing.
Situasi Malvinas
Kepulauan Malvinas Argentina diduduki oleh pasukan Inggris pada tahun 1833, selama masa kolonial Inggris. London, yang mengandalkan kedaulatannya atas kepulauan itu, dan mengklaim kepemilikan sebagian besar Antartika dan perikanan di wilayah tersebut. Di sisi lain, keberadaan sumber daya minyak dan gas di sebagian perairan di sekitarnya telah memperkuat posisi strategis kepulauan ini, dan akses ke sumber daya energi yang kaya di wilayah tersebut telah memungkinkan Inggris untuk terus menguasainya sejak masa kolonialnya.
London selalu menegaskan bahwa kedaulatan atas Malvinas tidak dapat dinegosiasikan dan bergantung pada hak sekitar 3.500 penduduk kepulauan tersebut untuk menentukan nasib sendiri. Dalam referendum tahun 2013, 99,8% pemilih memilih untuk mempertahankan kepulauan tersebut sebagai wilayah seberang laut Inggris. Meskipun sebagian besar penduduknya adalah warga negara Inggris, para pejabat Argentina secara konsisten menyerukan pengembalian Malvinas sebagai bagian integral dari negaranya.
Kesimpulan
Kini, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dengan tegas menepis keraguan apa pun tentang komitmen Inggris untuk mempertahankan kedaulatannya atas Malvinas dan Gibraltar.
Dengan menggabungkan kisah pribadi yang kuat dengan sikap politik yang kuat, ia berusaha untuk meredakan kritik domestik dan mengirimkan pesan yang jelas kepada Argentina dan komunitas internasional bahwa status wilayah ini tidak akan berubah di bawah kepemimpinannya. Ia mengklaim bahwa keputusan pemerintahnya tentang Chagos merupakan pengecualian dan tidak berarti perubahan kebijakan umum di bidang lain.(sl)