Ketika Rusia Gerah atas Intervensi Militer AS di Dunia
-
Sergey Shoygu
Hubungan Rusia dan Amerika pasca era perang dingin mengalami banyak fluktuasi. Meski demikian sejak berkuasanya Donald Trump di Gedung Putih, proses hubungan ini mengarah ke friksi dan tensi lebih besar. Moskow khususnya menolak tegas kebijakan luar negeri dan militer Washington.
Dalam hal ini Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoygu dalam sebuah wawancara seraya memperingatkan AS terkait kemampuan militer Rusia, mengkritik keras pendekatan Washington terkait intervensi militer di negara lain. Shoygu seraya mengkritik intervensi militer berulang kali AS di urusan internal negara dunia mengatakan, "Di negara mana dari negara yang Amerika untuk memberi hadiah demokrasi dengan melancarkan intervensi militer, demokrasinya berkembang? Irak, Afghanistan atau Suriah?
Isyarat petinggi Rusia ini mengacu pada kinerja AS setelah insiden 11 September, ketika Washington dengan alasan memerangi terorisme global melancarkan agresi militer langsung ke Afghanistan dan Irak serta kemudian mengintervensi negara-negara seperti Yaman, Somalia dan Pakistan yang digempur drone AS.
Poin yang patut diperhatikan di sini adalah AS setelah 18 tahun menempatkan pasukannya di Afghanistan yang menyebabkan tewasnya beberapa ribu militer dan menguras anggaran miliaran dolar serta pembantaian ratusan ribu warga Afghanistan, kini mulai berpikir mengurangi pasukannya di Kabul dan pemerintah Trump berusaha mempersiapkan langkahnya ini melalui perdamaian dengan Taliban.
Meski demikian Washington sampai saat ini masih belum mengambil pelajaran dari kegagalan besarnya selama pendudukan Irak yang telah menewaskan beberapa ribu militernya dan menghabiskan dana miliaran dolar serta melanjutkan intervensinya di negara lain. Dalam hal ini, AS meningkatkan intervensinya di negara-negara anti hegemoni Washington seperti Venezuela.
Selain itu, Washington sejak meletusnya krisis di Suriah memilih mendukung penuh kelompok teroris di negara ini dan mempersenjatai fenomena buruk tersebut. Hal ini dilakukan Washington untuk menumbangkan pemerintahan sah Damaskus. Hasil dari kebijakan AS ini adalah perang di Suriah dan pembantaian ratusan ribu warga tak berdosa serta kehancuran negara ini.
Kini ketika pemerintah Suriah dengan bantuan sekutunya berhasil membebaskan mayoritas wilayahnya dari pendudukan teroris, pemerintah Trump yang sebelumnya berjanji manarik pasukannya dari Suriah bukan saja tidak menjalankan janjinya tersebut, malah melanjutkan dukungannya kepada kelompok teroris dengan mengirimi mereka senjata serta membangun pangkalan dan menempatkan pasukannya di Suriah.
Terkait Venezuela, pemerintah Trump secara terang-terangan mendukung oposisi pimpinan Juan Guaido dan berusaha keras menumbangkan Nicolas Maduro, presiden sah negara ini dengan menjatuhkan sanksi dan mengobarkan perang syaraf dan propaganda politik serta diplomatik.
Menhan Rusia seraya menekankan pelanggaran berulang kedaulatan dan independensi negara lain oleh Amerika dan negara Barat mengatakan, Amerika Serikat saat ini berusaha keluar dari Afghanistan dan bersamaan dengan itu, berusaha keras merongrong Venezuela.
AS menganggap dirinya sebagai kekuatan adi daya dunia dan memaksakan kehendaknya terhadap negara lain dengan kekerasan dan kebijakan unilateralisme, namun kini kekuatan internasional seperti Rusia dan Cina serta negara anti hegemoni AS di berbagai wilayah dunia, bangkit menentang pendekatan ini.
Oleh karena itu, di era Kepresidenan Donald Trump, Amerika semakin terkucil di dunia dan pengaruh serta kekuatan lunaknya juga semakin meredup. (MF)