Inilah Sikap PBB Mengenai Teror Komandan al-Quds IRGC
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam sebuah kejahatan dan tindakan ilegal, memerintahkan pembunuhan Komandan Pasukan Quds IRGC, Letnan Jenderal Qasem Soleimani dan Wakil Komandan Hashd al-Shaabi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis serta rombongan mereka di Bandara Internasional Baghdad pada 3 Januari 2020.
Kejahatan AS ini merupakan contoh nyata dari terorisme negara dan sebuah tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aksi barbar ini mendapat banyak kritik dan kecaman dari seluruh dunia. Pelapor Khusus PBB, Agnes Callamard dalam sebuah laporan pada 7 Juli 2020 menyebut pembunuhan Letjen Soleimani oleh AS sebagai tindakan ilegal dan sewenang-wenang menurut hukum internasional.
“Tidak ada bukti yang diberikan bahwa Jenderal Soleimani secara khusus merencanakan serangan segera terhadap kepentingan AS, khususnya di Irak sehingga tindakan segera diperlukan dan dapat dibenarkan,” ujarnya.
Mengenai eksekusi di luar hukum, aksi tergesa-gesa atau sewenang-wenang, Callamard menegaskan kami tidak menemukan bukti apapun untuk membenarkan klaim AS. “Karena serangan Januari di Baghdad terjadi tanpa persetujuan Irak, ini juga melanggar kedaulatan Irak,” tegasnya.
Pelapor Khusus PBB ini menandaskan serangan AS di Irak melanggar Piagam PBB yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan. Dia menyerukan kepada semua anggota untuk menghormati kedaulatan, integritas wilayah, dan independensi politik negara-negara lain.
Dalam laporannya, Callamard menyerukan pembatasan baru seputar penggunaan pesawat tanpa awak (drone), dan mengatakan kombinasi efisiensi dan teknologi canggih menimbulkan pertanyaan moral dan hukum yang rumit yang belum dijawab oleh komunitas internasional.
Laporan Callamard mendapat tanggapan keras dari pemerintah AS. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus dalam sebuah statemen pada 8 Juli, dengan nada marah mengkritik laporan PBB yang menyebut pembunuhan Letjen Soleimani sebagai tindakan ilegal.
Callamard dalam sebuah wawancara eksklusif dengan televisi Al Mayadeen pada 12 Juli, kembali menegaskan bahwa AS telah melanggar Piagam PBB dengan meneror Letjen Soleimani. “Tindakan AS pada Januari 2020 dalam meneror seorang pejabat tinggi sebuah negara di negara ketiga merupakan sebuah perkembangan yang berbahaya di kancah internasional,” jelasnya.
Pelapor Khusus PBB ini menyebut aksi teror itu sebagai pelanggaran terhadap semua prinsip dan mengatakan bahwa AS telah membelokkan definisi "bahaya yang sudah dekat,” dan Letjen Soleimani bahkan bukan bahaya yang sudah dekat sehingga AS perlu mengambil tindakan untuk melawannya.
Ketika ditanya tentang apa yang akan terjadi jika peristiwa yang menimpa Jenderal Soleimani terjadi di Barat? Callamard menuturkan, “Pembunuhan Jenderal Soleimani merupakan sebuah perkembangan penting di ranah hukum internasional dan hubungan internasional. Jika seorang pejabat tinggi dari salah satu negara yang dianggap demokratis dibunuh dengan cara ini, saya pikir kita bisa menganggap negara peneror telah melakukan aksi bermusuhan dan deklarasi perang.”
“Selama empat atau lima tahun terakhir, Jenderal Soleimani memainkan peran efektif dan penting dalam perang menumpas Daesh, yang dianggap oleh Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi teroris,” tandasnya.
Berdasarkan keterangan Departemen Pertahanan AS, perintah pembunuhan Syahid Soleimani dikeluarkan oleh Trump. Dia beralasan bahwa Letjen Soleimani datang ke Irak untuk merancang serangan terhadap kepentingan AS di negara itu dan tindakan AS merupakan sebuah aksi pencegahan.
Namun para pejabat tinggi Irak menolak klaim tersebut. Perdana Menteri Irak waktu itu, Adel Abdul Mahdi dalam pertemuan dengan parlemen pada 5 Januari 2020 mengatakan, Letjen Soleimani datang ke Baghdad untuk menyampaikan jawaban Iran kepada surat yang sebelumnya dikirim oleh Arab Saudi.
Pernyataan ini telah menyingkap kebohongan AS dan kemudian sebuah fakta baru menunjukkan bahwa Washington sudah merencanakan pembunuhan Letjen Soleimani sejak tujuh bulan sebelumnya dan menunggu momen yang tepat untuk menjalankan rencana keji ini.
Televisi NBC AS pada 13 Januari lalu melaporkan bahwa Presiden Trump pada Juni 2019 telah mengeluarkan perintah bersyarat untuk meneror Letjen Soleimani.
Setelah drone Global Hawk AS ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Iran, Trump memberikan perintah bahwa jika serangan pasukan Iran atau kelompok afiliasinya menyebabkan tentara atau warga Amerika tewas, maka Letjen Soleimani akan menjadi target tentara AS.
Pasca kejadian itu, Trump – tanpa memberikan bukti apapun – mengklaim bahwa Letjen Soleimani dibunuh karena menjadi ancaman segera bagi pasukan AS dan merencanakan serangan terhadap empat kedutaan AS. Namun, statemen para petinggi AS dan juga laporan resmi Gedung Putih bertentangan dengan klaim yang dibuat oleh Trump.
Agnes Callamard juga menekankan dalam laporannya bahwa pemerintah AS untuk pertama kalinya menggunakan prinsip pertahanan diri demi membenarkan serangan terhadap pejabat pemerintah di negara ketiga, di mana ini merupakan tindakan ilegal.
Sebenarnya dalam pandangan para penasihat militer dan keamanan Trump, kebersamaan Letjen Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis di Baghdad – sebagai dua komandan kunci Iran dan Irak dalam perang menumpas Daesh – merupakan sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Oleh sebab itu, AS kemudian melakukan sebuah kejahatan besar dan tindakan pengecut dengan menyerang kendaraan yang membawa Letjen Soleimani dan rombongan.
Dengan melihat sikap yang diambil oleh pelapor khusus PBB, maka tidak ada lagi keraguan bahwa pemerintahan Trump adalah pelanggar utama hukum internasional dan akan mengabaikan semua hukum dan norma demi menjalankan kebijakan arogan AS.
Laporan Callamard dibahas oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 9 Juli lalu. Namun, AS telah keluar dari keanggotaan Dewan sejak dua tahun lalu untuk memprotes laporan anti-Israel yang diterbitkannya.
Di akhir pertemuan, anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengecam penggunaan drone untuk melakukan aksi teror dan juga mengecam tindakan teror yang melanggar hukum internasional. Sikap kompak Dewan dapat dianggap sebagai kegagalan lain bagi pemerintahan Trump dalam membujuk komunitas internasional untuk mendukung aksi-aksi ilegal mereka.
Callamard dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB, mengatakan penyebaran drone di berbagai belahan dunia adalah masalah yang sangat berbahaya bagi keamanan internasional. Ada pelanggaran dalam hubungannya dengan operasi yang melibatkan drone.
AS telah meningkatkan operasi penggunaan drone sejak era pemerintahan Barack Obama. Washington kemudian meluncurkan serangan drone di seluruh dunia. Serangan dengan dalih perang kontraterorisme ini telah menewaskan puluhan warga sipil, dan Washington berusaha menjustifikasi aksi ini dengan mengatakan bahwa itu adalah risiko dari sebuah serangan.
Dalam pertemuan tersebut, Perwakilan Uni Eropa untuk Dewan HAM PBB, mengatakan penggunaan drone dalam operasi pembunuhan, tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima. Perwakilan Kuba memandang pembunuhan Letjen Soleimani sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Bahkan sekutu AS di Eropa, tidak setuju dengan tindakan pemerintahan Trump. “Pembunuhan di luar kerangka hukum akan menimbulkan bahaya besar di tingkat internasional," kata duta besar Belanda untuk Dewan HAM PBB.
Setelah pertemuan itu, Washington kembali mengulangi tudingan tak berdasar terhadap Letjen Soleimani dan mengkritik laporan yang disusun oleh pelapor khusus PBB. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, “Kami menolak laporan palsu dari pelapor khusus PBB tentang pembunuhan terarah melalui drone bersenjata terhadap Jenderal Iran Qasem Soleimani. AS selalu bersikap transparan mengenai prinsip-prinsip hukum internasional dalam serangan dan akan selalu bertindak untuk melindungi Amerika Serikat.”
Namun, Pompeo dan para pejabat AS lainnya tidak pernah menyinggung hukum dan aturan internasional yang membenarkan mereka melakukan tindakan pengecut tersebut.
Pada dasarnya, ketika seorang pejabat senior PBB secara eksplisit menyatakan bahwa tindakan Trump meneror Jenderal Soleimani sebagai ilegal, dapatkah Washington mengklaim tindakannya legal? AS rupanya memandang dirinya sebagai jaksa, hakim, dan petugas pelaksana hukuman.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa AS – dengan mengandalkan kekuatan militer dan ekonominya – melegalkan tindakan apapun demi kepentingannya dan mengabaikan aturan dan norma-norma hukum internasional serta Piagam PBB. (RA)