Jejak Kelam Perompakan Laut AS
AS memiliki catatan sejarah panjang pelanggaran hukum internasional, salah satunya yang terbaru kasus pembajakan kapal tanker minyak negara lain dan menjual bensin hasil sitaannya. Tidak heran, jika ada pihak yang menyebut AS sebagai perompak laut yang berlindung di balik aturan negaranya sendiri terhadap negara lain, tanpa mengindahkan hukum internasional.
Pada pertengahan 2020, Amerika Serikat menyita empat kapal tanker minyak yang membawa 1,2 juta barel bensin ke Venezuela, dengan mengklaim kapal tersebut membawa bahan bakar minyak milik Iran. Beberapa saat kemudian, Washington mengumumkan kargo dari kapal tanker ini disita dan isinya dijual.
Marc Raimondi, Juru bicara Departemen Kehakiman AS baru-baru ini mengumumkan bahwa penjualan kargo tersebut baru saja selesai, dan pejabat Departemen Kehakiman AS saat ini menunggu keputusan dari pengadilan Washington untuk membawa puluhan juta dolar hasilnya untuk diserahkan kepada Yayasan Korban Terorisme di AS. Dia mengklaim bahwa satu kapal tanker lain yang baru-baru ini disita juga membawa minyak Iran yang sedang dalam perjalanan ke pelabuhan AS.
Terlepas dari semua klaim palsu AS, pihak Tehran menyatakan bahwa uang hasil penjualan bensin kapal tanker tersebut telah diterima Iran sebelumnya, dan pemerintah AS secara ilegal menyita dan menjual kargo milik perusahaan asing.
Dalam hal ini, Hojjat Soltani, Duta Besar Iran untuk Venezuela membantah klaim media Amerika dalam cuitan di Twitternya dengan mengatakan, "Sebuah kebohongan dan perang psikologis lain dari media propaganda imperialis Amerika. Kapal-kapal itu bukan milik Iran, pemilik atau benderanya tidak ada hubungan dengan Iran."
Pada awal 2020, Iran mengirim lima kapal tanker yang membawa bensin ke Venezuela, yang mendapat tanggapan konfrontatif dari pemerintahan Trump. Ketika itu, Amerika Serikat mengirim beberapa kapal perang di sepanjang jalur kapal tanker untuk mengintimidasi Tehran dan mencegah Iran melakukannya.
Kegagalan Amerika Serikat untuk mencegah pengiriman bensin Iran dengan kapal tankernya ke Venezuela menyebabkan Angkatan Laut AS dan pemerintahan Trump semakin agresif melakukan segala cara termasuk ancaman militer terhadap kapal tanker minyak.
Menanggapi kehadiran kapal tanker Iran di Laut Karibia dan transfer bensin dari Iran ke Venezuela, John Bolton, mantan penasihat keamanan nasional AS, mengatakan,"Ini adalah langkah berbahaya bagi Amerika Serikat, dan kami mendukung Juan Guido di menentang pengaruh Iran [di Venezuela], "
Oleh karena itu, setelah kegagalannya, pemerintahan Trump berusaha menunjukkan tekad dan otoritasnya dalam mencegah berlanjutnya pengiriman bahan bakar minyak dari Iran ke Venezuela dengan menyita empat kapal tanker, meskipun uangnya telah dibayar penuh oleh Caracas.
Namun, jika dikaji lebih jauh, penyitaan kapal tanker dan kargo non-Iran serta penjualan kargonya jelas melanggar ketentuan konvensi hukum laut dan aturan internasional. Faktanya, Amerika Serikat secara terbuka melakukan pembajakan, dan pada tahap berikutnya secara praktis telah menjual properti jarahan tersebut.
Pertanyaannya, di bawah hukum internasional manakah Amerika Serikat melakukan tindakan ilegal ini?
Apakah Washington memiliki izin dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukannya? Ataukah, sebagaimana banyak tindakan Washington lainnya di era Trump, semua dilakukan secara sepihak dan semata-mata atas dasar penggunaan kekuatan belaka ?
Kini, di tangan nakhoda barunya, Joe Biden; apakah AS akan terus melanjutkan praktik ilegal ini yang menunjukkan kepada publik internasional bahwa pemerintah AS saat ini tidak berbeda dalam masalah pelanggaran hukum internasional dengan pendahulunya.(PH)