Teror di Tehran, Pengulangan Skenario Lama
Menyusul serangan teror di Tehran, Kementerian Dalam Negeri Iran, merilis statemen dan mengumumkan bahwa dua tim teror pada hari Rabu, 7 Juni 2017, secara bersamaan melancarkan aksi teror mereka di makam Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran dan gedung administrasi parlemen Iran. Akibat serangan tersebut, 12 orang meninggal dunia dan 42 lainnya terluka. Kelompok teroris Takfiri Daesh menyatakan bertanggungjawab atas serangan tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa terorisme tercela di titik mana pun di dunia. Akan tetapi apa yang terjadi pasca serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat merupakan awal dari sebuah bid'ah berbahaya atas nama pemberantasan terorisme. Di mana hasilnya tidak lain adalah perluasan terorisme dan sikap tebang pilih dengan terorisme.
Amerika Serikat dengan definisi terorismenya, membagi "terorisme baik" dan "terorisme buruk" dengan parameter sepihaknya, bahkan sebagiannya mendapat dukungan langsung dari Washington. Sejumlah negara regional termasuk Arab Saudi, dengan memberikan bantuan dana, senjata dan fasilitas kepada para teroris untuk merekrut para anasir teroris dari berbagai negara. Makna dari langkah tersebut tidak lain adlah dukungan dan penyebarluasan terorisme.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa terorisme yang telah tersetir itu digunakan Amerika Serikat sebagai sarana politik dan senjata represi terhadap Iran. Sekarang para pendukung teroris berusaha menyusupkan anasir teroris dari kawasan ke Iran untuk mengacaukan Republik Islam. Terorisme yang marak dalam beberapa tahun terakhir di kawasan, sudah sejak lama menarget Iran. Dan sekarang fenomena yang sama sedang terulang kembali di Iran.
Masalahnya adalah bahwa terorisme telah menjadi ancaman global, namun upaya pemberantasan terorisme hingga kini belum dalam skala global. Meski ada sejumlah negara yang mengklaim memberantas terorisme, akan tetapi itu hanya permukaan masalah saja. Karena negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Arab Saudi, adalah negara-negara yang melahirkan terorisme Daesh dan mendukungnya.
Dalam hal ini, rezim Zionis bertindak selaku salah satu mata rantai utama dalam perluasan kejahatan teroris, yang dengan memiliki beberapa agenda spesifik di kawasan. Tel Aviv memanfaatkan gejolak di kawasan Timur Tengah untuk menekan kelompok-kelompok muqawama Palestina, tanpa menyedot perhatian masyarakat dunia.
Namun yang sudah tidak diragukan lagi adalah Arab Saudi merupakan salah satu pemain utama di bidang ini. Rezim Al-Saud memanfaatkan seluruh peluang yang ada untuk mengobarkan api instabilitas regional serta untuk menarik kembali AS terjun di pusat gejolak Timur Tengah. Permainan berbahaya Saudi ini mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang berkunjung ke Riyadh dan menandatangani kesepakatan penjualan senjata senilai lebih dari 100 miliar dolar.
Koran Italia La Stampa, beberapa waktu lalu dalam sebuah laporan bertajuk "Dari Israel Sampai Arab Saudi, Semua Melawan Iran" menulis, "Sikap Avigdor Lieberman dan Adel Al-Jubeir terhadap Tehran dapat dikatakan simetris. Lieberman semakin berani dengan agitasi-agitasi yang diupayakan Arab Saudi dan mengklaim bahwa untuk pertama kalinya sejak 1948 hingga kini, kelompok Arab moderat, Arab Sunni akhirnya memahami bahwa Israel, Yahudi atau Zionisme, bukan musuh utama mereka, melainkan Iran musuh utama mereka."
Abdul Bari Atwan, penulis dan analis terkemuka Arab serta pemred koran transregional Ray El-Youm juga berpendapat bahwa tujuan utama koalisi-koalisi di kawasan, bukan perang terhadap Iran. Melainkan dengan pemanfaatan klaim-klaim ambigu seperti ancaman besar Iran, tujuannya adalah untuk normalisasi hubugnan negara-negara Arab dengan rezim Zionis Israel serta penjarahan sisa kekayaan negara-negara pesisir Teluk Persia untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur Amerika Serikat sebagaimana yang dikemukakan Trump dalam janji kampanyenya.
Amerika dengan bantuan Daesh sedang menciptakan atmosfer aman bagi berlanjutnya aktivitas kelompok-kelompok teroris. Harus dikatakan bahwa langkah-langkah Amerika, hanya akan menghasilkan perluasan terorisme, perang, disintegrasi dan instabilitas bagi kawasan dan dunia.
Kondisi di kawasan saat ini pada hakikatnya pengulangan skenario yang telah digulirkan sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran. Skenario yang sama sedang dilaksanakan hanya saja kali ini dilakukan oleh kelompok teroris bernama Daesh disejumlah negara regional. Di satu sisi rezim-rezim seperti Arab Saudi sudah tidak lagi menyembunyikan tangan dalam mendukung terorisme serta dengan lantang dan nyata mengumumkan agenda mereka untuk menyeret instabilitas ke Iran.
Ben Reynolds, penulis dan analis Amerika Serikat, terkait munculnya Daesh, berpendapat bahwa kelompok-kelompok teroris seperti Daesh secara berkesinambungan didukung melalui intervensi Barat di kawasan Asia Barat dan pengaruh sejumlah pemain regional seperti Arab Saudi. Menurutnya, alasan di balik kemunculan Daesh bukan sebuah teka-teki. “Barat dan sekutunya hanya harus bercermin.”
Koran Daily Mail dalam hal ini menulis, “Kemiripan perilaku Arab Saudi dan Daesh di kawasan mulai dari Suriah, Irak hingga Yaman, menunjukkan bahwa satu-satunya perbedaan antara Arab Saudi dan Daesh adalah warna baju mereka. Rezim Al-Saud adalah Daesh Putih.”
Sekarang semua telah mengetahui asal-usul halusinasi Daesh adalah paham Wahabisme. Fatwa-fatwa yang mencoreng citra Islam di dunia dan mengkibatkan ribuan Muslim di Suriah, Irak, Yaman dan seluruh negara Muslim dunia bergelimangan darah.
Sejumlah elit media dan politik, menilai serangan teror Tehran sebagai dimulainya fase baru konfrontasi Amerika Serikat dengan Iran, melalui tangan sejumlah rezim Arab regional. Seluruh agenda global dan regional dalam hal ini khususnya pasca sidang AS-Arab di Riyadh, adalah dalam rangka merelokasi instabilitas ke dalam perbatasan Iran.
Serangan teror di Tehran juga dalam kerangka yang sama. Namun tidak perlu diragukan lagi bahwa kejahatan teror seperti itu, tidak akan akan mampu menggoyahkan Iran dalam pemberantasan terorisme dan bahkan sebaliknya, akan melipatgandakan upaya-upaya pemusnahannya.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei, ketika berbicara soal insiden teror di Tehran dan menyatakan, “Bangsa Iran sedang bergerak dan terus maju, permainan petasan seperti hari ini tidak akan mempengaruhi tekad bangsa ini.”
“Semua harus mengetahui bahwa ini semua terlalu kecil untuk dapat menggoyahkan tekad bangsa Iran dan para pejabat negara. Dan tentunya peristiwa ini menunjukkan bahwa jika Republik Islam tidak melawan markas-markas finah ini, maka hingga kini kita akan terjebak berbagai masalah dari dalam negeri. Insyaallah ini semua akan dicerabut," tegas beliau.