Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (36)
Iran menderita banyak kerugian selama delapan tahun perang yang dipaksakan. Ribuan warga sipil gugur dengan senjata, rudal, bom, dan data intelijen yang dipasok oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Arab sekutu Washington di Teluk Persia kepada rezim Saddam.
Ratusan warga Iran dan Irak menjadi korban serangan kimia dan biologi dalam perang yang tidak seimbang ini. Senjata pemusnah massal ini diberikan oleh beberapa negara Barat kepada Saddam Hussein. Selama beberapa tahun, kota-kota di Iran menjadi target serangan rudal di tengah kebisuan Dewan Keamanan PBB serta lampu hijau dari AS dan sekutunya. Ribuan warga sipil terkubur di rumah-rumahnya akibat agresi ini.
AS berulang kali mengancam Iran dengan perang dan serangan militer, tetapi tidak punya keberanian untuk melakukan itu. AS sejauh ini memanfaatkan teroris dan rezim haus perang di kawasan sebagai instrumen untuk menghantam Republik Islam.
Dari 1972 sampai pertengahan perang Iran-Irak, pemerintah AS hanya memiliki kantor pelindung kepentingan di Baghdad dengan 14 pegawai. Namun, ketika rezim Saddam hampir kalah perang, AS dalam sebuah pernyataan pada November 1983 menyatakan bahwa pemerintah AS akan melakukan apapun yang dibenarkan oleh undang-undang untuk mencegah kekalahan Irak dalam perang dengan Iran.
Setelah mengumumkan dukungan terbuka terhadap sebuah rezim agresor, pemerintah AS juga kembali membangun hubungan diplomatik dengan rezim Irak setelah 17 tahun terputus.
Seorang pengamat politik, Kenneth Timmerman mengatakan, "AS dengan tindakan itu membuat Saddam berasumsi bahwa ini adalah lampu hijau untuk menyerang Iran."
Saat menyaksikan perlawanan gigih rakyat Iran dalam perang yang dipaksakan, negara-negara Barat terutama pemerintah AS memutuskan untuk melengkapi Saddam dengan senjata kimia dan biologi.
Barat, Amerika, sekutunya di dunia Arab memberikan dukungan langsung persenjataan dan intelijen kepada rezim Saddam untuk menghancurkan Iran. Namun, sejarah mencatat bahwa kekuatan agresor telah kalah dan kemenangan menjadi milik Iran.
Media Amerika, United Press International (UPI) dalam sebuah laporan pasca penangkapan Saddam menulis, “Sekarang fakta ini juga terkuak bahwa program kimia dan mikroba Saddam pada dekade 80-an tidak mungkin ada tanpa dukungan AS.”
Salah seorang pegawai Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS waktu itu menuturkan, "Faktanya adalah setiap kali Irak melanggar hukum internasional dan menggunakan senjata pemusnah massal, sebelumnya mereka telah memperoleh bantuan dan dukungan finansial dan politik dari AS."
“Tentu kita berperan dalam perilaku Saddam, karena kita telah membuat dia percaya bahwa dirinya sangat penting ketika tidak ada tuntutan hukum atas banyak pembunuhan yang dilakukan di negaranya,” ujar pejabat tersebut.
American Type Culture Collection pada tahun 1986 mengirim koleksi patogen kimia dan mikroba termasuk tiga jenis bakteri anthrax, lima jenis racun botulinum, dan tiga spesies brucella ke Baghdad.
Pemerintah AS dengan kebijakannya itu telah melanggar seluruh komitmen dan hukum internasional.
Seorang pengamat politik Iran, Siamak Bagheri mengatakan, "Negara-negara Barat tidak hanya menjadi pengguna pertama senjata kimia yang mematikan, tetapi juga sebagai eksportir pertama senjata kimia. Selama perang yang dipaksakan, Irak menerima pasokan senjata kimianya dari 150 perusahaan Jerman, Amerika, dan Inggris."
Penggunaan bahan kimia dimulai selama Perang Dunia I pada awal abad ke-20 dan mencapai puncaknya dalam serangan kimia Irak terhadap Iran pada akhir abad ke-21.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam sebuah pesan untuk mengenang korban serangan kimia di kota Sardasht, menulis, "Peristiwa pahit dan memilukan menjadi bukti lain atas ketertindasan bangsa besar Iran selama delapan tahun pertahanan suci dan sebuah dokumen penting yang membuktikan kebatilan orang-orang yang mengaku membela HAM telah tercatat dalam sejarah."
Namun, kejahatan AS terhadap bangsa Iran tetap tidak berhenti. Komitmen Washington kepada Baghdad bahkan mendorong Paman Sam untuk terlibat langsung dalam konfrontasi dengan Iran di tahun terakhir perang.
Sebagai bentuk dukungan langsung kepada rezim Saddam, kapal perang Amerika, USS Vincennes pada 3 Juli 1988 menembak jatuh pesawat sipil Iran di atas perairan Teluk Persia. Sebanyak 290 penumpang dan awak kabin gugur, di mana terdapat 66 anak, 53 wanita, dan 46 warga negara asing.
AS tidak pernah menyampaikan permintaan maaf karena menyerang bangsa Iran dan tidak satu pun dari awak USS Vincennes memperoleh hukuman. Komandan kapal perang tersebut, William Rogers justru menerima medali Legion of Merit atas pengabdiannya.
Kejahatan ini dan dukungan langsung AS tidak terbatas pada era perang yang dipaksakan. Tren ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan Washington.
AS telah menyeret kawasan ini ke dalam kekerasan yang paling brutal dan kebijakan yang paling destruktif. Jutaan orang di Afghanistan, Irak, dan Suriah menjadi pengungsi akibat perang yang dikobarkan AS dan dukungannya kepada para teroris. Ratusan orang juga tewas dalam konflik tersebut.
Warga sipil Yaman tidak henti-hentinya menjadi target pemboman, dan rakyat Palestina masih berada di bawah cengkraman apartheid rezim Zionis.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pesannya kepada jamaah haji menulis, "Hari ini saksikan perilaku AS yang arogan dan kriminal! Kebijakan utamanya di hadapan Islam dan kaum Muslim adalah menyulut perang. Keinginan dan upaya bengisnya adalah mengadu-domba umat Islam. Menggiring manusia-manusia zalim menyerang orang-orang tertindas, mendukung kubu zalim, menumpas kelompok tertindas secara beringas melalui tangan orang-orang zalim, dan terus-menerus mengobarkan bara api fitnah mengerikan ini." (RM)