Risiko Memblokir Ekspor Minyak Iran (1)
https://parstoday.ir/id/radio/other-i69624-risiko_memblokir_ekspor_minyak_iran_(1)
Salah satu pilar utama kebijakan luar negeri AS di masa pemerintahan Presiden Donald Trump adalah penerapan sanksi terhadap negara lain, terutama rival dan penentang Washington. Dalam hal ini, Trump mengumumkan penarikan AS dari perjanjian nuklir JCPOA pada 6 Mei 2018 dan kemudian mengembalikan sanksi-sanksi nuklir terhadap Iran.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Apr 28, 2019 18:29 Asia/Jakarta
  • Risiko Memblokir Ekspor Minyak Iran (1)

Salah satu pilar utama kebijakan luar negeri AS di masa pemerintahan Presiden Donald Trump adalah penerapan sanksi terhadap negara lain, terutama rival dan penentang Washington. Dalam hal ini, Trump mengumumkan penarikan AS dari perjanjian nuklir JCPOA pada 6 Mei 2018 dan kemudian mengembalikan sanksi-sanksi nuklir terhadap Iran.

Trump berulang kali mengkritik keras JCPOA dan percaya bahwa dengan menerapkan sanksi, Tehran akan tunduk dan menerima tuntutan Washington. Sanksi ini bersifat sepihak dan melanggar hukum internasional termasuk resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB.

Pemerintahan Trump mengumumkan dua tahapan sanksi terhadap Iran, di mana tahap pertama mulai berlaku sejak Agustus 2018. Tahap kedua sanksi nuklir dimulai pada 5 November 2018 dan ini menandai babak baru kampanye AS untuk memberlakukan tekanan maksimum terhadap Republik Islam.

Salah satu target dari sanksi baru tersebut adalah sektor minyak Iran. AS sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya ingin memblokir ekspor minyak Iran mulai 5 November 2018, tetapi beberapa hari sebelum sanksi berlaku, mereka mengeluarkan pengecualian untuk para importir minyak Iran.

Pemerintahan Trump memberikan pengecualian sanksi kepada delapan negara yaitu, Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Turki, Italia, dan Yunani untuk tetap bisa membeli minyak Iran selama periode enam bulan.

Pada dasarnya, pengecualian ini diberikan untuk mencegah kelangkaan pasokan minyak di pasar dunia dan kenaikan harga bahan bakar di dalam Amerika sendiri.

Langkah mundur Gedung Putih ini mengundang banyak reaksi dari media-media dunia dan analis energi. Mereka menganggap tindakan Trump sebagai gertak semata. Untuk menjustifikasi kegagalan ini, Trump dalam sebuah konferensi pers mengatakan, "Saya tidak ingin harga minyak meningkat dan oleh karena itu saya mengeluarkan pengecualian. Ke depan, sanksi akan lebih keras."

Dari pengakuan ini dapat dipahami bahwa pertama, para pembuat keputusan di Gedung Putih sama sekali tidak memperhatikan dampak tindakan mereka termasuk lonjakan harga minyak di pasar dunia dan bahkan di Amerika sendiri. Keputusan Trump memicu kenaikan harga bensin di AS dan meningkatkan ketidakpuasan publik.

Dan kedua, pemberian pengecualian untuk delapan negara importir utama minyak Iran adalah bukti dari penentangan dunia terhadap arogansi Washington. Mereka menganggap sanksi minyak Iran bertentangan dengan kepentingan nasionalnya dan menolak sanksi-sanksi, yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan AS.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam sebuah pernyataan mengatakan, Ankara tidak akan mengikuti sanksi Washington terhadap Tehran.

Namun sejalan dengan pendekatan anti-Iran, pemerintah AS akhirnya memutuskan untuk mencabut pengecualian sanksi terhadap para pelanggan minyak Iran. Keputusan tersebut dibuat di tengah kekhawatiran komunitas internasional terhadap gejolak di pasar minyak global.

Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden Donald Trump tidak akan memperpanjang kebijakan pengecualian sanksi yang diberikan sejak November 2018 kepada beberapa negara importir minyak Iran.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga mengatakan bahwa AS tidak akan memperpanjang keringanan sanksi terhadap delapan negara importir minyak Iran mulai 2 Mei 2019. "Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah meyakinkan AS bahwa tidak akan terjadi masalah di pasar minyak," ujar Pompeo pada 22 April lalu.

Menlu AS kembali mendesak Tehran untuk menerima 12 tuntutan yang diajukan oleh Washington pada 2018, dan mengklaim bahwa sebuah aliansi besar yang melibatkan Israel dan beberapa negara Arab telah terbentuk untuk melawan Iran.

Keputusan Gedung Putih ini bertujuan untuk menekan ekspor minyak Iran ke titik nol sehingga negara ini kehilangan sumber pendapatan yang signifikan. "Washington dan sekutunya akan berusaha maksimal untuk menekan perekonomian Iran," kata pernyataan Gedung Putih.

Tindakan sepihak AS telah memicu lonjakan harga minyak hingga 3 persen atau tertinggi untuk tahun 2019 sejauh ini. Harga minyak mentah mencapai lebih dari 74 dolar per barel pada 22 April lalu. Dampak langsung lonjakan ini bagi AS adalah meningkatnya harga bensin di negara tersebut.

Iran mengekspor minyak mentah sekitar 2,3 juta barel per hari sebelum AS keluar dari perjanjian nuklir JCPOA. Pada 2019, ekspor Iran turun sekitar 1,3 juta barel per hari. Pemerintahan Trump mungkin mampu membatasi ekspor minyak Iran, tetapi mustahil menahannya ke angka nol.

Seorang pakar perminyakan, Bjornar Tonhaugen menuturkan bahwa sangat kecil kemungkinan untuk menghentikan ekspor minyak mentah Iran ke angka nol.

Tindakan pemerintahan Trump mengundang beragam reaksi. Di Iran sendiri, banyak pihak memandang tindakan AS bertujuan untuk menyulut gejolak sosial di Iran sehingga tercipta iklim, yang mendorong pemerintah melunak di hadapan Washington. Meski demikian, para pejabat Tehran menegaskan sanksi AS tidak akan membuahkan hasil.

Mike Pompeo (kiri) dan Donald Trump (kanan)

Seorang pejabat di Kementerian Perminyakan Iran mengatakan, "Pada 5 November 2018, AS gagal mencapai tujuannya menghentikan ekspor minyak Iran ke angka nol. Mereka juga tidak akan mencapai ambisinya tidak hanya dalam 10 hari ke depan, tetapi juga dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang. Pasar minyak global membutuhkan minyak Iran dan kami juga memiliki banyak cara untuk menjual minyak kami."

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Sayid Abbas Mousavi mengatakan, "Mengingat sanksi tersebut secara prinsip tidak sah, maka Republik Islam Iran sejak awal tidak menganggap penting pemberian pengecualian sanksi."

Parlemen Iran juga menanggapi keputusan baru Trump untuk melawan Tehran. Ketua Komisi Keamanan Nasional di Parlemen Iran, Heshmatollah Falahatpishe mengatakan penjualan minyak Iran belum pernah berada di bawah satu juta barel per hari. Tingkat penjualan minyak Iran ditentukan oleh hubungan bilateral, bukan gertakan politik Trump dan Pompeo.

Di tingkat internasional, tindakan bermusuhan Trump terhadap sektor minyak Iran juga mendapat reaksi dari berbagai pihak.

Bank Barclays Inggris dalam sebuah rilis menyatakan bahwa keputusan AS untuk menghentikan ekspor minyak Iran ke angka nol akan mempengaruhi harga minyak mentah secara signifikan dalam jangka pendek.

Bank Barclays memperkirakan bahwa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab akan lebih lambat dalam memenuhi kekosongan pasokan minyak dari Iran. Langkah AS juga akan meningkatkan risiko konflik di Timur Tengah, termasuk potensi penutupan Selat Hormuz yang strategis.

"Tanggapan pelanggan utama minyak Iran, Cina dan India, akan menjadi kunci, karena keduanya bisa kesulitan untuk sepenuhnya memutuskan diri dari pasokan minyak Iran," kata Bank Barclays.

Majalah Amerika, Foreign Policy dalam sebuah artikel dengan judul "Trump’s Big Iran Oil Gamble" menulis, "Keputusan Trump kemungkinan akan mendorong harga minyak naik dan memperburuk hubungan dengan sekutu dan rival AS yang sama-sama bergantung pada energi Iran, sekaligus meningkatkan ketegangan lebih lanjut di perairan sekitar Teluk Persia."

Langkah AS ini membawa banyak risiko, tergantung pada seberapa besar negara-negara seperti Cina, India, dan Korea Selatan mematuhi tuntutan baru Amerika. Ketiganya tetap menjadi pembeli utama minyak Iran.

Cina tidak pernah sepenuhnya memenuhi tuntutan AS untuk berhenti membeli minyak mentah Iran dan menegaskan bahwa perdagangannya dengan Tehran adalah sah. Korea Selatan juga mungkin mengalami kesulitan untuk mengganti minyak Iran yang menjadi bahan bakar industri petrokimia. (RM)