Pilpres Afghanistan dan Harapan Rakyat
(last modified Tue, 08 Oct 2019 07:25:44 GMT )
Okt 08, 2019 14:25 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi pemilihan umum Afghanistan.
    Ilustrasi pemilihan umum Afghanistan.

Pemilu serentak di seluruh wilayah Afghanistan untuk memilih presiden dan wakil presiden dilangsungkan pada 28 September 2019. Berdasarkan data Komisi Pemilu Independen Afghanistan (IEC), sebanyak 27 persen dari peserta telah memberikan hak suaranya dalam pilpres.

Negara-negara regional termasuk Republik Islam Iran dan dunia internasional, menyambut pemilu tersebut dan hajatan lima tahunan ini berlangsung sukses berkat kerja keras pasukan keamanan Afghanistan.

Terlepas dari siapa yang memenangkan pilpres ini – yang akan ditetapkan tiga minggu setelah pemilu – partisipasi rakyat Afghanistan di bilik-bilik suara merupakan bukti atas penolakan mereka terhadap segala upaya yang ingin membungkam demokrasi di negara itu. Mereka bahkan rela mempertaruhkan nyawanya demi memberikan hak suaranya.

Menurut para pengamat politik, kehadiran dua kelompok masyarakat dalam pilpres Afghanistan kali ini benar-benar bermakna. Pertama, orang-orang yang menerima ancaman dari Taliban setelah mengikuti pemilu sebelumnya, sekarang kembali mendatangi kotak suara untuk menuntut diakhirinya perang dan perubahan di negaranya lewat jalur demokratis.

Pengamat politik Afghanistan, Mansoure Washiq percaya bahwa dengan transparansi dalam menghitung jumlah suara, pemerintah dan IEC harus mencegah pihak-pihak yang ingin mempermainkan kehendak rakyat yang mendatangi bilik-bilik suara dengan optimis.

Pemerintah Afghanistan berjanji akan melakukan upaya maksimal untuk memenuhi kehendak rakyat yang menginginkan pemilu yang bebas, tetapi juga meminta semua orang yang terlibat dalam proses ini untuk memberikan kontribusinya.

Kedua, kaum perempuan Afghanistan terlihat sangat antusias dalam mengikuti pilpres Afghanistan 2019. Pasca tumbangnya rezim Taliban, kaum perempuan Afghanistan mulai merasakan demokrasi dan selama partisipasinya dalam dua dekade lalu, mereka menuntut pengakuan dirinya sebagai kelompok yang berpengaruh dan memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara.

Mantan Presiden Afghanistan, Hamid Karzai meminta kaum perempuan untuk mengikuti pilpres sebagai cara untuk menegaskan kehadirannya di tengah masyarakat.

Situasi pasca pemilu tentu lebih genting dan lebih penting dari masa sebelum pelaksanaan pemilu. Tuduhan kecurangan oleh capres tertentu akan membuat Taliban bertepuk tangan dan menghancurkan harapan masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Pengumuman hasil pilpres yang terlalu lama telah menjadi salah satu sumber kekhawatiran di Afghanistan, karena hal ini membuka ruang untuk memanipulasi hasil pemilu.

Masyarakat Afghanistan mengantri untuk memberikan hak suaranya.

Rakyat Afghanistan menuntut Komisi Pemilu Independen untuk secara berani mengumumkan capres, yang benar-benar memenangi pemilu dan tidak takut terhadap intimidasi. Dengan demikian, masyarakat memiliki harapan pada masa depan politik dan kedaulatan rakyat dalam pemilu. Rakyat Afghanistan berharap bahwa dengan pemilu yang sukses, posisi negara mereka di tingkat regional dan internasional akan meningkat.

Afghanistan sedang melewati sebuah fase dari kekerasan dan ekstremisme menuju ke arah demokrasi dan penegakan hukum, dan pemilu merupakan simbol utama dari era baru ini.

Dampak pilpres bagi masa depan Afghanistan sangat bergantung pada kinerja pemerintah dan Komisi Pemilu Independen. Kedua pihak harus mengedepankan kepentingan nasional dan memastikan tidak adanya kecurangan dalam pemilu. Mereka harus membuat generasi mendatang Afghanistan lebih optimis untuk memiliki sebuah negara yang sejahtera dan bebas dengan para pemimpin yang bijak.

Dengan partisipasinya dalam pilpres, masyarakat ingin mengirim pesan bahwa mereka sudah lelah dengan perang, konflik berdarah, dan ketidakamanan. Untuk itu, masyarakat menyambut seruan pemerintah dan partai-partai politik untuk mengikuti pemilu, dan sekarang giliran pemerintah dan para politisi untuk memenuhi harapan publik.

Seorang analis politik di Kabul, Haroun Mir menuturkan, "Pada pilpres 2019, rakyat Afghanistan berada di antara dua pilihan; mengikuti pesta demokrasi atau seruan Taliban. Mereka memilih pesta demokrasi sebagai landasan untuk memerintah dan ini menjadi sebuah kesuksesan besar bagi Afghanistan. Masyarakat tahu betul bahwa proses demokrasi akan membantu Afghanistan untuk keluar dari berbagai masalah."

Presiden terpilih Afghanistan akan menghadapi tantangan dan tanggung jawab yang berat, termasuk masalah menciptakan keamanan dan memajukan proses perdamaian nasional.

Jelas bahwa partisipasi luas pemilih akan membantu pemerintahan mendatang dalam menyukseskan program-programnya. Dukungan kuat dari rakyat juga akan memperkuat posisi pemerintahan mendatang dalam memajukan proses perdamaian di Afghanistan.

Sekelompok anggota Taliban menyerah dan bergabung dalam proses perdamaian yang dirintis oleh pemerintah.

Para pengamat politik percaya bahwa penyelenggaraan sukses pemilu Afghanistan merupakan sebuah kekalahan besar bagi kelompok Taliban. Taliban menentang partisipasi masyarakat dalam pemilu dan bagi mereka, suara rakyat dan hak pilih tidak berpengaruh pada masa depan negara.

Taliban hanya ingin memaksakan pandangannya kepada masyarakat. Padahal, pemilu adalah komponen utama dari demokrasi di mana masyarakat memiliki hak-hak politik untuk dipilih dan memilih.

Saat ini dua kandidat utama dalam pilpres Afghanistan sama-sama mengklaim kemenangan, bahkan ketika penghitungan suara baru saja dimulai. Presiden petahana Ashraf Ghani dan lawannya, Kepala Eksekutif Afghanistan, Abdullah Abdullah, sama-sama mengklaim kemenangan pada Senin lalu.

Calon wapres Ghani, Amrullah Saleh mengatakan dalam konferensi pers di Kabul bahwa Ghani telah meraih kemenangan pada putaran pertama. Dia menambahkan Ghani telah mengumpulkan 60 hingga 70 persen suara, tanpa memberikan bukti apa pun.

Sementara itu, Abdullah Abdullah juga mengatakan dalam konferensi pers bahwa ia telah memperoleh suara tertinggi dan pemilu tidak akan berlanjut ke putaran kedua.

Namun, Kepala Eksekutif IEC, Habiburrahman Nang menegaskan bahwa tidak ada kandidat yang berhak menyatakan dirinya pemenang sebelum penghitungan suara selesai dilakukan.

Jika tidak ada capres yang memenangkan lebih dari setengah surat suara, maka pemungutan suara akan dilakukan antara dua kandidat dengan jumlah suara terbanyak.

Situasi sekarang mengingatkan pada pemilu lima tahun lalu, ketika Ghani dan Abdullah sama-sama mengklaim kemenangan dan menyeret negara itu ke dalam kekacauan politik. Berdasarkan perjanjian pembagian kekuasaan pada 2015, Ghani menjadi presiden dan Abdullah menerima jabatan kepala eksekutif Afghanistan.

Klaim terbaru tersebut juga dapat memicu krisis politik lain, hanya beberapa minggu setelah pembicaraan damai antara kelompok Taliban dan AS, kandas di tengah jalan. (RM)