Perebutan Pasar Minyak antara Rusia, Saudi, dan AS
(last modified Mon, 13 Apr 2020 09:16:28 GMT )
Apr 13, 2020 16:16 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi perang untuk merebut pasar minyak dunia antara Arab Saudi, Rusia, dan AS.
    Ilustrasi perang untuk merebut pasar minyak dunia antara Arab Saudi, Rusia, dan AS.

Perang harga minyak antara Rusia dan Arab Saudi – setelah OPEC dan produsen lain yang dipimpin Rusia gagal memperpanjang kesepakatan pembatasan produksi – menyebabkan anjloknya harga minyak ke titik terendah dalam 18 tahun terakhir.

Kesepakatan tiga tahun antara OPEC dan para produsen besar minyak non-OPEC untuk memangkas produksi, berakhir setelah Rusia menolak mendukung usulan Saudi untuk melanjutkan pemangkasan.

OPEC+ adalah sebuah forum konsultasi dan perumusan kebijakan antara 10 negara produsen minyak termasuk Rusia bersama 13 anggota OPEC.

Setelah kesepakatan gagal diperpanjang, Arab Saudi dan sekutunya memutuskan meningkatkan produksi minyak mereka dan secara resmi memulai perang harga dengan Rusia.

Saudi ingin melanjutkan pemangkasan produksi untuk mencegah anjloknya harga minyak di pasar dunia, namun Rusia menentang langkah ini dan hal ini kemudian memicu tindakan balasan dari Saudi dengan menggenjot produksi jutaan barel.

Pada perdagangan 30 Maret 2020, harga minyak West Texas Intermediate turun 5,3 persen menjadi 20 dolar per barel, sedangkan harga minyak Brent turun 6,5 persen menjadi 23 dolar per barel untuk pertama kalinya sejak 2002. Langkah Riyadh melanjutkan perang minyak dengan Moskow menyebabkan pasar dunia kebanjiran pasokan. Kondisi ini diperparah lagi dengan penurunan permintaan dan lesunya pasar akibat pandemi virus Corona yang menyerang negara-negara dunia.

Seorang analis pasar minyak, Satoru Yoshida mengatakan, "Sampai berakhirnya pandemi virus Corona, harga minyak akan terus tertekan dan bisa terjun ke angka 20 dolar per barel."

Pada 3 April, Presiden Vladimir Putin dalam pertemuan melalui video conference dengan para pejabat pemerintah dan produsen minyak utama Rusia, mengatakan penyebab utama anjloknya harga minyak adalah dampak wabah COVID-19 pada permintaan.

"Penyebab kedua karena keluarnya Arab Saudi dari kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+, yang disertai dengan peningkatan produksi mereka dan penawaran diskon harga minyak," ujarnya.

Namun, Riyadh dengan cepat membantah klaim Putin dan menuding Moskow sebagai pemicu kekacauan di pasar minyak global.

Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, Menteri Energi Rusia Alexander Novak adalah orang pertama yang berbicara kepada media bahwa semua negara yang tergabung dalam kesepakatan pembatasan produksi OPEC+, akan dibebaskan dari komitmen mereka mulai dari 1 April. Hal ini mendorong negara-negara produsen minyak meningkatkan produksinya.

Terlepas dari siapa yang harus disalahkan atas situasi kritis pasar minyak saat ini, OPEC+ sedang membahas kesepakatan untuk memangkas produksi minyak yang setara dengan angka 10 persen dari permintaan dunia atau 10 juta barel per hari. Ini adalah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan para produsen di luar OPEC+ termasuk Amerika Serikat, diharapkan bergabung dengan upaya ini.

Juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov menuturkan Moskow ingin melakukan pembicaraan konstruktif di bawah OPEC+ dalam hubungannya dengan harga dan stabilisasi pasar minyak.

Tentu saja beberapa anggota OPEC+ telah mengumumkan kesiapan mereka untuk itu. Norwegia – produsen minyak dan gas terbesar di Eropa Barat – menyatakan akan mempertimbangkan penurunan produksi minyaknya jika para produsen utama memutuskan pemangkasan global.

Pada 5 April, Menteri Minyak dan Energi Norwegia, Tina Bru mengatakan, "Jika sekelompok besar produsen setuju untuk memangkas produksinya secara signifikan, Norwegia akan mempertimbangkan pemangkasan sepihak jika langkah itu mendukung manajemen sumber daya dan ekonomi kami."

Jika Rusia dan Saudi tetap mempertahankan pendirian masing-masing dan saling menyalahkan, maka tren penurunan harga minyak akan tetap berlanjut. Hal ini akan memicu kemarahan AS karena tren saat ini merugikan perusahaan-perusahaan shale oil mereka.

Di sini, AS ingin mendepak Rusia dari pasar minyak dan gas dunia dengan menawarkan minyak shale dan gas alam. Saudi terus meningkatkan produksi minyak untuk menjaga pangsa pasarnya. Negara itu menyadari jika mereka mengurangi produksi demi mengerek harga, maka Rusia akan menutupi kekosongan itu dan merebut pangsa pasar. Dengan cara ini, Rusia juga akan menggagalkan rencana AS untuk merebut pasar minyak internasional.

Perang harga ini pada akhirnya akan menguras cadangan devisa Saudi yang sangat bergantung pada pendapatan minyak. Rusia masih bisa menutupi defisit anggarannya dengan harga minyak di bawah 40 dolar per barel, tapi Saudi menghadapi defisit anggaran jika harga berada di bawah 80 dolar.

Shale oil Amerika tidak dapat bersaing di pasar karena tingginya biaya produksi dan ditambah lagi dengan investasi besar yang harus dilakukan di sektor ini. Pemerintahan Trump menganggap tren saat ini di pasar global akan merugikan sektor minyak AS, yang telah menempati peringkat pertama dunia dalam hal produksi minyak dan ingin menjadi salah satu pengekspor utama minyak di masa depan.

Donald Trump.

AS telah menjadi produsen minyak terbesar di dunia sejak 2018. Pada Maret 2020, negara itu memproduksi 13 juta barel minyak mentah, meskipun harga minyak dunia sedang anjlok. Angka ini 150 persen lebih besar dari produksi AS pada 2011.

Sebenarnya, presiden AS mengadopsi kebijakan ganda dalam menghadapi perang harga minyak. Di satu sisi, Trump mendukung penurunan harga karena ini akan menguntungkan konsumen Amerika, dan akhirnya ia akan mendulang suara pada pemilu presiden November 2020.

Namun di sisi lain, Trump tahu bahwa tren penurunan harga akan sangat merugikan perusahaan-perusahaan shale oil dan dapat menyebabkan mereka bangkrut. Itu sebabnya Trump mengupayakan mediasi antara Moskow dan Riyadh, karena Washington akan menjadi korban utama dari perang harga minyak saat ini.

Sementara itu, Rusia ingin bekerja dengan para anggota OPEC untuk mencapai kesepakatan tentang produksi dan ekspor minyak global sehingga stabilitas pasar dapat dipulihkan kembali dan harga minyak bisa naik. Anehnya, rezim Saudi mendorong penurunan harga lebih lanjut tanpa menyadari bahwa Rusia akan menjadi pemenang dalam perang ini.

Saudi bersikeras bahwa mereka harus terus meningkatkan produksi minyak untuk mempertahankan pasarnya. Menurut mereka, jika produksi dipangkas demi mendongkrak harga, Rusia akan memacu produksinya untuk merebut pangsa pasar.

Padahal, Moskow berusaha meningkatkan produksi demi menggagalkan rencana AS untuk merebut pasar minyak internasional Rusia. Sementara Saudi perlu menaikkan harga minyak dengan memangkas produksi, karena mereka sangat bergantung pada pendapatan minyak.

Rusia – yang ingin menghapus shale oil AS dari pasar – sedang mengejar tujuannya ini dengan cara mendorong penurunan harga minyak dan membuatnya tidak ekonomis bagi perusahaan-perusahaan shale oil. Dengan demikian, langkah Saudi membanjiri pasar minyak pada akhirnya akan menguntungkan Rusia dan merugikan produsen shale oil di AS.

Berlanjutnya perang minyak antara Rusia dan Saudi serta penurunan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan kekhawatiran. Negara-negara produsen utama menyerukan kedua pihak untuk mengakhiri situasi yang tidak normal ini.

Trump pada 1 April lalu mengatakan, "Saya baru-baru ini berbicara dengan para pemimpin Arab Saudi dan Rusia, dan saya yakin kedua negara akan mencapai kesepakatan dalam beberapa hari ke depan untuk mengakhiri perang harga serta mengerek harga dengan memangkas produksi."

OPEC.

Trump sebelum ini menyebut perang harga minyak antara Saudi dan Rusia sebagai sebuah kegilaan, dan ia berbicara dengan Presiden Vladimir Putin tentang hal itu.

Di tengah perseteruan antara Riyadh dan Moskow, OPEC dan Rusia memutuskan menunda pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung pada 6 April 2020 untuk membahas pengurangan produksi hingga 9 April.

Trump menekan OPEC dan para produsen di luar OPEC termasuk Rusia, untuk mengambil langkah-langkah efektif dan menstabilkan pasar minyak global. Menteri Energi AS, Dan Brouillette bahkan memperingatkan Riyadh mengenai dampak perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia. Brouillette dalam wawancaranya dengan televisi Fox Business pada 6 April lalu, mengancam akan mengenakan tarif untuk minyak impor dari Saudi dan Rusia.

Trump juga menegaskan bahwa jika Riyadh dan Moskow tidak segera mengurangi produksinya, maka pengenaan tarif akan menjadi salah satu pilihan. Dia mengakui bahwa kasus ini telah memperdalam keretakan antara Washington dan Riyadh, sebagai sekutu utama Amerika di Asia Barat.

Perkembangan terbaru menyebutkan bahwa negara-negara pengekspor minyak dan Rusia serta produsen lainnya telah memangkas produksi terbesar dalam sejarah yaitu 10 juta barel per hari. Langkah ini telah membantu menaikkan harga minyak di pasar dunia. (RM)