Kehidupan Qurani Imam Jawad
-
Syahadat Imam Jawad
Akhir bulan Zulkaidah menjadi momentum mengenang kehidupan tokoh besar dunia Islam, Imam Jawad yang syahid pada tahun 220 Hq, terutama keteladanannya dalam menjalankan nilai-nilai Qurani.
Imam Muhammad bin Ali at-Taqi dilahirkan pada tahun 195 Hijriah di kota Madinah. Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaannya. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan akhlaknya, beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh terkemuka di masa itu.
Ayahnya, Imam Ridha dan ibunya, bernama Sabikah. Ketika lahir ke dunia, Imam Ridha memeluknya dengan penuh kasih sayang dan pada saat itu juga memberikan kabar akan peristiwa pahit prediksi kesyahidah. Imam Ridha mengatakan, "Ini adalah anakku dan akan terbunuh secara lalim. Penduduk langit menangisi syahadahnya dan Allah murka kepada musuhnya. Pembunuhnya setelah itu tidak akan menikmati kehidupan dan akan segera mendapat azab ilahi."
Keutamaan ilmu dan keagungan akhlak Imam Jawad tiada taranya. Beliau adalah pewaris Nabi Muhammad Saw, sebagai manusia pilihan Allah swt yang mencurahkan hidupnya untuk menyebarkan ajaran ilahi. Seluruh tindakan dan perilakunya, mencerminkan berpijak dari prinsip-prinsip Alquran.
Sebutan paling terkenal bagi Imam Syiah Kesembilan ini adalah Jawad. Beliau dipanggil Jawad dikarenakan kedermawanannya. Imam Jawad memiliki sifat dermawan yang sangat menonjol dari sifat-sifat yang lain. Jasanya kepada masyarakat dan bagaimana beliau membantu mereka. Imam Jawad as berkata, "Manusia yang memiliki tiga sifat mulia dapat mencapai maqam Ridhwan dan keridhaan Allah; banyak memohon ampunan, mulia akhlaknya serta banyak bersedekah."
Suatu hari Qasim bin Mohsen menceritakan dalam sebuah perjalanan ke Mekah bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan di jalan, dan dia memberinya sepotong roti. Kemudian melanjutkan perjalanan, tapi angin kencang bertiup hingga menerbangkan sorbannya. Ketika tiba di Madinah, ia pergi menemui Imam Jawad.
Ketika bertemu dengan Imam Jawad, beliau langsung bertanya, "Apakah angin menerbangkan sorbanmu?".Padahal Qasim bin Mohsen tidak menceritakan kejadian dalam perjalanannya. Dengan terkejut, Qasim bin Mohsen bertanya, "Wahai putra Rasulullah, bagaimana Anda mengetahui sorbanku hilang?" Imam Jawad menjawab, "Anda memberi sedekah kepada orang miskin di jalan dan Allah swt menerima kebaikanmu, dan sorban ini kembali kepadamu,". Imam Jawad melanjutkan perkataanya dengan mengutip ayat 120 surat al-Taubah, "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,".

Imam Jawad berkata, "Ketika dua orang bertemu, yang terbaik dari mereka di hadapan Allah adalah yang paling berakhlak di antara mereka. Kemudian, salah seorang sahabatnya bertanya, "Wahai putra Rasulullah, Kami mengakui keunggulan salah seorang dari dua orang itu di hadapan masyarakat, jadi apa keunggulan di hadapan Allah?" Beliau menjawab, "Membaca Al-Quran dan mengamalkannya, sebagaimana kami lakukan,".
Suatu hari seseorang yang menghadapi masalah ekonominya mengirimkan sepucuk surat kepada Imam Jawad dan meminta bantuan beliau. Imam Jawad membalas surat tersebut dengan menulis, "Mintalah bantuan dari al-Quran dan selalu membaca Surah Nuh, karena dengan membacanya, firman Allah akan mengalir sehingga membuka hati dan membebaskannya dari penyembahan selain Allah swt, sebagai tempat bergantung dan pemecah masalah dunia..".
Dalam al-Qurat surat Ali-Imran ayat 134 dijelaskan bahwa salah satu ciri dari hamba Allah yang saleh, "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,". Ajaran Al-Quran ini tercermin dalam kehidupan Ahlul Bait Rasulullah Saw, termasuk Imam Jawad sebagaimana dicatat dalam sejarah dengan tinta emas.
Ahmad bin Hadid menceritakan dirinya bersama sekelompok orang melakukan perjalanan untuk menunaikan haji ke Mekah, tapi di tengah perjalanan harta mereka dijarah. Ketika tiba di Madinah mereka bertemu Imam Jawad di sebuah jalan dan dibawa ke rumahnya.
Imam Jawad segera memerintahkan Ahmad bin Hadid memberikan pakaian dan uang, kepada sesama musafir. Ternyata jumlah uang yang beliau berikan sama persis seperti uang yang diambil oleh perampok dalam perjalanan. Padahal Ahmad bin Hadid tidak menceritakan jumlah uang yang hilang kepada Imam Jawad.
Selain memberikan contoh dengan perbuatan baiknya, Imam Jawad senantiasa memberikan nasihat kepada para sahabatnya dengan mengatakan, "Hiasi akhlakmu dan perbuatan baikmu dengan tidak menyakiti hati orang lain,". Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 264 yang berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir,".

Imam Jawad memberikan teladan kepada masyarakat yang dimulai dari kehidupannya sendiri. Salah seorang sahabat Imam Kesembilan menceritakan, "Saya menemui Imam Jawad di Baghdad dan menyaksikan langsung kehidupannya. Terlintas dalam benakku saat itu bahwa Imam hidup makmur, dan tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya, Madinah. Sesaat Imam memalingkan kepalanya, lalu mengangkat kepalanya dan raut mukanya terlihat sedih dan mengatakan, "Wahai Husein! Saya lebih mencintai roti kering dengan garam di makam suci Rasulullah ketimbang apa yang engkau lihat sekarang." Dengan alasan ini, Imam tidak tinggal lama di Baghdad dan kembali ke Madinah bersama istrinya, Ummu al-Fadhl dan tetap di Madinah sampai tahun 220 Hq.
Ketika Mu'tashim Abbasiah menduduki tahta kekhalifahan, ia mendengar keutamaan dan kemuliaan Imam Jawad yang menimbulkan kedengkiannya, lalu memindahkan Imam Jawad dari Madinah ke Baghdad. Ketika beliau tiba di Baghdad, Mu'tashim memberi racun kepada istrinya untuk diberikan kepada Imam Jawad, hingga Imam Jawad syahid.(PH)