Kebebasan Berekspresi atau Penghinaan?
(last modified Mon, 28 Sep 2020 09:00:29 GMT )
Sep 28, 2020 16:00 Asia/Jakarta
  • Kebebasan Berekspresi atau Penghinaan?

Kebebasan berekspresi berarti hak untuk menyatakan pendapat dan keyakinan dalam kerangka hukum serta menghormati pendapat dan keyakinan orang lain. Kebebasan ini tidak bermakna bahwa setiap orang dapat melakukan apapun yang mereka suka di masyarakat.

Di semua sistem hukum dunia, mengekspresikan pendapat tidak bebas secara mutlak. Setiap negara berdasarkan bentuk ideologi dan tingkat komitmen pada prinsip-prinsip moral, menetapkan aturan untuk kebebasan berekspresi dan kita tidak dapat menyalahgunaan hak alamiah ini dan merampas hak-hak alamiah orang lain termasuk menghormati keyakinannya.

Majalah satir Prancis, Charlie Hebdo adalah sebuah majalah humor mingguan yang memiliki kecendrungan sangat anti-religius, sayap kiri, dan anarkis. Konten majalah ini memuat kritik dan olok-olokan terhadap agama Katolik, Yudaisme, dan Islam di Prancis, kebijakan dan bahkan budaya masyarakat Prancis.

Charlie Hebdo menggantikan majalah Hara-Kiri yang terbit dari tahun 1960 hingga 1961. Majalah ini dibredel oleh pemerintah Prancis karena menghina nilai-nilai nasional, dan kemudian terbit ulang pada tahun 1966. Pada 1970, majalah Hari-Kiri kembali ditutup karena menghina pribadi Jenderal Charles de Gaulle setelah kematiannya.

Pada dekade 1980-an, para mantan pegawai majalah Hara-Kiri melanjutkan aktivitasnya dengan nama baru Charlie Hebdo (nama sindiran kepada Charles de Gaulle), tetapi kegiatan publikasinya tidak berjalan secara penuh karena kualitas kontennya sering dikritik oleh publik. Kemudian datang kelompok lain yang bergabung dengan tim lama majalah tersebut dan menerbitkan majalah new Charlie Hebdo pada 1992.

Majalah Charlie Hebdo Prancis.

Selain menghina kesucian Islam dan menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Saw, majalah Charlie Hebdo menerbitkan gambar satir yang sangat merendahkan sosok Bunda Maria dan Yesus serta Paus, pemimpin Katolik dunia.

Pada 2011, Charlie Hebdo menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Saw di sampulnya dengan ekspresi menghina. Langkah ini memicu gelombang protes di berbagai negara dunia dan secara khusus memancing kemarahan umat Islam terhadap penghinaan tersebut. Kemudian berbagai serangan terjadi terhadap Charlie Hebdo dan orang-orang tak dikenal menyerang kantor pusat majalah ini.

Pada 7 Januari 2015, tiga pria bersenjata melakukan penyerangan di kantor pusat Charlie Hebdo di Paris. Serangan ini menyebabkan 12 orang tewas dan 10 orang terluka.

Pada 2 September 2020, majalah Charlie Hebdo kembali menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Saw bersamaan dengan digelarnya sidang pengadilan terhadap 14 terdakwa penyerangan kantornya di Paris. Atas perintah jaksa senior Prancis, jalannya sidang didokumentasikan untuk pertama kalinya sebagai referensi untuk generasi masa depan. 14 terdakwa diduga bekerja sama dengan para pelaku penyerangan atau memberikan dukungan logistik kepada mereka.

Anehnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron membela penistaan terhadap kesucian Islam dan menyebutnya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Dia menegaskan tidak akan mengkritik keputusan majalah satir itu untuk menerbitkan ulang karikatur tersebut.

Macron kemudian malah memuji nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi di Prancis. Dia berkata, "Tidak pernah menjadi tempat Presiden Republik (Prancis) untuk memberikan penilaian atas pilihan editorial jurnalis atau ruang redaksi. Itu tidak pernah, karena kami memiliki kebebasan pers.”

Presiden Emmanuel Macron.

Berdasarkan kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau – yang menjadi dasar legitimasi hukum dan pemerintahan di Barat – manusia memiliki kebebasan, dan untuk menghindari konflik dan kekacauan, kebebasan manusia dibatasi pada kebebasan dan hak-hak manusia lainnya.

Salah satu kebebasan dan hak-hak manusia yang diakui adalah hak untuk memilih agama, dan orang lain wajib menghormati hak dan nilai-nilai keyakinan tersebut. Salah satu nilai keyakinan agama yang paling utama adalah mensucikan pribadi tertentu atau tempat-tempat tertentu.

Individu lain sebagaimana tidak boleh menyerang kebebasan pribadi, harta benda, dan martabat orang lain, mereka juga tidak boleh menyerang kebebasan dan hak beragama orang lain termasuk sakralitas agamanya. Bagi banyak orang, sakralitas agamanya bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada nyawa, harta benda, dan kehormatan, dan mereka rela mengorbankan jiwa, harta benda, dan kehormatannya di jalan ini.

Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang disahkan pada 1966, menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui sarana lain sesuai dengan pilihannya.”

Dari sisi lain, pasal ini membatasi kebebasan berekspresi dengan menghormati hak dan martabat orang lain. Jelas bahwa salah satu jenis martabat seorang berhubungan dengan agama dan keyakinannya, tidak menghormati agama dan sakralitas agamanya berarti telah menyerang martabat orang tersebut.

Di Inggris Raya, misalnya, Undang-undang Penistaan Agama masih berlaku sampai sekarang. Sebagian ahli hukum Inggris percaya bahwa setiap penistaan agama yang melukai perasaan umat manusia atau melakukan penghinaan terbuka terhadap gereja atau mempromosikan hal-hal yang tidak bermoral, akan dianggap sebagai kejahatan.

Pasal 20 ayat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan bahwa segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.

Jelas bahwa penistaan agama adalah contoh dari seruan kebencian terhadap agama yang akan memicu konflik dan kekerasan. Dapat dikatakan, menetapkan kasus penistaan agama sebagai sebuah kejahatan – karena tidak menghormati martabat individu dan merusak ketertiban umum di negara-negara yang mengakui ini sebagai kejahatan serta hasutan untuk permusuhan dan kekerasan – sepenuhnya sejalan dengan hukum-hukum internasional yang berbicara tentang HAM.

Sejak awal Renaissance hingga sekarang, sebagian orang atas nama kebebasan berekspresi selalu menghina dan merendahkan kesucian agama orang lain dan menganggapnya sebagai hak asasinya. Orang-orang Barat ini menuduh pengkritik perilaku mereka sebagai pendukung tirani dan kediktatoran. Mereka tidak mentolerir kritik dari para kritikus dan kemarahan dari penganut agama.

Semua agama memiliki nilai-nilai suci yang dihormati oleh para pemeluknya; bahkan agama primitif sekali pun juga memiliki tempat atau tokoh atau benda yang disucikan.

Warga Iran mengecam penghinaan Nabi Muhammad Saw oleh Charlie Hebdo.

Di banyak agama, nilai-nilai sakral sangat dihormati sehingga penganutnya rela mengorbankan harta, raga, dan jiwanya demi membela kesucian ini. Mereka menganggap menghina kesucian agamanya jauh lebih kejam dan lebih menjijikkan daripada menghina diri mereka sendiri atau sukunya.

Anehnya, berdasarkan dokumen, pernyataan, dan slogan-slogan para pembela HAM, Barat menerima larangan penghinaan terhadap ras atau suku serta menegaskan larangan menyangkal Holocaust di Eropa, tetapi mereka membenarkan penghinaan terhadap kesucian agama dengan dalih bahwa agama adalah pilihan dan itu bagian dari kebebasan berekspresi.

Oleh sebab itu, media-media Barat berulang kali menghina kesucian agama yang dianut oleh jutaan orang di seluruh dunia dengan alasan kebebasan berekspresi.

Perlu dicatat bahwa menghormati kesucian agama dan simbol-simbol agama merupakan salah satu hak-hak bangsa dan umat yang paling penting. Pemerintah di seluruh dunia berkewajiban untuk melindungi sakralitas itu dari penistaan, penghinaan yang disengaja, dan perusakan.

Kepercayaan pada keberagaman, hidup damai berdampingan, dialog dan kerja sama antar-agama, peradaban dan umat manusia beserta nilai-nilai yang dilandasi pada penghormatan terhadap sesama, tanpa memandang agama atau ideologinya, dapat menjadi solusi mendasar untuk mengakhiri rasisme dan berbagai bentuknya di dunia modern. (RM)

Tags