Komponen Keamanan Berkelanjutan di Kawasan Menurut Rahbar (7)
Kawasan Asia Barat selama satu dekade terakhir melewati fenomena dan transformasi penting serta menentukan. Sebagian peristiwa pahit selama tahun-tahun tersebut akibat intervensi militer pemerintah AS.
Selama beberapa tahun terakhir banyak terjadi fluktuasi strategi Amerika Serikat di Asia Barat. Sejak penarikan pasukan AS dari Irak di tahun 2011, strategi negara ini di Asia Barat mengalami perubahan, dan dengan beberapa langkah strategis seperti intervensi militer skala besar dan demokratisasi akan segera berakhir.
Secara umum selama satu dekade lalu, prioritas kepentingan Amerika di Asia Barat berubah dan tujuan strategis Washington di kawasan ini juga mengalami perubahan.
Terkait hal ini, sejalan dengan perubahan situasi di Asia Barat dan kegagalan terbuka kebijakan regional AS, ada tiga opsi; Termasuk: mengurangi kehadiran militer, membantu sekutu, dan negosiasi untuk mencapai tujuan strategis adalah prioritas tinggi dalam kebijakan AS. Namun, jelas bahwa Amerika Serikat tidak akan mengurangi fokusnya pada Asia Barat dalam jangka pendek dan akan terus berusaha untuk mempertahankan perannya sebagai kekuatan yang berpengaruh di kawasan.
Selama beberapa tahun lalu, Amerika juga melaksanakan kebijakan seperti ini dan selama Perang Dingin, menerapkan kebijakan "Keseimbangan Lintas Batas{ di Asia Barat. Amerika melalui pendekatan ini, saat melawan pengaruh Uni Soviet, secara langsung tidak terlibat perang.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, Amerika kembali menerapkan strategi intervensi militer langsung di Asia Barat. AS dalam koridor ini, memulai dua perang regional yang cukup besar, dan memulai program "penerapan demokrasi" di Asia Barat. Namun rencana ini sejak awal gagal, dan setelah penarikan sebagian besar pasukan AS dari Irak, strategi Amerika di Asia Barat memasuki babak baru, yakni era transformasi strategi.
Dengan demikian di tahun 2011, pasukan Amerika ditarik dari Irak, tapi di tahun 2014 Barack Obama kembali mengirim pasukan ke Irak.
Para pengamat strategis meyakini bahwa strategi Amerika di Asia Barat tidak konsisten sejak awal. Melalui pergerakannya ini, Amerika selain merugikan sekutunya, juga membuat dunia luar kebingungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di awal pemerintahan Barack Obama, strategi Amerika di Asia Barat merupakan kelanjutan dari teladan sebelumnya, tapi setelah munculnya kebangkitan Islam di tahun 2011, Amerika dengan cepat memanfaatkan kebangkitan rakyat di Asia Barat dan dengan mendistorsi perjuangan ini, Washington telah menyebabkan tensi berkepanjangan di sebagian negara Arab.
Di era pemerintahan Donald Trump, strategi Amerika juga membuat Asia Barat tidak stabil. Misalnya, Juni 2017 ketika Arab Saudi memutus hubungannya dengan Qatar, Amerika pasif antara membela Arab Saudi atau membantu Qatar.
Mengikuti tren ini, pada Desember 2018, Trump mengumumkan rencananya untuk menarik pasukan AS dari Suriah, sementara Menteri Pertahanan James Mattis menentangnya dan mengundurkan diri. Pada 2019, Trump mengumumkan penarikan pasukan dari Suriah, tetapi anggota parlemen Republik dan Demokrat menentang keputusan itu, dan militer AS tetap berada di Suriah untuk mempertahankan kendali atas ladang minyak Suriah.
Di Irak, ketika militer AS pada Januari 2020 mengajukan proposal penarikan diri dari pangkalan mereka di negara Arab ini, tapi ternyata mereka tidak melakukan langkah apa pun. Fluktuasi ini menunjukkan bahwa strategi AS di Asia Barat terus berubah.
Amerika Serikat di wilayah lain interevensi militernya, yakni di Afghanistan, berusaha mencipatakan instabilitas dan kerusuhan, sehingga dapat merusak stabilitas dan keamanan di timur, barat dan utara Asia .
Kini jelas bahwa jika pendekatan unilateralisme Amerika pada waktunya dilawan dengan seirus, maka akan dapat dicegah terjadinya banyak friksi dan perang berdarah di kawasan dapat dicegah.
Sementara itu, pandangan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei dalam hal ini jelas dan transparan.
Ayatullah Khamenei di pidatonya menyebutkan kejahatan nyata Amerika mengirim tentaranya ke negara-negara Muslim seperti Afghanistan dan Suriah. Rahbar mengatakan, hasil dari kehadiran militer Amerika di wilayah mana pun dunia adalah instabilitas, kehancuran, perang saudara dan membuat pemerintahan sibuk.
Menurut perspektif Rahba, interaksi dan kerja sama negara-negara kawasan tanpa intervensi asing adalah syarat utama penerapan keamanan berkesinambungan di kawasan.
Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani pada Juli 2020 saat bertemu dengan Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi seraya menekankan fakta regional menilai solusi bagi kawasan untuk keluar dari krisis instabilitas dan terorisme adalah kerja sama dan persatuan seluruh negara kawasan tanpa intervensi pihak asing.
Sementara perdana menteri Irak seraya memuji dukungan penuh pemerintah dan rakyat Iran dalam membela kedaulatan nasional dan rakyat Irak khususnya di masa-masa sulit melawan kelompok teroris Daesh (ISIS), menyebutkan bahwa persatuan kedua bangsa dan hubungan strategis Iran dan Irak memperkokoh sektor keamanan dan kesejahteraan kedua negara dan kawasan. Ia mengatakan, "Pemerintah dan bangsa Irak tidak akan pernah melupakan dukungan dan perlawanan bangsa Iran bersama Irak yang telah mengorbankan darah putra-putra tercintanya."
Di poin ini tidak ada keraguan bahwa upaya bersama dari negara-negara di kawasan dan keinginan bangsa-bangsa untuk mengeluarkan Amerika yang jahat dari kawasan itu sesegera mungkin adalah kebutuhan yang tak terelakkan untuk memperkuat perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.
Jafar Qanadbashi, pengamat isu-isu Asia Barat terkait penentangan rakyat atas kehadiran militer Amerika di Irak mengatakan, "Rakyat Irak dan faksi muqawama menentang kehadiran Amerika di Irak dan mereka menghendaki kondisi bagi pelaksanaan keputusan parlemen Iran terkait penarikan militer AS secepatnya siap."