May 24, 2022 19:44 Asia/Jakarta
  • Pengiriman tentara AS ke Afghanistan
    Pengiriman tentara AS ke Afghanistan

Insiden mencurigakan 11 September 2001 dan pengambilan kebijakan melawan terorisme, khususnya penghancuran al-Qaeda dan Taliban oleh Amerika Serikat pada akhirnya berujung pada terbukanya intervensi militer Washington di Afghanistan.

Selama 20 tahun pendudukan Afghanistan oleh Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) antara tahun 2001 hingga 2021, membuat Kabul bukan saja gagal meraih keamanan dan stabilitas, bahkan kondisi negara ini mulai kembali ke arah konflik internal dan perang antar-etnis di dekade lalu.

Amerika Serikat mengirim tentaranya ke Afghanistan dengan slogan memerangi terorisme dan menghancurkan al-Qaeda dan Taliban. Di akhir periode pemerintahan Donald Trump, Amerika mencapai rekonsiliasi dengan Taliban dan secara praktis Washington mengabaikan pemerintah Afghanistan dan sebuah bentuk pemberian legalitas kepada Taliban.

Insiden 11 September 2001

Kebijakan intervensi Amerika dan sejumlah permainan Washington dalam mengontrol dan memanajemen instabilitas di Afghanistan mendorong pemerintah resmi Kabul sangat rentan. Pada akhirnya, bersamaan dengan peringatan insiden 11 September 2001, pemerintah Kabul juga tumbang. Dengan demikan setelah 20 tahun proyek AS yang diklaim sebagai pembentukan pemerintah-rakyat di Afghanistan, akhirnya gagal.

AS bukan saja tidak mampu menerapkan demokrasi yang diinginkannya di Afghanistan, bahkan intervensi militer negara ini di Kabul selama 20 tahun berujung pada kejahatan internasional termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang bahkan diakui oleh pejabat Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Hadiah dari intervensi militer AS selama 20 tahun di Afghanistan adalah korban tewas dan terluka puluhan ribu warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak, peningkatan 40 kali lipat penanaman narkotika dan aktivitas kelompok teroris Daesh (ISIS) di sejumlah wilayah Afghanistan. Faktanya transformasi dua dekade terakhir menunjukkan bahwa insiden mencurigakan 11 September sebuah alasan untuk menerapkan hegemoni militer Washington di Asia Barat.

Dalam reaksi pertamanya terhadap insiden 11 September, Presiden AS George W. Bush mengidentifikasi Osama bin Laden dan al-Qaeda sebagai pelaku utama dalam serangan teroris di Amerika Serikat. Amerika mengumumkan bahwa mereka akan menduduki seluruh Afghanistan jika perlu untuk menangkap bin Laden. Menyusul penolakan permintaan AS oleh Taliban untuk mengekstradisi bin Laden, negara itu memulai persiapan untuk serangan militer skala besar terhadap Afghanistan yang disebut "Perang Melawan Terorisme."

Dewan Keamanan PBB setelah insiden 11 September merilis dua resolusi n0 1368 dan 1373. Namun resolusi ini tidak mengizinkan invasi ke Afghanistan. Resolusi 1373 menganggap terorisme sebagai masalah internasional dan menekankan perlindungan terhadap rakyat Afghanistan, dan Resolusi 1368 dikeluarkan terkait pembentukan pasukan ISAF untuk menjamin perdamaian dan keamanan di Afghanistan, tentu saja, beberapa minggu setelah invasi AS ke Afghanistan. Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB tidak mengizinkan Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan secara militer.

Mempertahankan legitimasi invasi ke Afghanistan, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan izin perang Dewan Keamanan PBB, karena invasi ke Afghanistan didasarkan pada hak untuk membela diri berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan wewenang kepada negara-negara anggota untuk melakukannya selama Dewan Keamanan belum mengambil tindakan yang tepat untuk memulihkan perdamaian dan keamanan dalam keadaan perang; Untuk "membela" diri mereka sendiri.

Bin Laden

Negara-negara anggota juga memiliki wewenang untuk membela diri dengan segera dan wajar terhadap agresi militer oleh kekuatan lain dan tidak menunggu keputusan dan tindakan Dewan Keamanan yang mendesak. Sementara itu, pemerintah Taliban dan tidak ada warga negara Afghanistan yang terlibat dalam serangan 11 September, dan serangan 9/11 dilakukan oleh warga negara Saudi yang memiliki hubungan hangat dengan Amerika Serikat.

Faktanya, kebijakan luar negeri AS di Afghanistan sebelum runtuhnya Uni Soviet sangat dipengaruhi oleh negara ini dan ketakutan akan penyebaran komunisme. Dengan runtuhnya Uni Soviet, semacam kebingungan merayap ke dalam kebijakan luar negeri Amerika. Amerika Serikat tidak lagi melihat dirinya sebagai saingan dan berusaha membangun tatanan baru, seperti yang berulang kali diucapkan oleh George W. Bush. Insiden yang mencurigakan dari 9/11 mengatur panggung untuk hal ini terjadi.

Peristiwa ini merupakan akhir dari masa transisi dalam sistem internasional, karena dengan menciptakan musuh baru yang disebut terorisme, membuka jalan bagi AS untuk mengeksploitasi musuh yang dibuat sendiri ini, dan untuk campur tangan dalam sistem internasional. Insiden 11 September, bagaimanapun, mencoreng citra pemerintah AS, baik di dalam maupun di luar negeri; Namun dengan arah baru dalam politik luar negeri pemerintah ini, menciptakan kondisi khusus bagi kaum konservatif di Amerika Serikat untuk mengejar tujuan hegemonik mereka dengan menggunakan kekuatan militer.

Amerika Serikat berusaha menjadikan terorisme bukan hanya sebagai masalah kebijakan luar negeri, tetapi juga masalah keamanan nasional; Karena itu, ia mencoba membentuk aliansi dengan berbagai negara. Dengan demikian, perang melawan terorisme menjadi fokus kebijakan luar negeri AS. Kebijakan kontra-terorisme telah memberikan kesempatan kepada para pemimpin AS untuk merumuskan strategi yang sejalan dengan kepentingan AS di era keamanan baru.

Perkembangan internasional setelah insiden 11 September membuka jalan bagi Amerika Serikat untuk mengubah kebijakan luar negerinya menjadi pendekatan yang agresif. Di bawah slogan memerangi terorisme, Amerika Serikat telah mengangkat saingan lamanya Rusia dan saingan barunya seperti Cina, Uni Eropa dan India di bawah slogan panjinya.

Meski sejumlah negara bersedia bergabung dengan koalisi ini setelah menerima konsesi, tapi Amerika mampu memantapkan hegemoninya di koalisi ini. Selain itu, fenomena terorisme telah memunculkan definisi baru dari beberapa konsep kebijakan luar negeri AS dalam kaitannya dengan musuh baru. Intervensi militer AS di Afganistan, yang bertentangan dengan tujuan pemberantasan terorisme, mewujudkan stabilitas, keamanan, kemakmuran, dan demokrasi, tidak hanya tidak memperbaiki situasi bagi rakyat negara ini, tetapi juga meningkatkan perang dan ketidakamanan, terutama kegiatan teroris dan kelompok takfiri. Dan itu juga telah menyebabkan perdagangan narkoba, pengangguran, korupsi, dan Taliban mendapatkan kembali kekuasaan. 

Pemboman rumah warga Afghanistan oleh AS

Leslie Vinjamuri, seorang peneliti di lembaga think tank Chatham House, percaya bahwa krisis kemanusiaan diperburuk oleh intervensi militer AS di Afghanistan dan penarikan yang tidak bertanggung jawab dari negara itu, telah melemahkan kredibilitas dan komitmen Amerika Serikat dan Eropa untuk mendukung demokrasi dan kemanusiaan. Vinjamuri tidak hanya tidak menganggap Amerika Serikat sebagai pemenang perang di Afghanistan, tetapi juga percaya bahwa pada akhirnya, justru Taliban yang memenangkan perang melawan Amerika Serikat dan sekutunya, dan Barat tidak dapat mengalahkan kelompok itu.

Biaya perang ini sangat besar di berbagai dimensi. Vinjamuri meyakini bahwa pengalaman perang di Afghanistan kemungkinan besar akan memberi dampak kekal bagi pandangan Washington terkait perannya di dunia, khususnya pengobaran perang dan pemanfaatan opsi militer. Setelah ini, pasukan AS hanya akan ditempatkan di mana ada tujuan yang dapat dicapai dan kepentingan vital AS yang dipertaruhkan, yang berarti bahwa di abad baru,  kita akan melihat awal dari penurunan hegemoni politik, keamanan, dan militer AS.

 

Tags