Jun 28, 2016 11:54 Asia/Jakarta

Sunnatullah yang berjalan di alam ini menetapkan bahwa di antara segala sesuatu, ada sesuatu yang diunggulkan karena kelebihan yang dimilikinya. Di antara 12 bulan, ada bulan unggulan yaitu bulan Ramadan dan di antara malam-malam di bulan itu, ada malam Lailatul Qadar yang memiliki keistimewaan dan keagungan khusus.

Rasul Saw bersabda, “Allah memilih manusia di antara semua makhluknya, memilih para nabi di antara semua manusia, memilih Mekah dan Madinah di antara semua tempat, memilih bulan Ramadan di antara semua bulan, memilih malam Lailatul Qadar di antara semua malam, dan memilih hari Jumat di antara semua hari sebagai Sayyidul Ayyam (hari yang paling mulia).

 

Malam Lailatul Qadar adalah malam diturunkannya al-Quran dan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Para pemuka agama mengajarkan banyak amalan untuk sepanjang bulan Ramadan khususnya malam Lailatul Qadar, dan salah satunya adalah menghidupkan malam yang agung ini. Menghidupkan malam Lailatul Qadar memberikan banyak manfaat bagi manusia, seperti yang disebut dalam sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar, maka hatinya tidak mati pada hari (Hari Kiamat) ketika semua hati mati.” (Iqbal al-Amal)

 

Para pemuka agama senantiasa menjalankan tradisi mulia ini dan mereka berebut berkah malam Lailatul Qadar. Rasulullah Saw tidak hanya pada malam Lailatul Qadar, tapi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan beliau menyibukkan diri dengan ibadah dan melipat tempat tidurnya. Dalam riwayat disebutkan, Rasul Saw pada malam ke-23 Ramadan, membangunkan anggota keluarganya dan memercikkan air di wajah mereka agar terjaga dan tidak kehilangan malam Lailatul Qadar. Fatimah az-Zahra as juga meminta seluruh anggota keluarganya untuk tidur siang dan mengurangi makan di malam hari sehingga mereka tidak ngantuk pada malam ke-23, dan berkata, "Manusia yang kehilangan ialah orang yang tidak memperoleh kebaikan dan keutamaan malam ini."

 

Mengenai malam Lailatul Qadar, cendekiawan Muslim Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Puncak spiritual bulan Ramadan adalah malam Lailatul Qadar. Kita selama menjalani ibadah puasa paling tidak sudah berbuat sesuatu hingga bisa hadir sebagai seorang tamu di malam Lailatul Qadar. Berpuasa, mengekang hawa nafsu, berzikir kepada Allah, memperbanyak doa, dan memperbanyak membaca al-Quran, semua ini merupakan persiapan sehingga pada malam Lailatul Qadar kita bisa menghadirinya sebagai seorang tamu dalam jamuan rahmat Allah. Selama perjamuan itu, kita harus bertaubat, bertekad untuk kembali, dan beristighfar, kita harus memohon rahmat dari Allah, meminta kebahagiaan untuk diri kita, untuk saudara-saudara seiman, untuk kaum Muslim, (dan hal yang lebih penting) kita harus memohon perbaikan diri.”

 

Menghidupkan malam Lailatul Qadar akan bermakna ketika manusia benar-benar tersadar di malam itu, yakni memiliki kehidupan spiritual dengan cara mengingat Allah Swt. Manusia dianggap hidup ketika hati mereka senantiasa mengingat Allah dalam berbagai kondisi. Malam Lailatul Qadar merupakan sebuah kesempatan untuk mengingat Allah sepanjang malam, menyatakan taubat, dan memohon ampunan.

 

Ramadan adalah bulan dengan sejuta kebaikan dan berkah, bulan turunnya rahmat, dan bulan perjamuan Ilahi, sebuah perjamuan di mana Sang Pencipta bertindak sebagai tuan rumah, para nabi sebagai penyambut tamu, dan para malaikat sebagai pelayan hidangan. Di bulan ini, kaum Mukmin berlomba-lomba untuk mencari keridhaan Allah Swt. Keridhaan ini tentu saja tidak akan diraih kecuali dengan keimanan, amal saleh, dan cinta pada perbuatan baik. Semua anugerah ini juga ada di tangan Allah. “Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.” (Surat Hud, ayat 88)

 

Sebuah kisah menyebutkan bahwa aku memiliki seorang pembantu yang tinggal bersamaku di rumah. Suatu malam aku terjaga dari tidur dan aku tidak melihatnya di tempat tidurnya. Aku lalu pergi mencarinya dan menyaksikan ia sedang bersujud sambil berdoa. Dalam doanya ia berkata, “Ya Tuhanku! Ampunilah dosa-dosaku karena kecintaan-Mu kepadaku.” Aku kemudian berkata kepadanya, “Jangan berseru seperti itu, tapi katakanlah; ‘Ya Tuhanku! Ampunilah dosa-dosaku karena kecintaanku kepada-Mu.’” Pembantunya lalu menjawab, “Tuhan mencintaiku, Dia mengeluarkanku dari kufur menuju Islam dan membangunkanku di tengah malam untuk beribadah, sementara banyak dari hamba-hamba-Nya nyenyak dalam tidur.”

 

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman kepada kekasih-Nya, Muhammad al-Mustafa, “Sampaikanlah pesan ini kepada hamba-hamba-Kuyang Mukmin, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku sehingga Allah mengasihi kalian.” (Surat Ali Imran, ayat 31). Oleh karena itu, parameter kejujuran pengakuan tentang cinta dan kesetiaan terletak pada ketaatan dan ibadah. Ketaatan yang besar akan membangkitkan kecintaan yang besar pula dan mereka akan terlihat lebih jujur dalam pengakuannya.

 

Ketika seorang hamba mencapai sebuah derajat makrifat dan jika ia tahu bahwa Allah Swt rela dengan amal perbuatannya, maka keridhaan itu lebih berharga baginya daripada surga dan nikmat-nikmat abadinya. Al-Quran menyebut keridhaan Allah dengan kata Ridhwan, yaitu Maha Meridhai. Ulama tafsir kontemporer Allamah Thabathabai ketika menafsirkan makna keridhaan Allah menulis, “Pengetahuan manusia tidak mampu memahami keridhaan Allah dan batasannya, karena keridhaan-Nya tidak terbatas dan tidak terukur sehingga manusia bisa memahaminya. Dan mungkin untuk memberi pemahaman tentang poin ini bahwa derajat keridhaan Tuhan yang paling rendah betapa pun ia kecil, tapi tetap lebih besar dari surga; yaitu kebahagiaan dan keberuntungan terbesar bagi seorang pencinta Tuhan adalah meraih keridhaan dan kerelaan Sang Kekasih,tanpa mencari kepuasan diri.”

 

Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa seorang alim dari Bani Israil selama bertahun-tahun menyibukkan dirinya dengan ibadah. Dalam sebuah mimpi ia mendengar bisikan yang berkata, “Perempuan itu akan jadi temanmu di surga kelak. ”Keesokan harinya, ia mulai mencari perempuan yang dimaksud dan menemukannya. Si alim menjamu perempuan itu selama tiga hari untuk mengetahui apa yang dikerjakannya hingga bisa bersanding dengannya di surga. Namun, si alim terkejut menyaksikan kalau ia hanya seorang perempuan biasa. Saat seorang ahli ibadah terjaga di malam hari, ia justru tertidur pulas, saat seorang ahli ibadah berpuasa di siang hari, ia malah makan seperti biasa. Ia juga tidak terlihat melakukan pekerjaan khusus.

 

Setelah menyaksikan itu semua, si alim kemudian bertanya, “Apakah engkau melakukan pekerjaan lain selain yang aku saksikan di sini?” Perempuan itu menjawab, “Tidak, demi Tuhan pekerjaanku hanya ini seperti yang engkau lihat.” Orang alim itu meminta agar ia mengingat-ingat semua perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Namun, perempuan itu berkata, “Aku tidak berbuat sesuatu yang istimewa, tapi aku selalu rela dengan keridhaan Tuhan, jika sedang dalam kondisi sulit, aku tidak memimpikan kemudahan, jika aku sedang sakit, aku tidak mengharapkan kesembuhan, dan jika aku dalam masalah, aku tidak meminta kelapangan.” Si alim kini mengerti dan berkata, “Aku bersumpah demi Allah! Sifat ini adalah sebuah sifat yang besar dan banyak orang tidak memilikinya.”

 

Pada bulan Ramadan, pintu rahmat Allah Swt terbuka lebar-lebar untuk manusia. Salah satu karunia Ilahi yang sangat agung adalah menjamu para hamba-Nya di bulan ini. Dia membawa manusia ke gerbang penyucian jiwa dan setiap individu memperoleh keuntungan dari Ramadan sesuai dengan kadar pengetahuannya.

 

Dikisahkan, pada suatu hari seorang pelanggan datang ke tempat tukang cukur untuk merapikan rambut dan mencukur kumisnya. Si tukang cukur mulai bekerja dan seperti biasa memulai pembicaraan sehingga suasana menghangat. Mereka berbicara tentang berbagai topik, sehingga sampailah diskusi tentang Tuhan. Si tukang cukur berkata, “Saya tidak percaya Tuhan itu ada.” Si pelanggan berkata, “Kenapa engkau berkata seperti itu?” Si tukang cukur menjawab, “Coba engkau perhatikan keadaan di jalanan di depan sana, itu sudah cukup membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika Dia itu memang ada, tentu tidak ada orang yang sakit, tidak ada anak yang terlantar, dan tidak akan ada kemiskinan atau kesusahan.”

 

Si pelanggan terdiam dan tidak menanggapi bantahan tersebut, pikirnya tidak ada gunanya berdebat bila tidak ada dalil dan bukti yang kuat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya. Setelah pelanggan membayar dan beranjak meninggalkan tempat itu, tepat di balik pintu keluar si pelanggan melihat seseorang dengan rambut panjang acak-acakan, kotor, dan janggut tidak terawat. Orang itu terlihat kotor dan jorok.

 

Si pelanggan menghampiri tukang cukur itu lalu berkata, “Maaf tuan, menurut saya, tukang cukur itu juga tidak ada!” Si tukang cukur membalas, “Bagaimana engkau bisa berkata seperti itu, sedangkan saya di sini dan baru saja selesai mencukur rambutmu?” Si pelanggan menyahut, “Tukang cukur itu tidak ada! Kalau tukang cukur itu memang benar-benar ada, tentu tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan janggut acak-acakan seperti pria di luar sana.”

 

Tukang cukur menoleh ke arah jalan dan menyaksikan orang yang dimaksud kemudian berkata, “Tukang cukur tetap saja ada! Jika engkau melihat orang seperti itu, itu adalah salah mereka sendiri. Kenapa mereka tidak datang ke saya? Tidak minta dicukur?” Si pelanggan menjawab, “Itulah yang saya maksud, saya setuju dengan tuan. Sesungguhnya Allah itu ada, akan tetapi kebanyakan orang tidak mau mendatangi-Nya, tidak mau mencari-Nya, tidak mau meminta tolong kepada-Nya. Oleh karena itu, banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini.”

Tags