Nov 23, 2022 19:37 Asia/Jakarta
  • Trump, Biden dan Taliban
    Trump, Biden dan Taliban

Pendudukan AS di Afghanistan selama 20 tahun tentunya memiliki beragam dampak bagi negara ini, salah satunya adalah peran AS dalam menciptakan korupsi sistematis di Afghanistan.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Afghanistan selama 20 tahun pendudukan AS (2001-2021) adalah keberadaan pemerintah yang lemah dan tidak efesien di Kabul. Meski selama Konferensi Bonn (September 2001) yang digelar untuk membentuk sistem politik di Afghanistan, sejak saat itu telah ditekankan demokrasi dan partisipasi tepat seluruh etnis dan partai politik Afghanistan, namun mengingat konteks etnis di negara tersebut, etnis Pashtun dengan mengklaim sebagai etnis unggul (menurut persepsi mereka), tidak tertarik akan partisipasi etnis Tajik, Uzbek, Hazara dan seluruh etnis lainnya di posisi strategis.

Friksi yang disebabkan oleh kecurangan dalam pemilihan presiden 2009 antara Hamid Karzai dan Abdullah Abdullah dan pemilihan 2014 dan 2019 antara Mohammad Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari arena politik Afghanistan yang benihnya ditanam oleh Amerika Serikat. Negara-negara di Konferensi Bonn, dan dengan cara itu telah melemahkan legitimasi pemerintah Afghanistan. Meskipun perbedaan-perbedaan ini tampaknya diselesaikan dengan campur tangan Amerika Serikat dan dengan memberikan posisi kelas dua non-Pashtun yang tidak termasuk dalam konstitusi, mereka selalu menjadi tulang dalam luka dan mencegah pembentukan pemerintahan yang bersatu dan koheren dalam arti nyata di negeri ini.

Adanya korupsi sistematis dalam pemerintahan Kabul dan pemanfaatan kelemahan ini oleh Taliban sebenarnya merupakan salah satu masalah terpenting di Afghanistan, yang tidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapi umpan baliknya juga terlihat di militer, bidang ekonomi dan budaya. Korupsi ini menyebabkan kecurangan dalam berbagai pemilu, taraf hidup para penguasa sangat berbeda dengan mayoritas rakyat, dan suap serta permainan partai terlihat di pemerintahan bahkan di badan militer dan keamanan. Korupsi ini menyebabkan orang-orang di beberapa kota beralih ke hakim Taliban untuk menyelesaikan masalah hukum mereka dan meminta bantuan mereka untuk menyelesaikan masalah mereka.

Oleh karena itu, dengan meluasnya serangan Taliban di berbagai wilayah negara bersamaan dengan penarikan pasukan asing, kurangnya perlawanan terhadap Taliban dan bahkan penyambutan terhadap kelompok ini terlihat di beberapa kota. Michael McKinley, mantan duta besar AS untuk Afghanistan (dari 2014 hingga 2016), mengakui selama wawancara dengan kantor berita Amerika pada tahun 2021: Amerika Serikat tidak berbuat banyak untuk menangani korupsi di Afghanistan. Washington dengan sadar bekerja sama dengan tokoh-tokoh pemerintah dan militer senior Afghanistan yang bertanggung jawab untuk menciptakan dan melanggengkan korupsi.

Amerika percaya bahwa setelah meninggalkan Afghanistan, pasukan militer Afghanistan akan mampu bertahan selama 6 bulan atau bahkan 9 bulan dan mempertahankan struktur politik, instalasi militer penting dan kota-kota besar tanpa dukungan militer Amerika, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa keunggulan ini adalah hanya di atas kertas dan pasukan keamanan militer dan nasional Afghanistan, meskipun memiliki peralatan yang lebih canggih daripada Taliban, gagal melindungi Kabul. Dengan kata lain, meskipun Amerika Serikat mengumumkan telah menghabiskan 88 miliar dolar untuk memperlengkapi dan melatih pasukan keamanan dan militer Afghanistan dan bahwa pasukan ini dapat mengatasi konflik dengan Taliban, tetapi penyerahan mereka kepada Taliban menunjukkan bahwa gambaran yang disebutkan terkait tingkat kekuatan dan kemampuan pasukan keamanan Afghanistan oleh Amerika tidak lebih dari sebuah ilusi.

Banyak komandan menyerahkan kota demi kota kepada Taliban tanpa perlawanan apa pun. Ketika pasukan asing mulai mengevakuasi pangkalan mereka, perang psikologis negatif dimulai melawan pasukan keamanan Afghanistan, dan akhirnya, dengan kaburnya Ashraf Ghani, mereka juga tidak punya alasan untuk melawan Taliban.

Salah satu alasan terpenting yang menyebabkan rakyat dan militer serta pasukan keamanan menyerah kepada Taliban tanpa konflik dan perlawanan bahkan pergi menyambut Taliban di beberapa kota adalah mereka melihat korupsi para negarawan dan pemimpin negara serta kelelahan mereka dari perang, ketidakamanan dan kemiskinan, kurangnya pemerintahan yang koheren dan tidak adanya struktur politik dan kepemimpinan yang independen selama dua dekade pendudukan Amerika di Afghanistan.

Pasca Konferensi Bonn tahun 2001, setiap kali ada pembicaraan tentang pembentukan pemerintahan nasional dengan kehadiran semua pemimpin etnis dan pemimpin jihad di Afghanistan, AS dengan berbagai jalan, dengan memprovokasi pemimpin berbagai etnis dan memberi suap beberapa puluh juta dolar kepada pemimpin etnis, mengubah alur pemilu secara penuh demi keuntungannya, dan ini secara praktis pemerintahan nasional dan sentral dengan kebijakan satu serta mengakomodasi seluruh etnis di Afghanistan gagal terbentuk. Hal ini karena, terbentuknya sebuah pemerintahan yang solid, kuat dan bersatu akan merusak perimbangan dan kepentingan AS di Afghanistan.

Pada pemilu 2014, setelah Abdullah memprotes hasil pemilu dan mengumumkan kemungkinan pembentukan pemerintahan paralel, Departemen Luar Negeri AS secara terbuka menentang masalah ini, dan John Kerry, Menteri Luar Negeri AS saat itu, melakukan perjalanan ke Afghanistan untuk mendirikan pemerintahan persatuan nasional di Afghanistan yang hanya diluarnya saja. Namun, pemerintah persatuan nasional, yang seharusnya berlangsung selama dua tahun dengan amandemen konstitusi dan undang-undang pemilu serta perubahan sistem politik dari presiden menjadi kanselir dan pengangkatan perdana menteri, bertahan lebih dari 5 tahun dan selama lima tahun tersebut tidak hanya ketentuan perjanjian yang tidak diperhitungkan, namun kekuasaan justru jatuh ke tangan kubu Ashraf Ghani.

Stratifikasi dan etnosentrisme Ashraf Ghani adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Situasi ini menyebabkan pemerintah Kabul mengalami fragmentasi dan perpecahan, dan dalam menghadapi masalah dan tantangan besar, keselarasan dan kebulatan suara tidak dapat diamati di dalam pemerintahan Afghanistan. Pada pemilu Oktober 2019, akibat kecurangan pada putaran keempat pemilihan presiden Afghanistan, pengumuman hasil akhir memakan waktu 5 bulan, dan akhirnya Ashraf Ghani diumumkan sebagai presiden Afghanistan.

Sementara itu, Abdullah Abdullah, saingan Ashraf Ghani dalam pemilu, menganggap hasil itu ilegal. Namun akhirnya, setelah beberapa waktu dan dengan mediasi beberapa tokoh politik Afghanistan dan tekanan Amerika, kesepakatan politik antara Ghani dan Abdullah ditandatangani pada awal Mei 2020, dan Abdullah diperkenalkan sebagai ketua Dewan Tinggi Rekonsiliasi Nasional. Peran yang diemban Abdullah bukanlah peran eksekutif dalam semua urusan pemerintahan, tetapi ia memiliki inisiatif program perdamaian pemerintah.

Menurut rencana pembentukan "pemerintahan transisi perdamaian", pemerintahan transisi perdamaian di Afghanistan seharusnya dibentuk setelah penandatanganan kesepakatan antara faksi dan pihak Afghanistan; Oleh karena itu, struktur pemerintahan Kabul dan konstitusi negara diubah secara umum, dan konstitusi baru ditulis oleh pemerintahan transisi ini di bawah pengawasan Dewan Fikih. Ini terjadi saat semua perbedaan ini dipantau oleh Taliban dan mereka menerapkan strategi mereka berdasarkan celah di Kabul. Adanya perbedaan dan perpecahan di antara anggota pemerintah Afghanistan dalam pembicaraan Doha antara pihak Taliban dan pihak Afghanistan berdampak penuh pada posisi mereka terhadap Taliban, dan kelompok ini, dengan menggunakan masalah ini, menolak untuk menerima komitmen gencatan senjata dan memajukan negosiasi intra-Afghanistan.

Sehubungan dengan hal ini, Sher Mohammad Abbas Stanikzai, wakil Biro Politik Taliban, berkata: "Anda berbicara tentang pemerintah, dari sudut pandang kami tidak ada pemerintah sama sekali di Afghanistan. Pemerintahan yang diciptakan oleh Amerika adalah pemerintahan yang korup, dan tidak pernah dapat mewakili rakyat Afghanistan. Kata-kata Ashraf Ghani ditolak tidak hanya oleh kelompok etnis dan partai politik di negara itu, tetapi juga oleh menteri kabinetnya. Pemerintahan ini tidak memiliki kemampuan untuk berbicara dengan siapa pun atas nama dari Afganistan.

Upaya penyelesaian politik krisis Afghanistan dan pembicaraan terus-menerus antara AS dan para pemimpin politik Afghanistan dengan Taliban, di permukaan, meningkatkan optimisme untuk mengakhiri perang saudara di negara ini. Namun Taliban tidak hanya menolak untuk bernegosiasi dengan pemerintah Afghanistan, tetapi dengan meninggalkan pemerintah Afghanistan dan bernegosiasi dengan para pemimpin politik Afghanistan, mereka bersikeras pada pandangan mereka bahwa pemerintah Kabul adalah boneka, dan akhirnya berhasil menaklukkan Kabul dan berhasil mendirikan sebuah pemerintahan dari etnis Pashtun, yang kali ini dengan klaim pemerintahan agama berdasarkan fikih Ahlu Sunnah Mazhab Hanafi. Sementera di beberapa abad lalu pemerintahan Pashtun di Afghanistan berbentuk monarki.

 

Tags