Pesona Iran yang Mendunia (30)
Abu Said Abul Khair adalah sufi, ahli hadis dan sastrawan terkemuka Khorasan abad kelima Hijriah. Arif besar ini dilahirkan tahun 357 Hijriah atau 967 Masehi di desa Meyhaneh, yang dahulu bagian dari Khorasan Raya. Beliau wafat di tanah kelahirannya pula tahun 440 Hijriah atau 1048 Masehi di usia 81 tahun.
Abu Said mengenyam pendidikan dasar di desa kelahirannya Meyhaneh, kemudian melanjutkan pendidikan Islam di kota Nishapur. Abu Said mempelajari berbagai studi Islam dari al-Quran, hadis fiqih, hingga sastra Arab. Namun minatnya yang besar terhadap tasawuf membawa Abu Said melakukan perjalanan ke berbagai kota kecil di sekitar provinsi Khorasan untuk mengunjungi para sufi dan guru tasawuf.
Perjalanan intelektual dan karya sufistik Abu Said bersumber dari buku Asrar al-Tauhid (Rahasia Tauhid) yang ditulis salah seorang cucunya bernama Mohammad Ibn Monavvar, sekitar 130 tahun setelah kematiannya. Buku berbahasa Farsi ini menjadi referensi penting tentang catatan hidup Abu Said Abul Khair dari berbagai sumber dan berisi kumpulan kata-katanya. Meskipun Abu Said seorang sufi, tapi kehidupannya seperti masyarakat awam, dan beliau senantiasa mengingatkan masyarakat supaya terus-menerus mengingat Allah swt.
Sebuah hikayat dari buku Asrar al-Tauhid, menjelaskan, "Seseorang berkata kepada Sheikh: Ada orang yang bisa berjalan di atas air. Sheikh menjawab: Itu mudah, burung kecil saja bisa. Ia kembali berkata: Ada yang bisa terbang di udara. Sheikh menjawab: lalat saja bisa terbang. Ia kembali berkata: Ada orang yang bisa berpindah seketika dari satu kota ke kota lain. Sheikh menjawab: setan juga bisa melakukannya. Hanya dalam satu tarikan nafas bisa berpindah dari timur ke barat. Semua itu tidak bernilai. Manusia adalah yang berada di antara makhluk dan bangkit serta melayani dan berinteraksi di pasar dengan sesama makhluk lainnya. Manusia belajar dalam keadaan apapun tidak pernah melupakan Allah swt."

Abu Said berinteraksi dengan seluruh kalangan masyarakat. Oleh karena itu, semua orang dari berbagai lapisan masyarakat mencintai beliau. Abu Said juga bersikap baik terhadap non-Muslim. Bahkan beliau bersikap baik terhadap orang-orang yang berperilaku buruk sekalipun. Semua orang, dari berbagai latar belakang dan perilaku yang beraneka ragam diperlakukan dengan baik oleh Sheikh Abu Said. Sifat terpuji yang ditunjukkan Abu Said dalam kehidupan sehari-harinya memberikan pengaruh besar terhadap orang lain.Tidak sedikit orang yang berubah menjadi orang baik, karena nasehat Abu Said.
Sheikh Abu Said memberikan nasehat dengan cinta dan keteladanan yang baik. Terkait hal ini, kitab Asrar al-Tauhid menjelaskan, "Suatu waktu Sheikh berada di Nishapur dan mengunjungi pemakaman. Kemudian tiba di makam Aulia Allah. Sebagian orang terlihat membunyikan alat musik. Lalu para sufi datang dengan raut marah, dan berniat menindak mereka.Tapi Sheikh [Abu Said] tidak mengizinkannya. Ketika itu, Sheikh mendekati mereka, seraya berkata, "Allah senantiasa membahagiakan kalian di dunia ini dan dunia lain". Mendengar perkataan Sheikh, semua orang berdiri dan bersimpuh. Mereka meletakkan alat musik yang dibunyikannya dan bertaubat. Semua itu berkah Sheikh,".
Para peneliti menjelaskan karakteristik Sheikh Abu Said yang jarang dimiliki oleh para sufi lainnya. Salah satunya adalah sifatnya yang terbuka terhadap orang lain dan menerima manusia dari berbagai latar belakang yang beraneka ragam. Menurut Sheikh Abu Said, seorang sufi harus selalu terbuka dan mengendalikan keadaan dirinya. Ketika menghadapi masalah yang menyebabkan seseorang terjebak dalam kesempitan hidup, ia harus mengubah kondisi batinnya supaya berlapang dada dengan menziarahi makam Aulia Allah swt atau menyendiri di gurun, maupun berdialog dengan orang lain.
Sifat mulia lainnya yang dimiliki Abu Said adalah kasih sayangnya yang besar kepada orang lain. Berdasarkan penjelasan dalam kitab Asrar al-Tauhid, seluruh kehidupan Sheikh Abu Said dicurahkan untuk membantu orang lain, dan memecahkan permasalahan mereka. Kitab Asrar al-Tauhid menjelaskan, "Ketika beliau ditanya, apa jalan makhluk kepada Hak ? Beliau menjawab: Setiap butir zarah merupakan jalan makhluk menuju Hak. Tapi tidak ada yang lebih dekat dan lebih ringan dari pada menyenangkan hati sesama Muslim. Kami menempuh jalan ini dan aku mewasiatkan juga kepada kalian."
Karakteristik utama lainnya dari Sheikh Abu Said Abul Khair adalah keikhlasannya. Beliau sangat membenci sifat riya. Beliau hidup alakadarnya dan tidak nmenonjolkan diri sebagai seorang sufi. Sheikh Abu Said meyakini riya sebagai sifat terburuk bagi manusia, terutama sufi. Semua orang dari pedagang hingga murid-muridnya mengenal beliau sebagai orang yang tidak menutup dirinya dengan topeng simbol maupun status sosial dan otoritas tertentu di tengah masyarakat. Ketika beliau menangis, beliau tidak malu untuk melakukannya di hadapan orang lain.

Sifat terpuji Sheikh Abu Said lainnya adalah menjauhi egoisme. Karakter inilah yang menjadi perhatian penting dalam ajaran tasawuf Sheikh Abu Said Abul Khair. Beliau sangat menekankan masalah tersebut dalam perbuatan dan perkataannya. Pada dasarnya prinsip Tasawuf dan Irfan Islam menurut Abu Said adalah "Tidak melihat diri, dan memandang diri hina,". Abu Said sendiri menjadi cermin dari hilangnya sekat antara "kami" dan "aku".
Sheikh Abu Said tidak pernah menggunakan kata "aku", dan menggantinya dengan kata "mereka". Beliau berkata, "Neraka ketika engkau menjadikan dirimu ada, dan [menjadi] surga ketika menjadikan dirimu tiada".
Para ahli menilai seluruh sifat buruk dari dengki, hasud dan berbagai sifat tercela lainnya bersumber dari egosentris. Melihat diri besar atau egoisme merupakan pangkal penyakit hati. Dalam kitab Asrar al-Tauhid, Sheikh Abu Said berkata, "Tirai antara hamba dengan Tuhan bukan bumi. Bukan juga Arsy, tapi aku dan ego. Oleh karena itu kembalilah kepada Tuhan".
Di usia muda, Sheikh Abu Said dikenal telah melakukan riyadah untuk menapaki jalan-jalan tasawuf demi menyempurnakan dirinya. Sejak kecil, Abu Said sering mengikuti ritual sufi yang diadakan ayahnya sendiri. Oleh karena itu, tasawuf bukan dunia yang asing bagi Abu Said. Dari keluarganya, ia mewarisi bekal sufisme. Sejarah mencatat, sebagian hidupnya dicurahkan untuk menempuh jalan sufistik dan melayani orang lain.