Pesona Iran yang Mendunia (73)
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.
Sebagian sejarawan menyebut nama filsuf Iran ini dengan nama Umar.Tapi para peneliti meyakini bahwa nama Umar yang dimaksud bukan Syeikh Isyraq, tapi Abu Hafs Umar Suhrawardi, seorang arif besar abad ketujuh Hijriah. Beliau adalah penulis buku Awarif Al-Maarif, yang kemudian dikenal dengan sebutan sebagai pendiri tariqat Suhrawardi.
Para ahli sejarah berbeda pandangan mengenai tahun kelahiran Syeikh Isyraq. Tapi kelahirannya diperkirakan antara tahun 545 Hq atau 1150 Masehi, hingga tahun 550 Hq, atau 1155 Masehi. Sebagian sarjana seperti Hossein Nasr dan Henry Corbin menyebutkan tahun kelahiran Syeikh Isyraq, yaitu tahun 549 Hq atau 1154 Masehi.
Secara umum kehidupan Sheikh Isyraq yang relatif singkat terbagi dalam tiga kategori. Pertama, periode ketika ia berada di Suhraward, yang merupakan sekuel dari masa kecil di tanah kelahirannya. Para ahli sejarah tidak banyak mengetahui jejak kehidupan masa kecil Suhrawardi.
Selama ini yang dibahas para sejarawan mengenai masa kecil Suhrawardi seputar perhatiannya mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan umum dan agama sejak di Suhraward. Selain itu, Suhrawardi belajar di bawah asuhan Sheikh Abd al-Rahman. Sejak masih belia, ia sudah menunjukkan kecerdasan dibandingkan teman-teman seusianya ketika menuntut ilmu di masa itu.
Kemudian, Suhrawardi meninggalkan tanah kelahirannya menuju Maragha untuk belajar hikmah kepada Sheikh Majd al-Din al-Jili. Periode ini disebut para sejarawan sebagai fase kedua kehidupan Suhrawardi. Ketika itu, ia menulis kitab berjudul “Al-Tanqihat fi Usul Al-Fiqh” atas permintaan teman, sekaligus muridnya. Sheikh Majd Al-Din Jili adalah penulis kitab “Al-Lam’ fi al-Syikl al-Rabi’ “ yang dikenal sebagai salah seorang tokoh ilmu kalam dan hikmah. Beliau juga merupakan salah seorang guru Fakh Al-Din Al-Razi, ahli tafsir abad keenam Hq, atau abad 12 dan 13 Masehi.
Ketika di Maragha, Suhrawardi pernah belajar bersama dengan Fakh Al-Din Al-Razi di bawah asuhan Sheikh Majd Al-Din Jili. Fakh Al-Din Al-Razi bersedih ketika mendengar kabar Suhrawardi meninggal dunia. Sewaktu mengambil buku Talwihat karya Suhrawardi, ia menetaskan air mata mengenang sahabat yang pernah menimba ilmu bersamanya.
Di tahun 574 Hq, Suhrawardi meninggalkan Maragha menuju Isfahan untuk menuntut ilmu dari ulama lain. Di Isfahan, ia berguru kepada Zahir Al-Din Al-Farisi, dan mempelajari kitab Al-Basair Al-Nasiriyah karya Umar bin Sahlan Sawi. Di Isfahanlah, Suhrawardi mengenal pemikiran Ibnu Sina. Para sejarawan mengungkapkan selama di Isfahan, Suhrawardi menulis kitab Risalah al-Thair, dan Bustan Al-Qulub.
Selanjutnya, Suhrawardi meneruskan perjalanan yang membawanya meninggalkan Isfahan setelah dua atau tiga tahun tinggal di kota penting Iran itu. Ia dikenal sebagai orang yang sangat menyukai traveling. Dalam perjalanan itu pulalah, Suhrawardi bertemu dengan para ulama dan arif, kemudian ia belajar kepada mereka.
Selama beberapa waktu, Suhrawardi bertemu dengan para sufi, dan ia pun sibuk dengan penyucian diri melalui berbagai wirid dan amalan tasawuf. Ketika itu, Suhrawardi menjalani kehidupannya dengan sangat ketat. Saat itu, ia meyakini latihan penyucian diri atau Riyadhah, sebagai jalan yang harus dilalui oleh pesuluk.
Shams al-Din al-Shahrazuri mengidentifikasi periode ini sebagai usaha Suhrawardi untuk memperoleh bimbingan spiritual. Selain itu, Suhrawardi sangat antusias untuk mengenal beragam mazhab pemikiran yang berkembang di masa itu. Ketika mengunjungi Anatolia, dia bertemu sejumlah guru sufi dan filsuf terkemuka. Salah satunya adalah filsuf paripatetik terkemuka bernama Fakhr al-Din al-Mardini.
Selain menguasai filsafat, Al-Mardini juga mempelajari berbagai displin ilmu seperti bahasa dan kedokteran. Ia menjadi guru terakhir Suhrawardi sebelum dieksekusi mati. Di bidang hikmah, Fakhr al-Din al-Mardini adalah murid Hakim Hamedani. Sedangkan di bidang kedokteran, ia berguru kepada Tilmidz Baghdadi. Hingga tahun 578 Hq Suhrawardi berada di Mardini dan melanjutkan persahabatannya dengan Fakh Al-Din Al-Mardini hingga tahun 578 Hq. Kemudian, Suhrawardi melanjutkan perjalanannya menuju Suriah hingga tiba di Aleppo di tahun 579 Hq.
Periode kedua kehidupan Suhrawardi berakhir dengan tibanya Suhrawardi di Aleppo. Masuknya Suhrawardi di Aleppo sebagai fase baru kehidupannya, sekaligus akhir perjalanan hidupnya. Ketika itu, ia berusia sekitar 30 tahun. Ia menulis buku Al-Masyari’ wa Al-Mutharahah. Selanjutnya di tahun 582 Hq, Suhrawardi menyelesaikan penulisan karya terpentingnya di bidang filsafat berjudul Hikmah Al-Isyraq.
Penulisan buku ini menyebabkan Suhrawardi terkenal hingga istana Seljuk. Ia pun hidup di lingkaran sumbu kekuasaan. Ketika itu ia menulis kitab yang dipersembahkan kepada Rokn Al-Din Sulaiman berjudul “Parto Nameh” dam buku lainnya berjudul Alwah Imadi yang dipersembahkan untuk Imad Al-Din Abu Bakar.
Di tahap ketiga yang merupakan periode akhir kehidupannya di Aleppo, Suhrawardi memasuki madrasah Halawiyah, kemudian memasuki madrasah Nuriyah. Di sana ia berdiskusi dan berdebat dengan fuqaha mazhab Hanbali. Tampaknya, Suhrawardi memiliki keunggulan dari mereka. Akhirnya, ia menjadi bahan pembicaraan di kota itu. Bahkan Malek Zahir, putra Salah Al-Din Al-Ayubi memanggilnya dan meminta Suhrawardi menjadi penasehat utama dirinya.
Kecerdasan dan luasnya pengetahuan serta kedalaman ilmu Suhrawardi menimbulkan permusuhan dari sebagian kalangan fuqaha. Lalu mereka menggelar pertemuan untuk mengadili Suhrawardi, karena pemikirannya yang mereka pandang sesat. Mereka meminta Malek Zahir menghukum mati Suhrawardi karena dianggap sesat. Tapi putra Salah Al-Din Al-Ayubi itu menolaknya.
Kemudian, fuqaha Aleppo menulis surat disertai tanda tangan mereka yang dikirimkan kepada Salah Al-Din Al-Ayubi. Ketika itu, Salah Al-Din Al-Ayubi baru saja merebut Suriah dari tangan pasukan Kristen. Untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai penguasa Islam di hadapan para ulama fiqih, akhirnya Salah Al-Din Al-Ayubi menerima permohonan mereka dan memerintahkan Malek Zahir membunuh Suhrawardi. Dengan berat hati, Malek Zahir mematuhi perintah ayahnya. Pada tahun 587 Hq, Suhrawardi dijebloskan ke penjara. Menurut Ibnu Syadad, pada hari Jumat akhir Dzulhijah 587 Hq, setelah shalat, tubuh Sheikh Suhrawardi yang tidak bernafas dikeluarkan dari penjara.