Pesona Iran yang Mendunia (78)
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.
Salah satu bagian dari karya Sheikh Isyraq berbentuk cerita metaforis dan rumus-rumus. Kategori dari karya Suhrawardi ini menjadi perhatian penting melebihi karya lain mengenai pengajaran untuk mengkaji keyakinan batinnya serta warna filsafatnya yang bercorak iluminatif.
Suhrawardi dalam karyanya ini memilih menggunakan metode tamsil dan terma simbolis untuk menjelaskan tujuan filsafat dan irfannya. Pemahaman terhadap metafor dan terma simbolis yang dipergunakan Suhrawardi dalam karyanya diperlukan untuk mencapai sebuah gambaran utuh mengenai sistem pemikirannya.
Terma simbolis yang dipergunakan dalam kitab-kitab Suhrawardi terdiri dari tiga kategori. Pertama, terma simbolik isyraqi yang berkaitan dengan cahaya dan kegelapan. Jenis kategori ini tidak banyak ditemukan dalam kitab-kitab Suhrawardi. Kedua, terma Khosravani yang berkaitan dengan istilah tentang Iran kuno. Adapun kategori ketiga adalah penggunaan terma simbolik yang merupakan terma kreasi imajinasi Suhrawardi sendiri.
Avaz Par Jibrail merupakan salah satu karya berbahasa Farsi dari Suhrawardi. Risalah ini diterjemahkan oleh Henry Corbin ke dalam bahasa Prancis dan diberi catatan. Kitab ini diterbitkan kembali dengan editing oleh doktor Mehdi Bayani. Terkait hal ini, Doktor Zabihollah Safa dalam bukunya “Sejarah Bahasa dan Sastra Iran” menyinggung risalah Avaz Par Jibrail.
Menurutnya, Metode penulisan yang dilakukan Shahabuddin dalam risalahnya ini sangat sederhana dan mudah dicerna. Sheikh menulis risalahnya secara metaforis dan simbolik dalam bentuk cerita disertai tanya jawab dengan intonasi biasa dan metode yang dekat dengan kondisi pembaca. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa karya ini merupakan contoh natural dari bahasa Farsi abad keenam yang berkembang di tengah masyarakat ketika itu. Keberadaan kata-kata bahasa Arab dan metode simbolik dalam kitab tersebut menyebabkannya sedikit terasa berat.
Dari nama judulnya saja, Avaz Par Jibrail, yang berarti senandung sayap jibril, menunjukkan sebuah rumus atau terma simbolis. Sebagian istilah yang dipergunakan dalam kitab tersebut menggunakan kata-kata yang sulit dipahami artinya.
Dalam kitab tersebut terdapat terma simbolik tradisional irfan dan sejumlah kata-kata khusus kreasi Suhrawardi sendiri yang tidak bisa ditemukan dalam buku-buku sufistik lama. Suhrawardi memulai risalahnya dengan nama Tuhan yang menunjukkan keyakinannya terhadap sumber dari segala sumber. Keyakinannya murni dan tulus, tanpa diwarnai oleh fanatisme maupun kepentingan tertentu maupun kontruk sosial yang membentuknya.
Risalah ini merupakan hikayat mengenai miraj ruhani Sheikh Isyraq. Dari isinya, Sheikh Isyraq seperti melakukan miraj ruhani dalam keadaan tidur, bukan ketika bangun.Sebelum memulai cerita, Suhrawardi mengungkapkan motifnya mengenai penulisan kitab tersebut. Menurutnya, latar belakang penulisan buku ini, karena pengingkaran salah seorang penentang sufi, terutama terhadap Khawaja Abu Ali Farmidi.
Seseorang bertanya kepada Khawaja Abu Ali Farmidi, “Mengapa pemakai pakaian gelap, yang meyakini sebagian suara adalah sayap jibril, dan kebanyakan sesuatu bisa dilihat dengan inderanya, adalah sayap jibrail ?”. Beliau menjawab, “Termasuk senandung sayap Jibril adalah kamu sendiri.”
Orang yang menolak ini terus mendesak untuk menanyakan apa maksudnya. Ia menyebut kata-kata itu tiada maknanya. Mendengar kata-kata tersebut, Suhrawardi mengatakan, “Kini aku menulis penjelasan tentang senandung sayap Jibril dengan itikad baja, pemikiran yang kuat dan menamai risalah ini dengan judul Senandung Sayap Jibril, supaya orang yang mengaku ahli di bidang ini bisa memahaminya,”.
Setelah menyampaikan pendahuluan pendek, Suhrawardi menjelaskan risalahnya dalam bentuk hikayat dari pernyataan penutur pertama, yang terjadi di malam itu. Jawaban tersebut dijelaskan dalam bentuk risalah yang berbobot.
Hikayat Avaz Par Jibrail terdiri dari dua bagian. Pertama, mengenai hakikat tentang kepergian Sheikh Isyraq ke Khaneghah yang memiliki dua pintu; satu pintu ke arah kota, dan satu pintu lainnya menuju sahara. Para pencari hakikat pergi menuju sahara. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan 10 orang yang teruji, dan ia melihat mereka dengan perasaan kagum dengan kemegahannya.
Tokoh cerita tentang seorang hakim yang dalam dirinya ada Nabi dan malaikat sebagai pembimbing menuju jalan hakikat. Ia ditanya di mana rumahnya? Ia juga ditanya tentang rahasia penciptaan, tingkatan thariqah, struktur tata surya, alam mujarad, dan lainnya. Dialog terjadi, dan tanya jawab berlangsung intens. Melalui cara ini, Suhrawardi mengajarkan unsur-unsur utama dari hikmah Isyraq dan adab thariqah yang dibutuhkan untuk memahami rahasia al-Quran.
Di bagian kedua cerita ini, sang murid yang menjadi tokoh cerita Suhrawardi, ingin mempelajari makna nama-nama agung dari gurunya. Sang guru sepakat dan yang pertama kali harus dilakukan adalah mengajarkan “Suku kata Aneh” kepada muridnya itu.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, sang guru mengajarkan suku kata aneh dan ilmu batin dari makna hurup dan kalimah yang mengandung makna rahasia di dalamnya. Kemudian, Tuhan mengajarkan kalimat seperti malaikat, dan kalimat A’la yang lebih agung dari malaikat, sebagaimana cahaya matahari lebih utama dari bintang. Manusiapun adalah kalimat dari Tuhan dan kepakan Jibrail.
Sayap Jibrail mengepak di angkasa dan bumi. Dunia ini adalah bayangannya. Barat tidak lain dari bayangan sayap kiri Jibrail, dan timur adalah bayangan sayap kanannya. Oleh karena itu, seluruh makhluk di dunia ini datang dari kepakan sayap Jibrail. Dengan kalimat dan sayap Jibrail manusia muncul, dan dengan asma ilahi menyempurna dan kembali menuju asalnya.
Suhrawardi menjelaskan basis epistemik pemikirannya yang berpijak dari hikmah ilahi melalui risalahnya, Avaz Par Jibrail. Dengan bertumpu pada terma simbolik syair tradisional dan prosa sufi, Suhrawardi menjelaskan mengenai perbedaan antara pengikut rasionalisme dan irfani.
Dari sini bisa dilacak motif dan faktor simbolisme Suhrawardi yaitu meningkatkan balaghah, potensi ucapan dan keindahan tutur disertai daya tarik maknawi serta ruhaninya bagi para murid dan pembaca karyanya. Kemahirannya inilah yang menjadi perhatian para ahli, dan memang ia layak untuk menyandang gelar hakim meski hidup dalam rentang waktu yang relatif singkat.