Des 23, 2018 15:51 Asia/Jakarta
  • Sheikh Shahab al-Din Suhrawardi
    Sheikh Shahab al-Din Suhrawardi

Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.

Salah satu bagian dari karya Sheikh Isyraq berbentuk cerita metaforis dan rumus-rumus. Kategori dari karya Suhrawardi ini menjadi perhatian penting melebihi karya lainnya untuk mengkaji keyakinan batinnya serta warna filsafatnya yang bercorak iluminatif.

Suhrawardi dalam karyanya ini memilih menggunakan metode tamsil dan terma simbolis untuk menjelaskan tujuan filsafat dan irfannya. Pemahaman terhadap metafora dan terma simbolis yang dipergunakan Suhrawardi dalam karyanya diperlukan untuk mencapai sebuah gambaran utuh mengenai sistem pemikirannya.

Risalah Lughat-i Moran merupakan karya lain Suhrawardi yang ditulis dalam bahasa Farsi. Kitab ini berulangkali naik cetak. Otto Spies dan Khatak melakukan editing disertai terjemahan Inggris karya tersebut, yang terbit dalam bentuk tiga risalah tasawuf.

Pada tahun 1935 M, teks Farsi risalah Lughat-i Muran disertai terjemah Prancis besutan Henry Corbin, diterbitkan di majalah Asia. Selain itu, Hossein Nasr melakukan notasi atas risalah Lughat-i Muran berdasarkan cetakan sebelumnya dan sebuah naskah tulisan tangan karya Suhrawardi yang berada perpustakaan nasional Iran.

Lughat-i Muran merupakan salah satu risalah berbahasa Farsi Sheikh Isyraq yang sangat kental warna sufistiknya. Suhrawardi menulis karya ini atas permintaan dari salah seorang sahabatnya. Risalahnya diberi judul “Lughat-i Muran” yang berarti bahasa atau dialog Muran.

Sheikh Isyraq memulai risalahnya dengan nama Allah swt dan Rasulullah Saw, yang menunjukkan keyakinan dan keimanannya terhadap ajaran Islam. Fanatisme mazhab dan kondisi sosial ketika itu menyebabkan Suhrawardi harus menyampaikan pandangannya dalam bentuk rumus dan terma simbolik yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam.

Dalam risalah ini, Sheikh Isyraq menampilkan sosok semut dalam kisahnya disertai dengan terma simbolik untuk menjelaskan jalan pesuluk. Kisahnya mengenai semut yang pergi ke bukit dan gurun. Banyak rintangan yang menghadang di hadapannya. Ia melakukan riyadhah yang sangat sulit. Semut ini terkadang berada di sebuah posisi dan kedudukan tertentu. Ia bertemu dengan pembimbing jalannya untuk mencapai keselamatan.

Risalah Lughat-i Muran juga bercerita tentang hewan lain selain semut sebagai tokohnya, antara lain: kura-kura, kelelawar, burung hud-hud dan lainnya yang datang mendekati Nabi Sulaeman as. Terjadi dialog intens, termasuk pertanyaan mengapa menghilang selama beberapa waktu lamanya. Selain itu, hikayat piala Keikhosravi, yang merupakan kinayah dari ketulusan hati arif, dan cerita perjumpaan dengan raja jin merupakan bagian dari perjalanan pesuluk yang dijelaskan Suhrawardi dalam kitab Lughat-i Muran.

Secara umum, subyek risalah mengenai suluk batin, jalan yang harus ditempuh pesuluk untuk melepaskan ketergantungannya terhadap dunia, dan metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Suhrawardi menggunakan beraneka ragam tamsil yang diceritakan dalam bentuk hikayat.

Seluruh risalah terdiri dari sembilan bagian. Di bagian kelima, Sheikh Isyraq menjelaskan empat cerita. Di bagian ini, terdapat rangkaian tamsil indah mengenai prinsip lahuti manusia, kegagalan mencerap hakikat, ketidakbermaknaan pengajaran orang-orang yang buta hatinya, penyebab manusia lupa terhadap asal dirinya. Suluk adalah jalan untuk mencapai alam trensenden dan piala Keikhosravi.

Sebab utama penggunaan terma simbolik dalam karya Suhrawardi adalah untuk meningkatkan balaghah, potensi ucapan dan keindahan tutur, disertai daya tarik maknawi serta ruhaninya bagi para murid dan pembaca karyanya. Selain itu, dengan terma simboliknya, Sheikh Isyraq bisa menumpahkan seluruh pemahamannya dan daya imajinasinya. Oleh karena itu, para ahli kesulitan untuk menentukan kaidah umum untuk memahami sistem simbolisme dalam pemikiran Suhrawardi.

Setiap terma simbolik yang dijelaskan Suhrawardi memilik makna khusus yang harus digali dengan penuh perhatian. Di sisi lain, kesalahan dalam memahami sistem simbol ini akan menyebabkan kegagalan untuk menyingkap sistem pemikiran filsafat dan irfan Sheikh Isyraq.

Salah satu karakteristik risalah Lughat-i Muran adalah menggunaan kata bahasa Farsi dan Arab yang disandingkan dalam deretan bait syair dan prosa yang disusunnya. Di bagain lain karyanya, Sheikh Isyraq tidak menyajikan syair sebagaimana dalam risalah Lughat-i Muran. Misalnya, di kitab Avaz-e Par Jibrail tidak ada satupun syair di dalamnya. Bahkan nama penyair juga dicantumkan dalam kitab Lughat-I Muran.

Karakteristik lain dari risalah Lugaht-i Muran adalah banyaknya ayat al-Quran dan juga bait-bait syair Arab yang dimasukkan dalam karyanya. Oleh karena itu, besarnya jumlah bait syair berbahasa Arab yang dimasukan dalam risalah Lughat-i Muran menyebabkan karya tersebut terkesan berat untuk dipahami.

Suhrawardi menulis risalah ini untuk orang-orang yang berbahasa Farsi seperti dirinya, tapi juga menguasai bahasa Arab. Dalam sebuah hikayat di kitab Lughat-i Muran, Suhrawardi menggunakan kata Farsi “Sang Push” dan kata Arab “Sulhafah” yang bermakna kura-kura.

Signifikansi risalah Lughat-i Muran tidak terletak pada kontennya, tapi pada penggunaan metode sastra, tamsil, penukilan syair dan pepatah untuk menjelaskan maksud irfani. Oleh karena itu, penggunaan terma simbolik filosofis relatif sedikit.

Sebagian dari cerita dalam risalah Lughat-i Muran memiliki kesamaan dengan hikayat  Persia. Terkait hal ini, pakar sastra Persia, doktor Mojtabaie dalam bukunya “Suhrawardi dan Budaya Iran Kuno” mengatakan, Risalah Lughat-i Muran memiliki kesamaan dengan sebagian cerita Budha dalam cerita Jataka.

Risalah Lughat-i Muran dimulai dengan percakapan beberapa semut mengenai tetesan embun. Ketika menyaksikan tetesan embun di pagi hari, mereka bertanya, dari mana asalnya ? Sewaktu melihat embun menguap ke udara menjelang siang, semut-semut itu berkesimpulan bahwa sumbernya adalah udara. Kemudian, Suhrawardi melanjutkan ceritanya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu asal usulnya kembali kepada cahaya, dan pemilik sejatinya adalah Tuhan.

Suhrawardi dalam hikayat kura-kura menceritakan tentang beberapa ekor kura-kura melihat seekor ayam di laut. Lalu mereka bertanya, apakah ayam ini datang dari air atau dari udara? Jika ayam tidak memerlukan air, maka ia bukan dari makhluk air. Oleh karena itu, ia bisa hidup di tempat yang tidak ada airnya.

Ketika ditanya oleh kura-kura tentang masalah tersebut, Hakim menjawab, “Selama hijab belum bisa disingkap, maka syuhud tidak bisa dicapai. Mutiara yang dihasilkan dari syuhud adalah makhluk dan baru.”

Kura-kura kembali bertanya kepada hakim, “Mutiara yang datang dari tempat, bagaimana bisa membutuhkan waktu dan arah?”.Hakim tidak menjawab pertanyaan kura-kura itu, tapi ia malah pergi meninggalkan mereka.

Suhrawardi dalam tamsil ini menjelaskan miraj Rasulullah Saw, dan pengalaman para sufi sejati dalam meraih hakikat dengan cara keluar dari tempat dan enam arah angin. Menurut Suhrawardi, menyingkap hijab dan meninggalkan tempat serta tidak perpengaruh arah angina, sebagai syarat untuk kembali ke asal. Kura-kura adalah tamsil dari orang-orang yang ketinggalan di jalan suluk, dan tidak memahami kata-kata hakim yang merepresentasikan pir Thariqat, dan akhirnya ia pun meninggalkannya.

Sejatinya, pemahaman terhadap sistem pemikiran filsafat Sheikh Isyraq tidak akan tercapai tanpa memahami simbol dan rumus-rumus filosofis, mitologi Iran kuno, tasawuf dan irfan. Dan inilah batu-bata yang membentuk hikmah Isyraq.