Jul 17, 2019 13:28 Asia/Jakarta
  • Para aktor yang terlibat dalam merancang prakarsa kompromi baru untuk Palestina.
    Para aktor yang terlibat dalam merancang prakarsa kompromi baru untuk Palestina.

Pada 2 April 1947, penjajah Inggris merasa sudah tidak mampu lagi mengatur Palestina akibat dampak Perang Dunia II dan perlawanan dari Dunia Arab. Kerajaan Inggris kemudian menyerahkan isu tersebut kepada PBB yang membentuk komisi khusus hingga lahirnya resolusi 181 Dewan Keamanan.

Komite beranggotakan 11 orang dibentuk untuk mengakhiri pertikaian dan dengan intervensi kekuatan-kekuatan Barat khususnya Inggris, usulan pembagian Palestina menjadi dua negara Yahudi dan Arab pun diterima.

Muslim Palestina dan seluruh umat Islam serta para penuntut kebebasan menentang resolusi tersebut. Mereka menentang prakarsa apapun yang akan memecah wilayah Palestina.

Pada masa itu, rezim Zionis meningkatkan aksinya merampas tanah-tanah warga Palestina dan mengusir satu juta orang Palestina dari tanah airnya. Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan resolusi 194. Ketentuan penting resolusi ini adalah perintah untuk memberikan kompensasi kepada para pengungsi dan mengizinkan mereka kembali ke rumahnya. Tetapi Zionis menolak menjalankan perintah masyarakat internasional ini.

Pada 2008, profesor ilmu politik di kampus-kampus Israel, Shlomo Avineri membuat sebuah pengakuan tentang resolusi 194 Dewan Keamanan. Dia mengatakan, "Resolusi ini secara praktis mengakui hak kepulangan warga Palestina, tetapi keadaan seperti itu tidak dapat diterima oleh para negosiator Israel."

Sejak awal terbentuk, Israel tidak mematuhi satu pun dari resolusi Dewan Keamanan dan rezim penjajah ini tercatat sebagai pelanggar terbesar resolusi-resolusi PBB. Di samping itu, banyak resolusi PBB gagal disahkan karena veto Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis yang mendukung rezim Zionis Israel.

Pasca Perang Enam Hari Arab-Israel pada 1967, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi 242 yang memerintahkan Israel untuk mundur dari wilayah yang didudukinya. Resolusi ini juga ditolak oleh Israel sehingga Dewan Keamanan mengadopsi resolusi 338 pada 2 Oktober 1973, dengan penekanan pada pelaksanaan pasal-pasal resolusi 242.

Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat ditengahi oleh Presiden AS Bill Clinton pada upacara penandatanganan Perjanjian Oslo, 13 September 1993.

Menanggapi arogansi rezim Zionis dan dukungan Barat kepadanya, rakyat Palestina mulai memperkuat aksi perlawanan. Resistensi ini bahkan tidak mampu diredam oleh instrumen-instrumen yang dimiliki Israel dan sekutunya. Dengan alasan ini, wacana kompromi untuk mengalahkan perlawanan rakyat Palestina mulai diintensifkan sejak dekade 1990-an.

Pada 13 September 1993, dengan disaksikan oleh lebih dari 3.000 tokoh dunia, Perjanjian Oslo I (The Oslo I Accord) ditandatangani antara Otoritas Palestina dan rezim Zionis. Perjanjian ini dianggap sebagai kerangka untuk mengakhiri konflik. Perjanjian Oslo I menetapkan bahwa kedua belah pihak mengakui hak untuk hidup pihak lain dalam kerangka yang disebut perbatasan Palestina dan Israel.

Namun, rezim penjajah Israel bahkan menentang prinsip hidup berdampingan dan menolak pembentukan pasukan untuk negara Palestina. Dalam sebuah serangan brutal, rezim Zionis membantai puluhan Muslim Palestina di Masjid al-Khalil sehingga butir-butir Perjanjian Oslo pun tidak terlaksana.

Atas upaya AS untuk mencapai kompromi di Palestina yang menguntungkan Tel Aviv, pemerintah Otorita Palestina dan rezim Zionis menandatangani perjanjian Wye River pada 1998 di bawah pengawasan langsung Presiden Bill Clinton.

Rezim Zionis berjanji untuk mengembalikan 13% dari tanah Palestina di Tepi Barat, tetapi Benjamin Netanyahu justru memperbanyak jumlah pemukiman Zionis setelah meneken perjanjian itu. Dengan berkuasanya Ehud Barak pada 1999, sebuah MoU baru ditandatangani antara pemerintah Otorita Palestina dan Israel yang disebut The Sharm El Sheikh.

Tujuan dari MoU ini adalah untuk mengimplementasikan semua perjanjian yang pernah diteken antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan rezim Zionis sejak September 1993. Pada kesempatan itu, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan negosiasi demi mencapai sebuah kesepakatan yang permanen.

Apa yang dikenal dengan perundingan damai Timur Tengah ini berlanjut di Camp David pada 2000. Hadir dalam perundingan itu adalah Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri rezim Zionis Ehud Barak, dan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat.

Masalah kepemilikan Quds dan upaya dari masing-masing pihak Palestina dan Israel untuk mengubah kota itu menjadi ibukotanya adalah isu utama yang menyita banyak waktu dalam perundingan Camp David. Pada pertemuan itu, Arafat menekankan tekadnya untuk mendirikan negara merdeka Palestina dengan ibukota Quds.

Arafat berkata kepada Clinton, "Pemimpin Palestina yang akan menutup mata dari Quds belum terlahir ke dunia."

Pertemuan Camp David 2000.

KTT itu akhirnya ditutup setelah dua pekan perundingan yang tidak membawa hasil apapun. Para pemimpin Washington juga mengakui kegagalan total perundingan Camp David. Pada dasarnya, rezim Zionis tidak bersedia untuk mundur dari posisinya dan bahkan tidak menerima timur Quds sebagai ibukota negara merdeka Palestina.

Pada Maret 2002, para pemimpin Arab dalam pertemuan di Beirut mengusulkan sebuah prakarsa untuk mengakhiri konflik Palestina-Zionis. Prakarsa itu disahkan tanpa kehadiran Presiden Otorita Palestina Yasser Arafat. Menurut prakarsa ini, Israel harus mundur ke perbatasan 1967 dan imbalannya, Dunia Arab akan mengakui rezim penjajah itu.

Kuartet Timur Tengah (AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa) kemudian memperkenalkan Peta Jalan Perdamaian Palestina-Israel pada 2002. Peta jalan ini disetujui oleh Dewan Keamanan dengan tujuan membentuk dua negara Palestina dan rezim Zionis, pelucutan senjata kelompok-kelompok Palestina, dan pembebasan para tawanan.

Prakarsa ini kemudian menghasilkan Kesepakatan Jenewa (Geneva Accord). Kesepakatan 50 halaman ini adalah hasil dari 2,5 tahun pembicaraan rahasia yang dipimpin oleh mantan Menteri Kehakiman Israel, Yosef Yossi Beilin dan mantan Menteri Intelijen Otoritas Palestina, Yasser Abed Rabbo.

Pada 1 Desember 2003, kedua pihak menandatangani sebuah perjanjian non-formal di Jenewa. Tetapi rezim Zionis sepenuhnya menolak prakarsa Jenewa dan menyebutnya sebagai upaya untuk melemahkan Israel.

Menyusul perkembangan ini, pertemuan kedua di Sharm el-Sheikh digelar pada 8 Februari 2005 dengan kehadiran Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Mesir Hosni Mubarak, dan Pemimpin Yordania Raja Abdullah. Pada pertemuan itu, para peserta sepakat bahwa kemajuan proses perdamaian sudah sesuai dengan peta jalan.

Konferensi Annapolis 2007.

Antara Desember 2006 sampai pertengahan September 2008, Ehud Olmert dan Mahmoud Abbas bertemu 36 kali dan secara bersamaan pembicaraan di tingkat rendah juga diadakan. Pada 27 November 2007, Konferensi Annapolis diadakan di Akademi Angkatan Laut AS di kota Annapolis, Maryland. Pertemuan ini dihadiri oleh para pemimpin Otoritas Palestina, rezim Zionis dan perwakilan dari beberapa negara Arab tanpa melibatkan Hamas.

Pada awal Oktober 2007, Mahmoud Abbas mengatakan tuntutan rakyat Palestina di Konferensi Annapolis adalah mendirikan negara merdeka Palestina yang mencakup Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan menyelesaikan enam tantangan utama antara Palestina dan rezim Zionis, termasuk masalah pembagian Quds, hak kepulangan pengungsi Palestina, masalah perbatasan, nasib pemukiman Zionis, masalah air, dan isu keamanan.

Salah satu petinggi Hamas, Mahmoud al-Zahar mengatakan, "Bahkan jika Hamas diundang untuk menghadiri Konferensi Annapolis, pertemuan ini tidak bermakna karena Israel tidak siap untuk mengakhiri pendudukan dan Abbas tidak mewakili mayoritas rakyat Palestina."

Mengenai kegagalan kesepakatan kompromi, pakar masalah Palestina dari Iran, Doktor Sadullah Zarei menuturkan, "Jika kita melihat kembali isu Palestina dan prakarsa-prakarsa yang diperkenalkan oleh Barat atau Arab, kita menemukan bahwa hampir seluruh prakarsa ini menegaskan keberadaan Israel dan penghapusan Palestina. Namun semua prakarsa ini berakhir dengan kegagalan."

"Kegagalan ini memiliki dua alasan. Pertama, sebuah bangsa dengan populasi hampir 15 juta jiwa (di seluruh dunia), tidak dapat diabaikan yaitu jumlah warga Palestina mencapai 15 juta orang. Mereka adalah sebuah realitas dan tidak bisa diabaikan dengan keberadaan 5-6 juta Yahudi. Kedua, jika di kawasan ini ada sebuah kubu pro-kompromi, maka di sisi lain ada sebuah gerakan perlawanan yang kuat. Jadi, dengan adanya kubu perlawanan, maka memaksakan prakarsa yang mengabaikan realitas di kawasan tidak akan pernah berhasil," jelas Zarei.

Dengan kandasnya kesepakatan kompromi, Presiden AS Donald Trump memperkenalkan sebuah prakarsa baru yang disebut Kesepakatan Abad. Dia telah menunjuk menantunya, Jared Kushner untuk memimpin pelaksanaan Kesepakatan Abad ini. (RM)

Tags