Aug 26, 2019 12:54 Asia/Jakarta
  • Aksi protes terhadap prakarsa licik AS, Kesepakatan Abad.
    Aksi protes terhadap prakarsa licik AS, Kesepakatan Abad.

Pada edisi sebelumnya, kita membahas tentang peran Arab Saudi dan Mesir dalam pelaksanaan prakarsa Kesepakatan Abad, dan sekarang kita akan menyoroti posisi pemerintah Yordania dan Turki.

Yordania memiliki tempat khusus dalam Kesepakatan Abad karena posisinya yang berbatasan dengan Palestina dan Mesir. Keluarga Raja Abdullah Yordania sudah bertahun-tahun mengelola Kompleks Masjid al-Aqsa.

Yordania sangat khawatir kehilangan posisi ini. Dikatakan bahwa demi memperoleh dukungan Amman terhadap Kesepakatan Abad, Perdana Menteri rezim Zionis, Benjamin Netanyahu secara diam-diam berjanji untuk mempertahankan posisi Yordania sebagai pengelola Kompleks Masjid al-Aqsa jika negara itu mengakui kota Quds sebagai ibukota Israel.

Namun, Yordania menghadapi tekanan untuk menerima Kesepakatan Abad selama dua tahun terakhir, dan bahkan beberapa aksi protes yang terkait dengan prakarsa AS itu pecah di Yordania.

Pakar masalah Asia Barat asal Iran, Sayid Hadi Ofoghi mengatakan, "Kerajaan Yordania dan Otorita Ramallah melakukan pembicaraan untuk mewujudkan Kesepakatan Abad. Para pelaksana kesepakatan ini menekan Mahmoud Abbas agar menerima penjualan Quds atau kehilangan posisinya. Pencopotan Abbas yang menolak menerima Abu Dis sebagai ibukota, bisa memecah masyarakat Palestina dari dua kelompok saat ini menjadi empat kelompok. Di sisi lain, pemerintah Amman diminta untuk memberikan kartu identitas Yordania kepada warga Palestina yang tinggal di negara itu sehingga mereka tidak lagi berstatus pengungsi, tetapi warga negara Yordania."

Penentangan para pejabat Amman terhadap Kesepakatan Abad tampaknya hanya didasari pada pertimbangan kepentingan Yordania semata, bukan karena maslahat rakyat Palestina dan perlindungan situs-situs suci umat Islam. Memang, Kesepakatan Abad ini melibatkan klausul yang secara langsung dan tidak langsung membahayakan kepentingan negara Yordania.

Berdasarkan salah satu butir prakarsa Kesepakatan Abad, pengungsi Palestina tidak memiliki hak untuk kembali ke negara asal mereka dan harus tinggal di negara tempat mereka berada. Hal ini dapat mengubah komposisi demografis Yordania dan memiliki konsekuensi politik, karena banyaknya pengungsi Palestina di negara itu.

Posisi Yordania yang berbatasan dengan sebagian besar wilayah Tepi Barat, telah menimbulkan kekhawatiran di Amman. Kondisi baru yang muncul pasca pelaksanaan Kesepakatan Abad akan dimanfaatkan oleh rezim Zionis untuk mengancam keamanan nasional Yordania.

Menurut prakarsa Kesepakatan Abad, sebagian dari warga Palestina harus pindah ke daerah al-Arish di Sinai dan menetap di sana. Ini berarti Israel bisa mengontrol penuh keamanan al-Arish dengan alasan kehadiran permanen warga Palestina di sana dan kondisi ini bisa membahayakan kepentingan Yordania.

Perlu dicatat bahwa pipa pengiriman gas dari Mesir ke Yordania melewati daerah al-Arish di Sinai. Untuk itu, pemerintah Yordania patut khawatir atas kontrol penuh Israel di Sinai secara umum dan di al-Arish secara khusus.

Raja Yordania, Abdullah II (kiri) dan Benjamin Netanyahu.

Pemerintah Yordania menyadari bahwa rezim Zionis ingin memperkuat kontrolnya atas wilayah strategis al-Aghwar di Tepi Barat dengan mengusir sejumlah besar warga Tepi Barat ke Yordania.

Al-Aghwar adalah sebuah wilayah yang kaya akan sumber air dan lahan pertanian yang subur. Lebih dari itu, al-Aghwar juga terletak di dekat perbatasan Yordania. Jadi, wajar jika Amman terus memantau upaya Tel Aviv untuk memperkuat kontrolnya atas al-Aghwar dan menyatakan kekhawatiran dalam hal ini.

Penolakan Amman terhadap butir-butir Kesepakatan Abad telah mendorong para pejabat AS dan Israel untuk mencari cara agar Yordania tetap mendukung prakarsa ini. Aksi protes melanda Yordania pada 2018 untuk menolak rencana penghematan yang diusulkan pemerintah.

AS ingin mengirim pesan bahwa jika pemerintah Yordania bersikeras menentang Kesepakatan Abad, maka negara itu akan dibuat kacau lewat aksi-aksi protes menentang program ekonomi pemerintah.

Situasi ini terlihat sedikit berbeda bagi Turki sebagai salah satu pemain lain di Timur Tengah. Turki mengakui rezim Zionis Israel sejak 1949 dan membuka perwakilan diplomatik pertamanya di Tel Aviv pada 1950. Selama masa itu, Ankara memiliki hubungan luas dengan Tel Aviv di berbagai bidang ekonomi, militer, keamanan, dan politik.

Soal isu Palestina, Turki selalu bersikap aktif demi mendapatkan konsesi dan tindakan Ankara terhadap Tel aviv selalu bersifat propaganda, dan belum mengarah pada tindakan praktis seperti pembatalan kontrak ekonomi dan militer.

Ketika Presiden Donald Trump menandatangani dekrit pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Quds pada Desember 2018, Turki memimpin langkah diplomasi untuk menentang keputusan AS itu di tingkat internasional.

Pemerintah Turki mengadakan dua sidang Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam waktu kurang dari enam bulan, memfokuskan upaya bagi pengesahan resolusi kecaman terhadap AS di PBB, memanggil duta besarnya dari AS dan rezim Zionis, dan mengusir sementara dubes Israel dari Ankara. Namun, Turki sama sekali tidak menangguhkan atau membatalkan kontrak-kontraknya dengan Israel.

Turki mengadopsi kebijakan standar ganda saat AS memindahkan kedutaannya ke Quds. Negara itu berusaha untuk membangun konsensus di antara negara-negara Muslim untuk mendukung Palestina dan secara bersamaan mempertahankan hubungan ekonominya dengan rezim penjajah. Turki menggelar sidang luar biasa OKI di Istanbul, setelah Trump mengumumkan rencananya untuk memindahkan kedutaan AS ke Quds.

Menurut data resmi, dari nilai perdagangan 4,3 miliar dolar antara Turki-Israel pada 2017, 2,9 miliar dolar terkait dengan ekspor Turki ke rezim Zionis dan 1,4 miliar dolar berhubungan dengan impor Turki dari Israel. Pemerintah Turki tertarik untuk mempertahankan tingkat hubungan ekonomi ini dengan rezim Zionis.

Contoh lain hubungan ekonomi kedua pihak adalah ekspor minyak Azerbaijan melalui pelabuhan Ceyhan di Turki ke pelabuhan Haifa di tanah pendudukan. Turki juga menggunakan jalur transit laut-darat Palestina pendudukan untuk mengirim produknya ke Yordania. Rute ini digunakan sebagai jalur alternatif untuk menghindari wilayah Suriah.

Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Mengenai prakarsa Kesepakatan Abad, Turki mengambil sikap yang sejalan dengan kepentingannya. Meski Turki mengklaim mendukung perjuangan Palestina, namun negara itu tidak mengambil tindakan nyata terhadap Israel.

Padahal, Kesepakatan Abad ini secara khusus mengejar proyek yahudisasi kota Quds. Dalam beberapa tahun terakhir, Ankara enggan memanfaatkan hubungan energi dan perdagangan untuk melawan Tel Aviv, tetapi hanya melakukan propaganda lewat media demi menarik simpati dunia Islam.

Tentu saja, masalah perjuangan Palestina menjadi fokus masyarakat Muslim Turki. Oleh karena itu, Presiden Recep Tayyip Erdogan – setelah konferensi Manama pada 24-25 Juni 2019 – mengatakan bahwa Turki tidak memiliki pandangan positif tentang prakarsa AS untuk perdamaian di Timur Tengah. Jadi, Ankara tidak mendukung rencana itu.

Profesor Zekeriya Kursun dari Fatih Sultan Mehmet Vakif University, menuturkan bahwa prakarsa Kesepakatan Abad tidak menciptakan perdamaian atau menyelesaikan masalah, tetapi itu hanya akan menyebabkan ketegangan dan kecemasan baru di kawasan.

"Secara umum, untuk mencapai kesepakatan, semua butir rencangan kesepakatan harus sejalan dengan kepentingan dan persetujuan kedua belah pihak. Dalam prakarsa ini, hanya Israel yang diuntungkan," tambahnya.

"Jadi, tidak mungkin menciptakan perdamaian di kawasan dengan Kesepakatan Abad. Prakarsa ini telah memicu banyak ketegangan sejak pertama diusulkan. Ketidakstabilan Timur Tengah dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa implementasi prakarsa ini tidak mungkin dan bahkan membawa pesan perang di kawasan," jelas Profesor Zekeriya Kursun.

Menurutnya, prakarsa itu akan menciptakan ketidakstabilan di Timur Tengah dan juga akan menimbulkan ketegangan di masyarakat internasional. (RM)

Tags