Aug 15, 2019 13:56 Asia/Jakarta
  • Para pengungsi Palestina di Lebanon menyatakan penolakan terhadap prakarsa Kesepakatan Abad.
    Para pengungsi Palestina di Lebanon menyatakan penolakan terhadap prakarsa Kesepakatan Abad.

Kesepakatan Abad melibatkan tiga kelompok aktor: negara perancang sekaligus pelaksana yaitu Amerika Serikat, aktor yang dirugikan dan penerima manfaat yaitu Palestina dan rezim Zionis Israel, dan para pendukung kesepakatan ini yaitu Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi.

Tentu saja, beberapa aktor memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan pihak lain. Hal ini menjadi sebuah tantangan serius dalam mengimplementasikan prakarsa licik Kesepakatan Abad ini.

Agenda AS – sebagai perancang dan pelaksana kesepakatan – adalah mendorong pengakuan kota Quds sebagai ibukota rezim Zionis dan mempertahankan penjajahan di bumi Palestina. Tujuan lain adalah membentuk negara semu Palestina yang tidak memiliki angkatan bersenjata dan sepenuhnya berada di bawah kendali Israel.

Para pejabat AS melakukan konsultasi intensif selama 2018-2019 agar negara-negara Arab meningkatkan dukungannya terhadap Kesepakatan Abad. Mereka berulang kali melakukan kunjungan ke negara-negara Arab di Teluk Persia dan menyebarkan propaganda Iranphobia dan Islamphobia sehingga Dunia Arab melangkah seirama dengan Kesepakatan Abad.

AS mencoba meyakinkan Saudi dan negara-negara Arab reaksioner lainnya bahwa jika isu Palestina dihapus, maka poros perlawanan akan melemah, karena salah satu penyebab poros ini populer adalah dukungannya untuk perjuangan Palestina.

Pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Quds sebagai ibukota rezim Zionis, serta usulan penghapusan blokade Gaza dengan imbalan bantuan ekonomi dan rekonstruksi, merupakan indikasi yang jelas dari penggunaan kebijakan tongkat dan wortel oleh Washington untuk memajukan prakarsa-prakarsa kompromi.

Hingga satu dekade lalu, Arab Saudi sebagai pemilik dua kota suci Makkah dan Madinah dan acuan negara-negara Muslim di kawasan, menekankan pembelaan Quds sebagai titik persatuan umat Islam. Namun, perubahan yang terjadi di Saudi pasca Raja Salman berkuasa, Riyadh mulai menggeser arah kebijakannya dari membela pembebasan Quds ke arah melawan Republik Islam Iran.

Perubahan arah kebijakan Saudi telah menurunkan posisi Palestina dan mengaburkan isu Quds. Dalam sebuah pengkhianatan, Saudi justru menyelaraskan kebijakannya dengan rezim Zionis.

Arab Saudi – yang disebut sebagai sapi perah oleh Trump – tampil sebagai salah satu penyedia dana untuk mendukung prakarsa Kesepakatan Abad. Berdasarkan proposal Trump, Saudi adalah sponsor utama untuk membiayai hampir 70 persen dari biaya keuangan bagi implementasi prakarsa licik ini.

Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman dalam sebuah wawancara dengan media Bloomberg pada Oktober 2017, menyinggung tentang investasi Saudi dalam proyek-proyek di Sinai. Ia menyebut tujuan akhir dari investasi ini adalah untuk memajukan mega proyek yang dikenal sebagai Neom.

Berdasarkan proyek-proyek ini, UEA, Bahrain, dan terutama Kuwait memainkan peran kunci dalam mengekspor energi ke Eropa. Ini berarti Kuwait akan mengekspor ke Mesir dan kemudian ke Eropa melalui jaringan pipa dan kereta api di Mega City Neom.

Arab Saudi juga akan banyak berinvestasi di utara dan selatan Sinai, di mana pada akhirnya menguntungkan rezim Zionis untuk memiliki kontrol yang lebih besar atas Mesir.

Di samping itu, para pemimpin Saudi juga berbicara tentang dua proyek pembangunan terowongan dan jalan tol King Salman. Di sini, muncul sebuah pertanyaan penting, "Dengan langkah ini, apakah Saudi ingin menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai Mediterania dan mengorbankan perjuangan Palestina?

Berdasarkan proyek Mega City Neom, bagian tertentu dari Sinai diberikan ke Saudi dan sebagian besar Tepi Barat digabungkan dengan Selat Tiran, dan akses Mesir ke Teluk Aqabah dan Selat Tiran akan tertutup.

Jika rencana ini terwujud, maka potensi ancaman terhadap armada maritim Israel oleh Mesir akan mencapai titik nol dan memperkuat keamanan rezim Zionis di wilayah itu. Pada dasarnya,  pertukaran wilayah yang tertuang dalam prakarsa Kesepakatan Abad bertujuan untuk menjamin kepentingan Israel.

PM rezim Zionis, Benjamin Netanyahu (kiri) dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi.

Pakar masalah Palestina asal Iran, Saadallah Zarei menuturkan, "Prakarsa Kesepakatan Abad memiliki lebih banyak ketidakjelasan dibanding ratusan proposal sebelumnya yang telah gagal. Dalam Kesepakatan Abad, bagian tertentu dari Arab Saudi akan terpisah, Saudi dan UEA harus mengeluarkan uang banyak dan membayar lebih dari 40 miliar dolar. Dari sisi lain, sebidang tanah yang luas milik Yordania diambil, sebagian dari Tepi Barat – yang disebut PBB sebagai milik rakyat Palestina – diserahkan kepada Israel. Bagian tertentu dari Sinai, Mesir juga diserahkan ke Palestina, dan terakhir sebagian dari Jalur Gaza diberikan kepada Israel."

Mesir adalah salah satu negara yang terlibat dalam kesepakatan jahat ini. Negara ini bertetangga dengan tanah pendudukan dan Jalur Gaza. Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi – yang menganggap dirinya bagian integral dari Kesepakatan Abad – sangat membutuhkan bantuan keuangan dari Arab Saudi dan AS, karena keterpurukan ekonomi di dalam negeri.

Mengingat legitimasinya sedang dipertanyakan baik di dalam maupun oleh beberapa komunitas internasional, al-Sisi melihat peran aktifnya dalam Kesepakatan Abad sebagai peluang untuk memperkuat posisinya. Dukungan Mesir ini juga berhubungan dengan isu-isu lain termasuk bantuan militer AS dan krisis ekonomi di dalam negeri.

Anggota Dewan Mesir untuk Urusan Luar Negeri, Rakha Hassan mengatakan, "Peran perintis Kairo di Timur Tengah sudah melemah dan ini disebabkan oleh krisis ekonomi di Mesir. Untuk memenuhi kepentingan ekonominya, Mesir menjulurkan tangannya ke negara-negara pesisir Teluk Persia dan tidak bisa lagi memaksakan pandangannya pada negara-negara Arab. Saudi sekarang bersikap seolah-olah ia adalah pemimpin Dunia Arab, Saudi telah melumpuhkan Liga Arab, dan mencegah Mesir dari memainkan peran apapun di kawasan."

Mesir tentu saja prihatin tentang konsekuensi dari pelaksanaan prakarsa Kesepakatan Abad, terutama mengenai status para pengungsi Palestina.

Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry dalam kunjungannya ke Washington pada 9 Agustus 2018 mengatakan, "Mesir siap mendukung ide AS soal Kesepakatan Abad dengan catatan bisa dilaksanakan, tidak memunculkan masalah, dan tidak kabur. Prakarsa Kesepakatan Abad tidak seharusnya memaksakan tugas penempatan pengungsi Palestina kepada Mesir dan negara-negara Arab, terutama karena AS dan rezim Zionis ingin merampas hak kepulangan pengungsi Palestina, dan mereka bahkan berusaha menghentikan bantuan dana kepada Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA)."

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Presiden AS Donald Trump.

Namun, karena sistem politik Mesir tidak independen, tidak adanya basis dukungan yang kuat terutama setelah penumpasan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, dan krisis ekonomi, maka Kairo tidak bisa bersikap tegas menolak Kesepakatan Abad, dan akhirnya memilih mengkhianati perjuangan Palestina.

Abdel Fattah al-Sisi dalam pertemuan dengan mitranya dari AS pada 3 April 2017 mengatakan, "Anda akan menemukan saya sebagai pendukung serius dari segala upaya untuk menyelesaikan masalah abad ini melalui Kesepakatan Abad."

Dari segi politik, para pemimpin Saudi, UEA, Mesir percaya bahwa dengan merealisasikan Kesepakatan Abad, mereka akan mampu meningkatkan perang terhadap poros perlawanan. Dengan alasan ini, mereka berusaha memacu normalisasi hubungan dengan rezim Zionis dan menekan Otorita Ramallah agar menerima prakarsa tersebut.

Namun, kegagalan konferensi Kesepakatan Abad di Bahrain menunjukkan bahwa kubu pro-kompromi telah salah perhitungan, dan kegagalan ini memperkuat persatuan faksi-faksi Palestina, serta meningkatkan popularitas poros perlawanan di Dunia Islam dan Arab.

Sebab, poros perlawanan adalah satu-satunya kelompok yang tidak bersedia mengkhianati perjuangan Palestina demi kepentingan ekonomi dan politik. (RM)

Tags