Jul 21, 2019 18:37 Asia/Jakarta
  • Presiden Obama memimpin jabat tangan antara Perdana Menteri rezim Zionis, Benjamin Netanyahu dan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas.
    Presiden Obama memimpin jabat tangan antara Perdana Menteri rezim Zionis, Benjamin Netanyahu dan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas.

Ketika Barack Obama memimpin Gedung Putih pada 2009, konflik Palestina-rezim Zionis Israel masih tetap menjadi salah satu tantangan utama kebijakan luar negeri AS terutama di wilayah Asia Barat.

Jauh sebelum Obama berkuasa, pemerintah AS melakukan banyak upaya untuk mewujudkan apa yang disebut perdamaian Palestina-Israel. Namun konflik di antara mereka bukannya mereda, tetapi malah bertambah besar.

Dapat dikatakan bahwa faktor utama kegagalan prakarsa AS sebelum ini adalah dukungan mutlak pemerintahan Bush untuk tindakan terorisme Israel dan aksi pembantaian warga Palestina. Konflik ini bertambah rumit setelah Tel Aviv meningkatkan jumlah distrik Zionis di tanah pendudukan dan sikap AS yang tidak mengakui pemerintah Palestina.

Barack Obama dalam kampanyenya mengkritik kebijakan para pemimpin AS mengenai Asia Barat dan secara khusus isu Palestina. Dia menawarkan sebuah pendekatan baru untuk mengakhiri krisis tersebut.

Di minggu pertama bertugas, Obama melakukan wawancara dengan sebuah televisi Arab dan mengirim utusan khusus AS untuk menangani konflik Palestina-Zionis ke wilayah Asia Barat. Demi menarik perhatian Dunia Islam, ia mengkritik kebijakan rezim Zionis terutama soal perluasan pemukiman.

Akan tetapi mendekati periode kedua kekuasaannya, pemerintahan Obama justru semakin mesra dengan Israel dan memperbesar dukungannya kepada rezim Zionis.

Obama – yang datang dengan slogan perubahan – awalnya membangun kesan bahwa ia akan bersikap netral dalam menengahi konflik Palestina-rezim Zionis.

Untuk mencapai ini, ia setidaknya memperlihatkan bahwa dukungannya kepada Israel telah berkurang, tetapi sikap ini mendapat perlawanan dari lobi Zionis di Washington dan para politisi Amerika pro-Israel. Menurut sebuah survei 2011, hanya 9 persen warga Zionis yang percaya bahwa pemerintahan Obama lebih pro-Zionis daripada Palestina.

Di hari pertama menjabat Presiden AS, Barack Obama dalam pembicaraan telepon pada 21 Januari 2009 dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan para pemimpin Arab seperti Hosni Mubarak, Raja Abdullah II dan Mahmoud Abbas, menekankan keseriusannya untuk melaksanakan prakarsa perdamaian.

Selanjutnya, ia dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengeluarkan statemen bersama tentang isu perdamaian dan menunjuk salah satu senator paling berpengalaman, George J. Mitchell sebagai Utusan Khusus AS untuk Asia Barat.

Obama pada beberapa kesempatan menyatakan penentangannya terhadap pembangunan distrik Zionis oleh Israel. Dalam pidato pertamanya di Majelis Umum PBB pada September 2009, Obama menyatakan, "AS menentang kelanjutan pembangunan distrik Zionis oleh Israel."

Trump dan Netanyahu.

Dalam pidatonya di Universitas al-Azhar pada Juni 2009, dia juga mengatakan, "Amerika Serikat tidak menerima keabsahan dari penerusan pembangunan pemukiman Zionis. Pekerjaan konstruksi ini melanggar persetujuan sebelumnya dan melemahkan upaya mencapai perdamaian. Sudah tiba waktunya pembangunan pemukiman ini dihentikan."

Obama dan anggota kabinetnya pada tahun-tahun berikutnya juga menentang pemukiman Zionis, tetapi Benjamin Netanyahu tidak mematuhi komitmennya, meskipun telah berjanji kepada AS untuk menghentikan pekerjaan rekonstruksi.

Dalam pidatonya di Departemen Luar Negeri AS pada 2009, Obama mendukung pembentukan negara Palestina di garis perbatasan 1967 setelah menjelaskan kebijakannya tentang Asia Barat. "Perbatasan 1967 harus menjadi dasar bagi pembicaraan damai antara kedua belah pihak," ucapnya.

Tetapi, Netanyahu kembali mengingatkan komitmen pemerintah AS kepada rezim Zionis dan menolak kebijakan Obama untuk memulai negosiasi berdasarkan perbatasan 1967.

Obama – meskipun bersikap kritis mengenai pemukiman Zionis dan mendukung pembentukan dua negara di perbatasan 1967 – namun menentang keanggotaan Palestina di badan-badan internasional, termasuk PBB, UNESCO, dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Akan tetapi, Palestina pada akhirnya berhasil menjadi "anggota pengamat" di PBB pada 2012.

Selama upayanya untuk memecahkan konflik Palestina-Israel, Obama mendefinisikan masalah Palestina dalam kerangka krisis hubungan antara negara-negara Arab dan rezim Zionis. Ia mengusulkan normalisasi hubungan Arab dengan Israel, yang menurut Washington, ini akan mengarah pada perdamaian Palestina-rezim Zionis.

Di antara butir prakarsa Obama adalah aneksasi daerah tertentu di timur Quds ke dalam wilayah Palestina pendudukan dan menyerahkan kontrol situs-situs Islam yang tersisa di kota tersebut kepada pemerintah Arab. Dia telah melakukan pembicaraan dengan para pemimpin negara-negara regional untuk mengimplementasikan prakarsa sepihak ini, namun rencana ini gagal karena Israel menolak menghentikan pembangunan distrik Zionis dan hubungan dingin Netanyahu dengan Obama.

Pada dasarnya, semua prakarsa damai ini gagal di tengah jalan karena sikap arogan rezim Zionis dan dukungan mutlak pemerintah AS kepada Israel.

Pengamat masalah Asia Barat asal Iran, Masoud Asadollahi mengatakan, "Israel tidak pernah berhenti merampas hak-hak rakyat Palestina. Karena dukungan AS dan sikap lemah negara-negara Arab, Israel terus memperluas penjajahannya di Palestina, sementara negara-negara Arab pro-kompromi – yang tidak didukung rakyatnya – tidak memiliki kemampuan untuk melawan kebijakan arogan Israel di Palestina."

Kepura-puraan Obama ini bisa dilihat dari tindakannya yang selalu menghalangi pengesahan resolusi apapun terhadap rezim Zionis di PBB, dan bahkan ia mencatat rekor dalam hal ini. Tentu saja, Obama memilih abstain dalam voting resolusi 2234 Dewan Keamanan PBB, yang meminta Israel untuk menghentikan seluruh proyek pemukiman Zionis di tanah Palestina. Namun, banyak pengamat melihat langkah itu sebagai permainan politik dan pencitraan, karena Obama – selama delapan tahun berkuasa – telah memberikan banyak dukungan finansial, politik, dan militer kepada Tel Aviv.

Setelah berakhirnya era Obama dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2016, dukungan Washington kepada rezim Zionis memasuki sebuah babak baru. Trump dan kabinetnya mengambil langkah yang agresif terkait isu Palestina. Dalam sebuah keputusan kontroversial, Trump memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke kota Quds.

Soal kebijakan Trump terhadap Palestina dan Muslim, seorang aktivis Palestina, Adnan Husseini menuturkan, "Cukup jelas bahwa Trump dengan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Quds, secara terbuka mengobarkan perang melawan Dunia Islam dan negara-negara Arab yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejauh ini AS sudah dipimpin oleh 42 presiden, tetapi tidak satu pun dari mereka yang membuat keputusan seperti itu, sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan Trump adalah bukti dari kebodohan politiknya."

Di samping kepentingan ekonomi, pengaruh lobi Zionis di Gedung Putih serta kedekatan keluarga dan partainya dengan gerakan Zionis, telah menciptakan ikatan ideologis dan strategis yang kuat dalam pemerintahan Trump untuk mendukung rezim Zionis.

Jadi, klaim Trump untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel hanya bertujuan untuk mengejar kepentingan ekonomi AS dan mempertahankan eksistensi rezim Zionis. Pemerintahan Trump bahkan melecehkan Otorita Ramallah Palestina meskipun mereka mendukung prakrasa kompromi AS dalam beberapa tahun terakhir.

Ketua Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh dalam sebuah pidato di Jalur Gaza mengatakan, "Kami memiliki informasi tentang bagaimana perilaku dan sikap pemerintah AS dengan para pejabat dan juru runding Palestina. Mereka (para pejabat Washington) menyampaikan tuntutan-tuntutan Israel dengan gaya Amerika kepada tim perunding Palestina. AS bahkan memaksa Otorita Ramallah untuk menghentikan bantuan kepada keluarga tawanan dan syuhada Palestina." (RM)

Tags