Perkembangan Iptek di Iran dan Dunia (110)
Okt 01, 2019 10:41 Asia/Jakarta
Para peneliti di laboratorium praklinis Universitas Kedokteran Tehran, Iran, TUMS Preclinical Core Facility, TPCF untuk pertama kalinya berhasil mengkaji proses pertumbuhan volume tumor dan hubungan antara konsumsi glukosa dan karakteristik kimiawinya, dengan menggunakan teknik pencitraan fungsional kedokteran nuklir, Tomografi emisi positron atau PET.
Dalam uji coba untuk menyembuhkan tikus dari kanker, digunakan pencitraan PET selama beberapa minggu. Kemudian dengan menganalisa hasil pencitraan tersebut, dilakukan estimasi konsumsi glukosa dan ditentukan hubungan antara konsumsi zat itu dengan karakteristik kimiawinya, sehingga setelah dikaji, dapat diprediksi volume tumor dan efektivitas metode pengobatannya.
Metode pencitraan PET digunakan untuk memahami perilaku rumit dan beragam berbagai jenis kanker, dan dalam penelitian-penelitian terkait kanker, penggunaan sistem pencitraan sangat penting untuk mengkaji mekanisme perubahan jaringan tumor.
PET merupakan teknik pencitraan fungsional kedokteran nuklir yang memiliki kegunaan untuk menampilkan citra fungsi dari bagian-bagian tubuh, dan memungkinkan diaksesnya informasi-informasi metabolisme tubuh dan karakteristik kimiawinya, memungkingkan deteksi daerah terpapar kanker dan tingkat keganasan pada jaringan sel, serta memungkinkan identifikasi dan pelacakan kelainan dalam aktivitas sel sebelum terjadi perubahan dalam anatomi tubuh secara fisik.
Salah seorang alumnus Fakultas Teknik Mekanik, Universitas Teknologi Sharif yang menjadi dosen di Universitas California, Barkeley, Amerika Serikat, Yousef Bazargnia mendapat penghargaan Bruce Bolt Medal 2019, dari The Consortium of Strong Motion Observations Systems (COSMOS), the Earthquake Engineering Research Institute (EERI) and the Social Security Administration (SSA).
Yousef Bozorgnia menerima Bruce Bolt Medal 2019 pada pertemuan tahunan EERI yang diadakan pada 5-8 Maret 2019 di Vancouver, Kanada, untuk kontribusi luasnya di bidang model gerakan tanah gempa, analisis bahaya seismik dan rekayasa gempa struktural.
Para peneliti berhasil menguji coba pelepasan obat anestesi di bagian korteks tikus dengan menggunakan nanopartikel polimer. Setelah sampai ke target, obat ini mencegah terbentuknya faktor-faktor penyebab iritasi di otak. Metode ini memiliki potensi digunakan secara klinis untuk menyembuhkan penderita penyakit epilepsi.
Para peneliti di Universitas Stanford menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk memecah nanopartikel polimer. Mereka pertama menyuntikkan nanopartikel yang mengandung obat anestesi ke tubuh tikus agar masuk ke aliran darah. Gelombang suara menyebabkan struktur nanopartikel menjadi lemas, sehingga dengan terbukanya struktur nanopartikel, obat yang dimaksud masuk ke dalam otak.
Salah seorang peneliti mengaku sangat berminat pada teknologi pelepasan obat, sehingga mendorongnya untuk mengenal optogenetik yang di dalamnya genetik dan metode optik digunakan dalam proses penyembuhan. Namun demikian, ia berusaha menemukan metode non-invasif untuk menyembuhkan para penderita penyakit otak.
Oleh karena itu, ia terinspirasi untuk menciptakan biocompatible cages untuk menciptakan nanopartikel biodegradable yang dapat memecah dengan menggunakan gelombang ultrasonik sehingga obat bisa dilepaskan. Obat yang termasuk jenis propofol yang berfungsi sebagai bius ini digunakan untuk memenuhi nanopartikel.
Obat ini juga digunakan dalam operasi bedah yang dapat mematikan beberapa bagian otak. Para peneliti memilih sebuah kerangka dari jenis polimer yang memiliki inti cair untuk membuat nanopartikel. Struktur ini sensitif terhadap gelombang ultrasonik.
Dalam sebuah makalah ilmiah yang diterbitkan oleh para peneliti proyek ini disebutkan bahwa nanopartikel bisa muncul tanpa efek samping. Dengan menggunakan nanopartikel ini, para peneliti berhasil mematikan bagian korteks otak. Para peneliti berusaha mengkaji efektivitas dan keamanan metode ini pada binatang yang lebih besar, dan berharap metode ini dapat diuji cobakan pada manusia. Hasil penelitian mereka dimuat dalam jurnal ilmiah Neuron.
Para ilmuwan untuk pertama kalinya berhasil mengabadikan detik-detik terciptanya Lubang Hitam dengan kamera. Fenomena cahaya yang sangat terang pada bulan Juni 2018, terlihat di separuh bumi di wilayah utara. Saat pertama memandangnya, cahaya itu mirip sebuah Supernova tapi setelah dilakukan pengkajian mendalam, fenomena ini ternyata lebih luas. Secara resmi fenomena ini dinamai AT2018cow, dan berhasil dilacak oleh teleskop kembar ATLAS di Hawai.
Menurut para ilmuwan, sepertinya fenomena ini adalah proses terbentuknya Lubang Hitam atau bintang neutron. Bintang-bintang saat hancur, dan sebelum berubah menjadi Lubang Hitam atau bintang neutron, mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Cahaya ini dapat disaksikan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun di langit, dan setelah itu memudar.
Meskipun fenomena semacam ini tidak terlalu mengagetkan, namun para astronom biasanya tidak bisa mendeteksi dimulainya fenomena langit ini, sampai lubang hitam atau bintang neutron yang dihasilkanya hilang ditelan debu.
Akan tetapi fenomena AT2018cow cahayanya di luar batas, yaitu 100 kali lebih terang dari Supernova yang pernah disaksikan. Begitu juga karena Supernova disaksikan secara tiba-tiba, berlangsung cepat dan hanya bertahan 16 hari. Menurut para peneliti, fenomena menarik ini terjadi di lokasi yang berjarak 200 juta tahun cahaya dari muka bumi.
Sekelompok ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa sumber cahaya asli fenomena ini muncul dari sisa-sisa bintang. Mereka mengkaji komposisi kimianya dan menyaksikan keberadaan hidrogen dan helium, sehingga menurut mereka kemungkinan alasan terjadinya ledakan adalah benturan dua bintang.[]
Tags