Islamophobia di Barat (66)
Jerman menjadi salah satu negara yang paling banyak mendapat sorotan tentang penyebaran Islamophobia pada tahun 2018. Bagi umat Islam di Jerman, 2018 adalah tahun yang penuh pasang surut.
Isu-isu seperti larangan pemakaian jilbab, Islam ala Jerman, kampanye bertagar MeTwo, dan pengunduran diri Mesut Ozil, warga Muslim keturunan Jerman-Turki dari timnas sepak bola Jerman, telah lama menjadi halaman utama surat kabar dan media-media online di negara itu.
Situs Islamic dalam laporan singkatnya, mengkaji berbagai peristiwa yang terkait dengan warga Muslim Jerman pada 2018. Larangan jilbab bagi anak gadis di bawah usia 14 tahun di negara bagian North Rhine-Westphalia menjadi salah satu berita yang paling kontroversial di Jerman pada 2018.
Perdebatan tentang pelarangan jilbab untuk anak gadis berusia di bawah 14 tahun di Austria telah mendorong Menteri Integrasi North Rhine-Westphalia, Joachim Stamp untuk mempertimbangkan langkah yang sama bagi remaja putri Muslim di wilayahnya.
“Anak-anak yang berusia sangat muda tidak boleh dipaksa menutupi rambut mereka karena alasan agama. Untuk mengatasi hal ini, anak-anak harus dilarang mengenakan jilbab. Dengan demikian, mereka setelah memasuki usia dewasa dapat memutuskan apakah ingin memakai jilbab atau tidak,” kata Stamp.
Pernyataan ini mendapat banyak reaksi dan penentangan. "Pemerintah North Rhine-Westphalia harus bertindak atas dasar hukum dan keputusan kabinet tidak cukup untuk perubahan seperti itu," kata Profesor Stephan Muckel, seorang pengacara hukum gereja yang menentang rencana tersebut.
Pada 13 Juli 2018, perdebatan tentang larangan jilbab bagi guru Muslim di Jerman memasuki tahun ke-20. Fereshta Ludin, wanita Muslim pertama keturunan Afghanistan, sejak 20 tahun lalu telah mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi Jerman atas larangan penggunaan jilbab di tempat kerja. Ia akhirnya memperoleh haknya untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah di Baden-Wurttemberg.
“Mereka berkata kepada saya bahwa jika saya bersedia menanggalkan jilbab, saya bisa melanjutkan pekerjaan saya, di sini saya merasa terhina,” kenangnya waktu itu.
Setelah kekalahan Jerman di Piala Dunia 2018, Mesut Ozil menerima perlakuan rasis dan dianggap sebagai biang keladi dari kegagalan Der Panzer untuk lolos dari babak penyisihan grup di Rusia. Menurut gelandang Arsenal ini, alasan utama dirinya mengundurkan diri karena terkait rasisme yang masih menjadi masalah besar di Jerman.
Setelah kejadian ini, muncul tagar #MeTow di Twitter untuk memprotes sentimen warga asing dan serangan rasis di Jerman. Dalam kampanye ini, ribuan orang berbagi pengalaman tentang perlakuan diskriminatif yang diterimanya di negara tersebut. Tagar ini menjadi trending topic di Twitter untuk waktu yang lama. #MeTow dicetuskan oleh Ali Can, seorang penulis dan aktivis sosial Jerman berusia 24 tahun.
Ali Can percaya bahwa pemerintah dan masyarakat Jerman harus mencari solusi atas masalah rasisme di negara itu, karena Mesut Ozil bukanlah satu-satunya korban rasisme di Jerman.
Untuk melawan gerakan anti-Islam di Jerman, kaum Muslim melanjutkan gerakan politik dan kampanye mereka untuk memerangi Islamophobia dan serangan rasisme. Kota Cologne di Jerman menjadi tuan rumah konferensi bertajuk “Masa Depan Muslim di Eropa” pada Januari 2018 yang digelar oleh Persatuan Islam Turki untuk Urusan Agama (DITIB), organisasi payung masjid terbesar di Jerman.
Konferensi yang berlangsung selama tiga hari ini dihadiri oleh perwakilan komunitas Muslim dari Jerman dan Eropa, akademisi, aktivis, dan jurnalis untuk membahas persoalan yang dihadapi masyarakat Muslim Eropa.
Para pejabat DITIB mengatakan konferensi ini bertujuan untuk mengembangkan kerja sama antar lembaga-lembaga agama di Eropa, bertukar ilmu dan pengalaman, memberikan pendidikan agama dengan cara yang benar, dan mencari solusi atas permasalahan umat Islam.
Dalam sambutannya, Direktur DITIB Profesor Ali Erbas berbicara tentang kondisi kaum Muslim dan meningkatnya serangan Islamophobia di Eropa. Menurutnya, dunia sangat mirip dengan sebuah rumah besar. Tidak terbayangkan bahwa api berada di satu lantai dari rumah ini dan tidak mempengaruhi lantai lainnya.
“Meningkatnya Islamophobia dan gerakan rasis di Eropa mengancam hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat. Muslim adalah bagian dari masyarakat Eropa dan harus dapat mempertahankan hak-haknya ketika menghadapi kekerasan, diskriminasi, atau ketidakadilan,” kata Profesor Erbas.
Menurut Profesor Ali Erbas, Islamophobia disebabkan oleh kurangnya pengetahuan di masyarakat. Masyarakat Muslim di Eropa harus mencoba untuk memberikan definisi yang benar dan lengkap tentang Islam di masyarakat serta memperbaiki kesalahan, kesalahpahaman, dan informasi yang keliru.
Konferensi tersebut mendiskusikan topik-topik seperti, "Masa Depan Muslim di Eropa; Peluang dan Risiko, "Masalah Struktural Lembaga Islam di Eropa dan Proses Hukum," "Imigran dan Pembentukan Identitas Generasi Baru Muslim," dan "Solusi untuk Menghilangkan Pandangan Negatif terhadap Islam di Media Eropa."
Pertemuan di kota Cologne ini meminta media untuk memperlakukan Muslim dan Islam secara adil dalam menanggapi kebangkitan Islamophobia di Eropa. Selain itu, dalam rangka mempererat hubungan antar warga Islam di Eropa, diputuskan pula rencana pendirian Pusat Koordinasi Urusan Muslim. Lembaga ini beranggotakan perwakilan dari komunitas agama, ilmuwan, pengacara, dan sosiolog.
Di Prancis yang dikenal sebagai negara terdepan Eropa dalam kampanye Islamophobia, telah memberlakukan pembatasan baru terhadap komunitas Muslim.
Habiba Hatam yang berusia 9 tahun pergi ke masjid di utara Paris pada Minggu pagi untuk mengikuti kelas bahasa Arab. Di dinding ruang kelas, ada lukisan warna-warni tentang cara berwudhu, bersama dengan gambar kupu-kupu, mobil, dan wortel dengan padanan bahasa Arab.
Kakek-nenek Habiba datang ke Prancis dari Tunisia pada tahun 1960-an, dan ayahnya percaya bahwa penting bagi putrinya untuk memiliki identitas. Tapi bahasa Arab tidak diajarkan di sekolah umum tempatnya belajar.
Di Prancis, sekitar 3 juta orang menggunakan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari, yang menjadikannya sebagai bahasa asing paling umum di Prancis, tetapi bahasa Arab jarang diajarkan di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, masjid dan lembaga-lembaga swasta mengambil langkah-langkah untuk mengisi kekosongan ini.
Pemerintah Prancis sekarang menyatakan prihatin atas meningkatnya jumlah orang-orang yang belajar bahasa Arab di luar pengawasan mereka. Kementerian Pendidikan Prancis – sebagai bagian dari tindakan anti-Islam dengan dalih melawan ekstremisme – mengumumkan keputusannya untuk mengontrol pengajaran bahasa Arab dan menyusun sebuah kurikulum yang tidak memuat konten-konten agama, berbeda dengan yang diajarkan di masjid-masjid.
Sikap anti-Islam telah menyentuh lingkungan intelektual dan elit Eropa. Universitas-universitas Skotlandia baru-baru ini menyaksikan meluasnya aktivitas kelompok sayap kanan dengan menyebarkan poster-poster yang menentang Muslim, Islam, dan imigran. Universitas Glasgow dan Universitas Glasgow Caledonian di Skotlandia mencatat penyebaran poster propaganda dari kelompok anti-Islam, rasis, dan anti-imigran bertema, "Identitas Generasi Skotlandia."
Kelompok tersebut sekarang melakukan aktivitas di berbagai negara Eropa dan anggotanya berafiliasi dengan kelompok neo-Nazi di Prancis, yang terlibat dalam serangan-serangan teror.
"Diam tidak lagi diperbolehkan dan kami menekankan persatuan dan kesetaraan," kata Anas Sarwar, ketua kelompok perlawanan Islamophobia di Parlemen Skotlandia.
“Pertama-tama kami mengajari orang-orang untuk mengubah prasangka yang tidak disadari menjadi kesadaran sehingga mereka dapat menantangnya dan kemudian melawan prasangka dalam jangka panjang,” pungkasnya. (RM)