Islamophobia di Barat (67)
Presiden AS Donald Trump pada 18 Januari 2019, mengklaim bahwa para migran yang memasuki Amerika secara ilegal di perbatasan selatan tidak hanya datang dari Meksiko dan Amerika Tengah.
Trump kemudian mengutip sebuah klaim dari media konservatif, Washington Examiner di mana seorang peternak yang tidak disebutkan namanya yang tinggal di New Mexico mengklaim telah menemukan sajadah, yang digunakan oleh orang Muslim untuk shalat.
Namun, Badan Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan AS di Arizona menyatakan mereka telah menangkap migran dari tujuh negara yang berusaha memasuki Amerika secara ilegal, tetapi tidak ada negara yang disebutnya mayoritas Muslim.
Trump menjadikan cerita tersebut untuk mendukung argumen pemerintahannya bahwa orang-orang melintasi perbatasan selatan dari banyak negara. Menurutnya, ini adalah petunjuk terbaik bahwa ada ancaman keamanan ke Amerika yang perlu diatasi dengan membangun tembok.
Presiden AS mengarang cerita itu untuk membenarkan kebijakan sebelumnya bahwa Muslim adalah teroris dan mereka termasuk di antara imigran yang datang dari arah Meksiko.
Padahal, media-media lain sebelumnya melaporkan bahwa imigran yang ingin memasuki Amerika dari perbatasan Meksiko berasal dari negara-negara mayoritas Kristen. Trump mengklaim bahwa sajadah tersebut ditemukan oleh seorang peternak AS di perbatasan. Dia tetap berpegang pada laporan Washington Examiner untuk membenarkan klaimnya tentang “keterkaitan terorisme dengan Islam dan Muslim.”
Ini bukan pertama kalinya Donald Trump mencoba mengaitkan terorisme dengan Muslim. Salah satu langkah pertama Trump setelah berkuasa di Gedung Putih adalah menandatangani dekrit yang melarang warga dari tujuh negara Muslim memasuki Amerika Serikat.
Banyak organisasi masyarakat sipil dan beberapa hakim Amerika menyebut keputusan itu penuh kebencian dan rasis. Para hakim kemudian menangguhkan pelaksanaan dektrit rasis itu selama beberapa bulan.
Keputusan Trump mengakui kota Quds yang diduduki sebagai ibu kota rezim Zionis Israel juga termasuk salah satu kebijakan Islamophobia pemerintah AS dalam beberapa dekade terakhir.
Kebijakan Trump yang melarang warga dari beberapa negara Muslim memasuki Amerika dan mengakui Quds sebagai ibu kota rezim Zionis, telah memberikan kesempatan kepada kelompok sayap kanan dan kubu anti-Islam di AS untuk meningkatkan aktivitas mereka.
Munculnya 13 kelompok anti-Islam hanya dalam satu tahun menunjukkan bahwa kehadiran pemerintahan rasis dan xenophobia memiliki pengaruh besar bagi berkembangnya sentimen anti-Islam di Amerika. Situasi ini akan membuat kondisi kehidupan menjadi lebih sulit bagi jutaan Muslim Amerika dan ratusan ribu imigran Muslim yang tinggal di negara itu.
Aktivis Muslim Palestina-Amerika, Linda Sarsour dalam sebuah artikel di majalah Time menulis, "Sejak serangan tragis 11 September, Muslim Amerika menyaksikan peningkatan upaya untuk mentersangkakan mereka atas dasar ras dan agama di semua tingkat penegakan hukum. Kami menyaksikan program pengawasan, deportasi, dan pencatatan yang tidak beralasan dan ilegal. Kami juga secara keliru dimasukkan pada daftar larangan terbang dan mengalami peningkatan eksponensial dalam kejahatan rasial terhadap komunitas kami."
Kebijakan anti-Islam Trump membuat Komisi Hak Asasi Manusia Islam di London menobatkan presiden AS ini sebagai simbol Islamophobia selama tiga tahun berturut-turut.
Para pejabat di Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) juga menyoroti propaganda anti-Islam yang dilakukan Trump, dan mengatakan bentrokan dengan Muslim dan kasus penghinaan telah meningkat sejak pembunuhan Orlando. CAIR menyampaikan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan pemerintah AS dan mengimbau orang-orang Amerika untuk menolak kebencian atau ekstremisme.
Kasus penangkapan jurnalis Press TV, Marzieh Hashemi juga harus dianalisa dalam konteks kebijakan anti-Islam pemerintahan Trump. Marzieh Hashemi adalah warga negara Amerika Serikat dan kemudian menjadi warga negara Iran yang dinaturalisasikan. Dia masuk Islam di usia muda dan menikah dengan pria Iran, kini memiliki tiga anak dan seorang cucu.
Dia adalah salah satu jurnalis dan presenter terkenal dari jaringan berita Press TV, sebuah jaringan yang menyuarakan kebebasan dan mengekspos kebijakan anti-Islam dari pemerintah AS. Tetapi Washington sedang berusaha dengan berbagai cara untuk membatasi aktivitas jaringan televisi ini di AS, salah satunya dengan menangkap Marzieh Hashemi.
Marzieh Hashemi ditahan dan dipenjara oleh pihak berwenang AS tanpa alasan dan dakwaan yang jelas. Dia ditahan ketika tiba di St. Louis Lambert International Airport in St. Missouri pada 13 Januari 2019. Dia kembali ke AS untuk menjenguk saudara lelakinya yang sakit kanker dan juga anggota keluarga lainnya dan akan segera kembali ke Iran pada pekan berikutnya. Selama penahanan itu, kerabat Hashemi tidak dapat menghubunginya.
AS selama ini mengklaim sebagai pengibar garda depan bendera demokrasi dan HAM di dunia. Dengan klaim tersebut Gedung Putih begitu mudah memberikan label pejoratif terhadap negara-negara yang dianggap menghalanginya kepentingannya. Pada saat yang sama, AS sendiri menginjak-injak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang diklaimnya tersebut sebagaimana dilakukan terhadap Marzieh Hashemi.
Marzieh Hashemi diizinkan untuk menghubungi putrinya dua hari setelah penahanannya. Dia telah memberi tahu kepada putrinya bahwa dia diborgol, dirantai kakinya dan diperlakukan seperti penjahat. Dia dipaksa melepas jilbab, bahkan difoto tanpa kerudung setibanya di penjara.
Puluhan aktivis menggelar unjuk rasa di depan pengadilan federal di Washington pada 23 Januari 2019 untuk menyatakan dukungan mereka kepada Marzieh Hashemi yang ditangkap oleh FBI. Para pengunjuk rasa menuntut pembebasan segera jurnalis kelahiran Amerika itu dan mengecam penangkapan ilegal tersebut.
Ketua Asosiasi Penulis AS menyerukan pembebasan segera Marzieh yang dinilai menjadi korban friksi antara Washington dan Tehran. Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengumumkan bahwa sikap aparat keamanan AS yang melanggar hak menjalankan perintah agama jurnalis PressTV Iran, tidak bisa dibenarkan.
Dalam pernyataan yang dirilis CAIR disebutkan, Marzieh Hashemi ditahan tanpa tuduhan yang jelas dan ia mengalami pelecehan serta pelanggaran hak menjalankan agama di tahanan.
Kementerian Luar Negeri Iran menilai kasus penangkapan Marzieh Hashemi sebagai langkah politis dan menyerukan pembebasan segera jurnalis Press TV ini. Menlu Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, “Marzieh Hashemi merupakan istri dari seorang warga Iran dan oleh karena itu, merupakan warga negara Iran dan kami memandangnya sebagai tugas kami untuk membela hak-hak warga negara kami,” tegas Zarif.
“Langkah AS dengan menangkapnya merupakan sebuah langkah politik yang tidak bisa diterima dan sebuah pelanggaran kebebasan berbicara.Atas dasar itu, Amerika harus segera mengakhiri permainan politik ini,” pungkasnya. (RM)