Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (4)
ASEAN adalah sebuah organisasi regional di bidang politik, ekonomi, dan budaya negara-negara di Asia Tenggara. Organisasi ini didirikan di Bangkok pada 8 Agustus 1967 berdasarkan Deklarasi Perbara oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
ASEAN – yang lahir atas desain Amerika Serikat – bertujuan untuk mengkonsolidasikan potensi kawasan untuk melawan pengaruh Cina dan Uni Soviet sehingga dapat mencegah penyebaran dan kebangkitan komunisme di kawasan itu. Para anggotanya bersatu melawan penyebaran komunisme di Vietnam serta menumpas pemberontakan komunis di dalam wilayah mereka sendiri.
Setelah pelaksanaan KTT ASEAN di Bali, Indonesia pada 1976, organisasi ini mulai meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi. Saat ini Cina tercatat sebagai mitra dagang terbesar negara-negara anggota ASEAN. Namun, negara-negara anggota ASEAN tidak mampu mengadopsi kebijakan terpadu terhadap pemerintah Beijing dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan.
Hal ini dipengaruhi oleh keragaman struktur politik serta kondisi situasi sosial dan ekonomi negara-negara anggota, dan juga tingkat ketergantungan ekonomi mereka pada Cina yang berbeda-beda.
Pada tahun 2002, Cina dan 10 negara ASEAN menandatangani perjanjian tidak mengikat selama KTT Kamboja, yang mengatur kerangka kerja untuk perundingan penyelesaian sengketa. Mereka juga berkomitmen untuk mengikuti aturan internasional. Perjanjian yang dicapai antara Cina dan 10 negara ASEAN tersebut dipandang sebagai cara untuk mencegah konflik.
Setelah perjanjian ini, Vietnam dan Cina juga menjalani hubungan yang lebih stabil sehingga pada tahun 2004, kedua pihak menyetujui rezim hukum Teluk Tonkin dan menstabilkan hubungan mereka.
Pada 2009, Malaysia dan Vietnam mengajukan permohonan bersama ke PBB untuk sebagian landas kontinen kedua negara di bagian selatan Laut Cina Selatan. Malaysia dan Vietnam menuntut zona ekonomi eksklusif hingga 200 mil laut dari garis pantainya dan landas kontinen sejauh 350 mil laut. Namun, Cina memprotes langkah tersebut dan kemudian menerbitkan peta Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) mengenai klaim wilayahnya di Laut Cina Selatan.
Pada 2012, Vietnam mengesahkan undang-undang nasional tentang hukum laut yang menekankan klaim wilayah teritorial dan maritimnya. Ketegangan hubungan dan tindakan timbal balik antara Hanoi dan Beijing terus berlanjut. Pada 2013, Cina mulai melakukan pengeboran minyak di salah satu wilayah sengketa, yang ditentang oleh pemerintah Vietnam.
Para anggota ASEAN – sebagai organisasi yang kohesif dan terintegrasi – lebih memilih berdialog dengan Cina, sedangkan Cina selalu menekankan pada perundingan bilateral. Akan tetapi, Vietnam dan Malaysia memprioritaskan perundingan dalam kerangka ASEAN mengingat Cina sebagai sebuah kekuatan di kawasan.
ASEAN menyadari hubungan ekonominya dengan Cina dan tidak membiarkan intervensi Amerika Serikat berdampak negatif pada situasi ekonomi di kawasan. ASEAN juga mempertimbangkan posisi Cina dalam mengembangkan kerja sama keamanan dengan AS, dan upaya Washington untuk membangun pangkalan militer di Selat Malaka belum membuahkan hasil.
Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk melanjutkan penolakan mereka atas intervensi AS di kawasan ini. Menurut menlu Cina, beberapa negara asing sedang berusaha mengejar kepentingan geopolitiknya dengan mengintervensi sengketa di Laut Cina Selatan, dan tujuannya adalah untuk memutus hubungan Cina dengan negara-negara tetangganya.
Secara umum dapat dikatakan interaksi politik, dan ekonomi saat ini menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN meski terlibat sengketa dengan Cina, bukan saja tidak ingin terlibat konfrontasi dengan Cina, bahkan membuka peluang penguatan interaksi dengan Beijing.
Pemerintah Cina berulang kali memperingatkan AS agar tidak ikut campur dalam urusan kawasan. Bagi Beijing, klaim atas kepemilikan pulau-pulau di Laut Cina Selatan sangatlah penting, karena ini akan memungkinkan mereka untuk menguasai tambang minyak dan gas bumi di kepulauan Spratly dan Paracel.
Cina juga mengklaim wilayah dangkal di sekitar Serawak dan Kepulauan Natuna, yang memicu ketegangan dengan Indonesia. Daerah tersebut menyimpan cadangan gas alam yang sangat besar, dan Beijing merasa memiliki hak untuk mengeksplorasinya.
Meskipun akar konflik di Laut Cina Selatan sudah ada sejak beberapa dekade lalu, tetapi konflik ini kembali memanas dalam beberapa tahun terakhir dan setiap negara punya masalah masing-masing karena klaim yang tumpang tindih.
Cina menguasai Kepulauan Paracel sejak 1974 setelah mengusir pasukan Vietnam. Namun di Kepulauan Spratly, Vietnam menguasai sebagian besar pulau yaitu sekitar 25 pulau. Kepulauan Spratly, yang dikenal di Cina sebagai “Nansha Qundao”, telah menjadi titik pertikaian utama di Laut Cina Selatan.
AS menuduh Cina telah membangun 800 hektar pulau buatan di wilayah antara Vietnam dan Filipina. Washington bertekad menangani masalah tersebut melalui sekutu-sekutunya di Asia Timur. Namun, pertanyaannya adalah apakah membangun pulau-pulau di Laut Cina Selatan melanggar hukum internasional?
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional III yang dicapai di Jamaika pada 1982, setiap negara dapat membangun pulau buatan, tidak hanya di wilayah maritimnya sendiri, tetapi juga di laut lepas dalam kerangka peraturan internasional. Oleh karena itu, kegiatan Cina di kawasan tersebut tidak bertentangan dengan konvensi, tetapi Cina tidak dapat menghalangi kegiatan ekonomi negara lain di wilayah perairan itu atau membuat batas laut untuk dirinya sendiri.
Ketegangan antara Cina dan Filipina meningkat sejak 2012, ketika Beijing mengambil kendali atas apa yang disebut Scarborough Shoal, salah satu dari beberapa terumbu karang yang diklaim oleh Cina. Sebagai tanggapan, Filipina menuduh Cina melanggar hukum internasional tentang perbatasan dan hak-hak negara di wilayah perairan dunia.
Sebagian pakar mengatakan bahwa militer Cina sedang membangun tempat yang aman di Kepulauan Spratly sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat kekuatannya di Pasifik. Ini akan menjadi tantangan besar bagi kepentingan ekonomi dan keamanan nasional AS, serta ancaman terhadap pengaruh Washington di Asia Timur.
Klaim sepihak Cina tumpang tindih dengan wilayah maritim sejumlah negara Asia Tenggara hingga Taiwan dan menjadikan Laut Cina Selatan sebagai perairan rawan konflik terbuka. Dari sudut pandang kalangan politik, jika situasi di kawasan dan konflik negara-negara Laut Cina Selatan tidak dikelola dengan baik, Perang Dingin baru bisa saja meletus, di mana Cina berusaha membuat AS menjadi pecundang. (RM)