Aug 03, 2022 15:50 Asia/Jakarta
  • Karbala
    Karbala

Kesyahidan Imam Husein as bukan hanya menciptakan kehangatan di hati orang-orang Syiah yang tidak akan pernah padam, tetapi juga menjadi sumber hidayah bagi banyak pencari kebebasan dari berbagai agama dan kepercayaan di dunia. Sepanjang sejarah, banyak pemikir dengan agama yang berbeda telah berbicara tentang kebangkitan Asyura.

Pada kesempatan kali ini, kita akan berbicara tentang tokoh-tokoh dari Ahli Sunnah yang hatinya melekat pada cinta Ahlul Bait Nabi Saw. Abbas Mahmoud Akkad adalah seorang penyair, penulis, sejarawan dan jurnalis Mesir yang memiliki buku-buku yang memperkenalkan Ahlul Bait dan Imam Husein as. Abbas Mahmoud al-Akkad adalah salah satu pelopor sastra kontemporer di Mesir. Ia mampu menulis lebih dari seratus buku dan ribuan artikel di berbagai bidang dengan jiwanya yang puitis dan lembut.

Abbas Mahmoud al-Akkad

Akkad muncul dari masa remajanya dengan kepribadian yang kuat, kecerdasan yang kaya, dan mampu menaklukkan ilmu pengetahuan yang tinggi. Untuk alasan ini, ia mengembangkan pemikirannya dan dengan menjalin hubungan dengan para pemikir kontemporer dan belajar bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, sehingga ia diperhatikan oleh para tokoh waktu itu. Pada tahun 1934, sekelompok ilmuwan, penulis, jurnalis, dan tokoh politik mengadakan pertemuan untuk melindungi upaya ilmiah dan sastranya dan menghormatinya.

Ahlul Bait as dalam pendapat ulama Sunni berdasarkan Shuri ayat 33 yang mengatakan, “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali mencintai keluargaku’.” Keluarga Nabi selalu memiliki keistimewaan dan kedudukan yang tinggi. Abbas Mahmoud al-Akkad juga meninggalkan banyak karya di bidang ini. Dia telah memperkenalkan Nabi Saw dalam buku “Abqariyyah Muhammad” dan fajar kenabian dalam “Matla al-Nur”.

Buku “Husein Abu al-Syuhada” adalah tentang asal-usul gerakan Asyura dan karakteristik Bani Hasyim dan Bani Umayah. Dalam buku ini, dia menganggap posisi Imam Husein as begitu tinggi sehingga dia tidak membiarkan dirinya membandingkannya dengan Yazid. Karena Yazid tidak memiliki keutamaan untuk dibandingkan dengannya. Oleh karena itu, ia menulis, “Saya tidak mencoba membandingkan Husein dan Yazid. Karena menurut karakteristik pribadi mereka, tidak ada alasan untuk perbandingan ini. Karena bagi Yazid, tidak ada keutamaan baik kecil atau besar. Sedangkan Husein as tidak memiliki kekurangan, bahkan menurut pengakuan orang-orang seperti Muawiyah. Ketika Muawiyah meminta pengikutnya untuk menulis sesuatu yang merendahkan Husein, mereka berkata, "Tidak ada ruang untuk kekurangan Husein.”

Dari sudut pandang Akkad, Husein as berasal dari keluarga yang tumbuh di atas prinsip keadilan dan keadilan dan berusaha untuk mendirikan Imamah yang religius, sementara keluarga Umayah mencari kesempatan untuk membentuk pemerintahan duniawi dan mencapai tujuan duniawi mereka. Dalam menggambarkan karakteristik kedua keluarga ini, Akkad menyebutkan bahwa keluarga Bani Hasyim tinggal di Mekah dan melayani orang-orang, tetapi keluarga Umayyh berpindah-pindah kota untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan duniawi, dan ketika Mekah ditaklukkan, Abu Sufyan dan putranya Muawiyah, rupanya masuk Islam.

Bahkan kemenangan ini dianggap duniawi, ketika Abu Sufyan berkata kepada Abbas, paman Nabi, "Betapa besar kerajaannya" Abbas berkata, "Tidak ada kerajaan dan monarki, sebaliknya, itu adalah kenabian.” Akkad meyakini bahwa perjuangan antara Bani Umayah dan Bani Hasyim berlanjut hingga mencapai titik perbedaan dimana tidak ada gambaran tentang ikatan antara keduanya.

Pertentangan ini tidak pernah berhenti dan terus berlanjut dari generasi ke generasi, meskipun sempat menghilang pada masa Rasulullah Saw dan pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar, namun manifestasi perbedaan antara dua keluarga ini dan perbedaan utama telah muncul di bidang yang berbeda, termasuk satu keluarga melayani dan satunya lagi mengkhianati, yang satu tidak bergantung pada dunia dan bersikap dermawan kepada yang membutuhkan  yang satunya lagi mengumpulkan kekayaan dan harta benda, mementingkan diri sendiri, dan mencari untung. Kedua keluarga ini adalah dua perwakilan dari kebajikan dan kejahatan dan telah menunjukkan diri mereka dalam sejarah.

Muhammad Shafi Deobandi

Selain itu Akkad, ada Muhammad Shafi Deobandi, seorang ahli hukum, penulis, penyair, penulis Pakistan bermazhab Hanafi. Ia lahir di Deoband pada tahun 1897 dan lulus dari Darul ‘Ulum Deoband pada tahun 1917, di mana ia mengajar Hadits dan menjabat sebagai Grand Mufti. Mufti Besar Pakistan ini telah menulis sebuah buku tentang Asyura dan pergerakan Imam Husein as berjudul “Syahid Karbala”. Yang membedakan bukunya dengan buku-buku lain adalah pernyataannya dalam pendahuluan buku, yang menyatakan bahwa dia mengumpulkan isi buku hanya melalui narasi yang benar dan terdokumentasi.

Maulana Muhammad Shafi Deobandi, dalam buku “Syahid Karbala” dalam deskripsi kekejaman dan kejahatan Muawiyah putra Abu Sufyan, dan perannya dalam kesyahidan Imam Husein as menulis, “Abdullah bin Muslim menulis surat kepada Yazid dan menyatakan di dalamnya bahwa “Muslim bin Aqil” datang ke sini dan mengambil sumpah setia dari orang-orang untuk Husein ra dan menambahkan, “Jika Anda membutuhkan Kufah dan menginginkannya menjadi milik Anda, segera kirim orang yang kuat dan cakap ke sini yang bisa menjalankan keputusan.” Penguasa saat ini Numan bin Bashir adalah lemah.

Orang lain, seperti Ammarah bin Walid dan Amr bin Said bin Abi Waqqas dan ..., menulis dan mengirim surat kepada Yazid tentang masalah ini. Karena surat-surat ini sampai ke tangan Yazid, ia segera memanggil penasihat ayahnya Sarjun bin Mansur dan meminta nasihatnya tentang siapa yang harus dikirim ke Kufah. Sarjun mengusulkan untuk menjadikan Ubaidullah bin Ziyad sebagai penguasa Kufah. Tentu saja, hubungan Yazid dengan dia tidak baik, karenanya Sarjun berkata, “Jika hari ini Muawiyah, semoga Allah meridhoinya, kembali ke kehidupannya lagi dan menawarkan Anda sebuah proposal, apakah Anda akan menindaklanjutinya atau tidak?”

Yazid menjawab, “Saya pasti akan menindaklanjutinya.” Pada saat itu, Sarjun mengeluarkan sebuah surat di mana Muawiyah menunjuk Ubaidullah bin Ziyad sebagai penguasa Kufah. Karena Sarjun mengusulkan Ibnu Ziyad sebagai penguasa Kufah, Yazid menerima dan menjadikannya penguasa Kufah dan Basra, dan dia menulis dan mengirim surat kepadanya, “Bila surat ini sampai kepadamu, segera pergi ke Kufah lalu menangkap Muslim bin Aqil dan bunuh dia. Dari sini, kesyahidan Husein as, putra Rasulullah dipastikan dengan menetapkan orang haus darah seperti Ubaidullah bin Ziyad.

Kesyahidan Imam Husein as menurut Ahli Sunnah adalah contoh keberanian, pengorbanan dan pembelaan yang benar dan berusaha mendapatkan hak dari para penindas. Maulana Muhammad Shafi Deobandi menggambarkan keberanian Sayid al-Syuhada as pada puncak pengasingannya di hari Asyura, dalam buku Syahid Karbala menulis, “Syimr menyerang Imam Husein as dengan sepuluh orang, dan terlepas dari parahnya luka dan kehausannya, dia menghadapi mereka dengan berani.

Para sejarawan telah menulis bahwa peristiwa ini unik, bahwa Imam Husein as berjuang dengan penuh keberanian dan ketabahan meskipun terluka parah dan haus. Setiap kali Imam Husein menyerang satu sisi musuh, mereka langsung melarikan diri. Ketika Syimr melihat bahwa masing-masing dari mereka menolak untuk menggugursyahidkan Imam Husein, dia berkata, “Kalian semua menyerangnya sekaligus dan menghancurkannya.”

Mereka akhirnya menyerangnya dari semua sisi dan putra Rasulullah, salah satu hamba terbaik Allah gugur syahid. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun.(sl)

Tags